"Ukhuk... Ukhukk." Batuk Karina karena tersedak.
"Bunda apaan sih?" tanyanya setengah tak percaya Bunda malah bicara begitu, padahal selama ini mereka sangat tahu keluhan Karina soal Bara.
"Yah mana tahu jodoh Kar. Coba deh pikir, mana ganteng, direktur, kaya pasti. Masa depan cerah."
Karina mencebik, kemudian duduk di meja makan hendak mencicipi bakwan buatan bunda.
"Tuh manusia gila kerja Bun. Bakal cerah dari mana? Yang ada di tinggal mulu."
"Yah bisa aja dia kerja lembur tiap hari, gila kerja karena gak ada yang nungguin di rumah. Nanti kalau udah nikah bakalan berubah begitu. Terus juga itu kenapa Kamu bawa ke sini? Kirain Bunda tadi itu calon suami Kamu loh Kar."
"Mau bawa calon suami dari mana Bun? Orang kerja aja dari pagi ketemu malem tiap hari. Mana sempat nyari lagi."
Bunda duduk di kursi depan Karina.
"Ngapain repot - repot nyari lagi? Jelas - jelas udah ada itu depan mata."
"Depan mata yang mana Bun?"
"Ikh ni anak. Beneran ya gak ada peka - pekanya. Ya bos Kamulah, tiap hari ke mana - mana bareng emang gak ada rasa gimana gitu?"
Karina menghembuskan napasnya pelan. Sudah menduga respon keluarganya akan begini. Terlebih usia Karina yang tak sampai tiga tahun lagi akan kepala tiga.
"Emangnya tu orang mau sama Karina yang bentukkannya begini?"
"Haduh, Karina, Karina. Kamu emang gak bisa lihat ya? Tatapannya ngelihat Kamu itu kayak penuh cinta gitu."
Karina tertawa di tengah kunyahannya. "Tatapan ngajak rusuh iya Bun," jawabnya. Tak mungkin dia percaya kalau bosnya yang suka romusa bin rodi itu punya tatapan penuh cinta padanya?
"Hadeh. Punya anak gadis satu segitu gak percaya dirinya. Coba deh sekali - kali tu perhatikan gimana dia memperlakukan Kamu, diresapi, memangnya ada bos lajang, laki - laki normal segitu manjain sekretarisnya? Kamu doang itu."
"Bunda gak ngerti aja, dia begitu karena merasa bersalah mempekerjakan Karina berlebihan dan takut Karina resign, soalnya gak ada yang mau jadi kacungnya dia."
Bunda menghela napas, batu sekali anak gadisnya ini.
"Ya udah. Coba Kamu buka hati dulu mana tahu mau."
"Misal nih, kalau Karina buka hati terus ternyata Karina cuma ke PDan gimana? Malu Bun."
Lagi - lagi bunda menghela napas. Memang batu sekali anak gadisnya ini, dia saja sekali lihat tahu kalau Karina pun punya rasa terhadap bosnya begitu juga sebaliknya. Mereka sudah bersama - sama hampir lima tahun mana mungkin tak timbul perasaan apapun, apalagi mereka sama - sama lajang.
"Mobil siapa di depan Bun?" tanya Susan yang datang sambil menggendong Adinda, anaknya.
"Loh Karina," teriaknya kemudian begitu melihat adiknya yang jarang pulang itu akhirnya pulang ke rumah.
Susan berjalan cepat menyambut Karina yang sudah berdiri merentangkan tangan, ingin di peluk. Susan langsung masuk ke dalam pelukan Karina begitu juga dengan Adin yang sekarang berusia empat tahun.
"Keponakan Auntie makin cantik aja," ucap Karina kemudian mengambil Adin dari gendongan Susan.
Adin sudah berusia empat tahun tapi karena pernah mengidap kanker jadi pertumbuhannya agak sedikit terhambat, tapi syukurnya sekarang gadis kecil itu sudah membaik dan bisa hidup normal tanpa harus dibantu alat medis lagi.
Adin mencium pipi Karina dan langsung memeluk lehernya. Karina gemas melihatnya.
"Itu mobil Kamu Dek?" tanya Susan, mana tahu tiba - tiba adiknya dibelikan mobil lagi atau membeli mobil sendiri.
Karina menggeleng sambil mengajak Adin bercanda.
"Mobil bosnya Karina," jawab bunda. Susan melihat ke arah Karina sambil mengerutkan keningnya.
"Kamu pinjam mobil bos Kamu, emang boleh?"
"Nggak bosnya yang nganter"
"Wow Serius?" ucap Susan tak percaya.
"Iya."
"Terus di mana orangnya? Pengen lihat."
"Lagi sholat sama Bapak ke masjid."
"Ugh calon mantu idaman, bentar lagi pesta Kita nampaknya ni Bun." Susan menaik turunkan alisnya.
Karina memutar mata mendengar Bunda dan Susan mengobrol.
"Jadi kepo deh gimana aslinya, seganteng fotonya nggak ya."
"Ganteng, Mana ramah, sopan. Idaman lah. Bunda kalau masih gadis langsung Bunda gebet itu." Lagi - lagi Karina memutar matanya, agak merasa tak terima bosnya yang evil itu dipuji.
"Assalamualaikum."
Terdengar suara salam dari arah depan.
"Waalaikumsalam," jawab mereka kompak.
Susan berjalan ke arah ruang depan, mengintip dari balik gorden sementara Bunda kembali menggoreng bakwanya yang belum selesai. Karina mengikuti Susan dan berdiri tepat di belakangnya sambil menggendong Adin.
"Woow. Manis - manis gula jawa," pujinya begitu melihat tampang bos Karina yang selalu dijelekkan adiknya itu.
Susan menghadap ke arah Karina, "Mata Kamu rusak ya Kar? Seganteng itu Kamu gak kepincut? ckckck."
Karina meringis. "Mbak nggak tahu aja gimana aslinya kalau lagi kerja, nyebelin."
"Mbak sih betah kayaknya, nyebelin kalau royal rapopo sekalian cuci mata." Karina berdecih, memang sih wajah bosnya itu enak dilihat, tapi kalau kelakuannya saat sedang bekerja doyan ngeromusa ya gimana, capek say.
"Ya deh."
"Karina, buat kopi buat Bara," teriak Bapak dari ruang tengah. Bara keluar hendak menelpon.
Karina keluar kemudian berjalan ke arah Bapak yang sedang duduk sembari membuka papan caturnya.
"Bapak nggak boleh minum kopi."
"Loh kenapa memang Bapak nggak boleh minum kopi?" tanya Bapak heran, selama ini ia baik - baik saja minum kopi tak ada indikasi sakit apapun.
"Buka Pak. Bukan Bapak maksud Karina, tapi pak Bara, tuh." tunjuknya ke arah Bara yang sedang menelpon di teras dengan dagunya.
"Karina nggak sopan nunjuk begitu."
"Iya Pak."
Karina cemberut, kemudian menurunkan Adin yang sejak tadi terfokus melihat ke luar tepatnya ke arah Bara. Gadis kecil itu kemudian berjalan menuju karpet depan tivi tempat mainannya berada sambil menonton tivi.
"Bapak mau teh?" tanya Karina begitu Bara masuk kembali.
"Boleh Bapak mau." Karina menghembuskan napasnya.
"Pak Bara maksudnya Pak. Bukan Bapak."
Bapak tertawa, "Yah Kamu bilang Bapak. Jadi Bapak pikir yang Kamu maksud itu Bapak."
Bara hanya tersenyum melihat interaksi Karina dan Bapaknya ini. Sangat menyenangkan baginya melihat keluarga yang hangat seperti ini.
"Jadi Bapak mau nggak?"
Bara menggeleng, "Nggak usah."
"Bapak mau makan?"
"Mau," jawab Bapak.
Dan lagi - lagi Karina menarik napas lelah. "Pak Bara bukan Bapak," ucap Karina menahan kesal dan Bapak tertawa geli.
"Jangan Kamu panggil Bapak, Bara ini. Kan jadi Bapak kira yang Kamu maksud itu Bapak. Coba selama di sini panggil yang lain."
Karina menoleh ke arah Bara yang hanya mengangkat bahunya acuh.
"Emang bisa dipanggil siapa lagi Pak? Masa mau dipanggil nama aja? Nggak enak lebih tua. Nanti nggak sopan."
"Kan bisa dipanggil Mas, Orang jawakan ya," jawab Bapak dan Karina merinding mendengarnya.
********
"Kamu kenapa sih Kar. Manyun mulu?" tanya Susan.
"Hah," desahnya.
"Kenapa sih semuanya pada manjain pak Bara, heran deh. Yang lama nggak pulang itukan Karina," ucapnya tak terima. Bukannya apa, Bunda bahkan heboh memasak banyak hal. Mana sekarang bosnya itu sedang kain catur dengan Bapaknya di ruang depan.
Susan mengulum senyum, "Coba belajar Kar manggilnya Mas Bara gitu loh. Nanti Kamu panggil Pak yang nyahut malah Bapak lagi."
Karina mencebik tangannya sedang sibuk mengirisi sayur. "Jelas - jelas ada nama di belakangnya masa masih Bapak juga yang mau noleh."
"Belajar Kar, belajar. Coba ikutin Mbak, Mas Bara gitu, mas Bara ayo ulangi."
"Mbak.." sergah Karina mengacungkan pisau sementara Susan tertawa, menggoda Karina sangat menyenangkan. Bunda hanya menggeleng melihat kelakuan kedua anaknya itu.
"Cie, jadi nikah ni kayaknya tahun ini."
Karina makin menjadi mengiris sayur dengan barbarnya, Susan terus menggoda Karina.
"Nikah sama siapa? jodohnya aja belum nemu, Kirain bakal nemu jodoh eh baru sekali ketemu nggak ada kabar lagi." keluhnya.
"Hanif maksud Kamu?" tanya Susan seolah tahu siapa yang adiknya ini maksud. Karina mengangguk.
"Loh Hanif nggak bilang ke Kamu?"
"Bilang apa?"
"Dia bilang nggak bisa lanjutin mau ngejalin hubungan sama Kamu."
"Loh kenapa?" tanya Karina agak kaget, dirinya berbuat salah apa memangnya? apa mungkin Hanif ilfil padanya?.
"Dia bilang nggak bisa lanjut karena saingannya kuat banget."
"Siapa emang?"
"Yah bos Kamula," jawab Susan. Dan Karina nyaris mengiris jarinya dengan pisau.
********
#Vote dan Komen Woy..... hahaha