Rumah Karina (3)

1091 Kata
YUHUU BONUS UP DI MALAM MINGGU ******** "Karina," seru Bara, Karina yang sudah keluar dari kamar menjulurkan kepala di balik pintu yang hampir ditutupnya. "Kenapa Pak?" tanyanya. Bara menyodorkan kotak berwarna biru tosca. "Apaan ni Pak?" Karina membuka kotak tersebut dan sudah menduga apa isinya. Mulutnya membulat melihat beda berkilau tersebut. "Buat Saya?" Bara hanya menjawabnya dengan gumaman. "Makasih Pak," ucap Karina begitu sukanya dengan hadiah. Bara memberinya sebuah kalung. "Udah. Keluar sana Saya mau mandi." "Siap." Karina langsung putar badan. "Karina." "Iya." Gadis itu berbalik lagi dengan wajah sumringah. Biasa kalau sudah diberi hadiah begini semangatnya langsung naik. Bara menunjuk ke arahnya. "Jangan dijual," pesannya. "Kenapa nggak boleh dijual Pak? Kalau Saya kepepet gimana? Inikan udah dikasih ke Saya, hak Saya dong mau Saya jual apa nggak." "Kalau kepepet minta uang sama Saya." "Emang bakal dikasih?" Bara hanya berdehem mengiyakan, lama mereka dalam diam, kemudian Bara mulai membuka kancing kemejanya. "Bapak mau ngapain?" tanya Karina melihat apa yang bosnya itu lakukan. "Buka baju." "Tapikan Saya masih di sini Pak!" Bara menoleh ke arahnya, tangannya masih menggantung membuka kancing. "Kamu nggak keluar - keluar, Saya pikir nungguin Saya buka baju." Wajah Karina memerah dengan wajah merengut ia menghentakkan kaki dan berjalan keluar, mulutnya komat kamit mengumpat. "Dasar Bara Bere," umpatnya, walau dalam hati senang mendapatkan hadiah. ******** "Berapa duit ni Dek?" tanya Susan saat Karina pamer hadiah yang baru diberikan bosnya itu. "Nggak tahu sih Mbak." "Asli?" "Menurut Mbak tu orang level beli barang KW?" Susan refleks menggeleng, ya kali bos adiknya itu sanggup membeli mobil seharga hampir lima milyar masa beli perhiasan KW kan rasanya tak mungkin. Mereka bahkan tadi tercengang saat Karina memberitahu kalau harga mobil yang terparkir di depan rumah mereka itu berkali lipat dari hutang yang mereka cicil mati - matian selama bertahun - tahun. "Ini nggak ada surat - suratnya Dek? Nggak dikasih?" "Nggak boleh dijual katanya." "Kok gitu." Karina menghendikkan bahunya. "Spesial kali mangkanya nggak boleh dijual." "Bisa jadi," jawab bunda ikut nimbrung. "Coba Kita cari tahu harganya berapa di internet." Susan berselancar di internet mencari kalung yang persis sama seperti yang dipakai Karina. Susan membuka laman website dari brand kalung ternama tersebut dan tercenang melihat harganya. Kalung kecil berwarna rose gold dengan bentuk hati kecil di tengahnya itu berharga seribu delapan ratus dolar. Bisa dibilang ini kado termahal dari bosnya itu selain mobil tentunya. "Gila sih Dek. Kalau Mbak jadi Kamu udah Mbak pepet dari dulu. Cerah masa depan, terang benderang nggak akan kekurangan." "Iya Kar. Bunda setuju kok, langsung dapat restu. Iya kan Pak?" ucap bunda. "Kalau Bapak sih oke oke aja. Anaknya baik, sopan santunnya juga baik. Yang lebih penting agamanya juga baik." Karina celingukan, tak sampai setengah hari bosnya itu ada di rumah ini tapi keluarganya ini sudah macam dipelet bosnya sampai sesuka itu pada dirinya. "Pak, Bun, Mbak. Itu bos Karina bukan calon suami. Tolong jangan salah paham," ucap Karina agak tak enak kalau nanti tiba - tiba Bara tak sengaja dengar. "Calon suami juga nggak apa - apa Kar," goda Susan dan Karina tak mau lagi berdebat. Mereka masih berdiskusi saat Bara muncul. Rambutnya masih setengah basah, Bara ikut bergabung dengan keluarga Karina yang sedang berkumpul di ruang tengah sembari menonton televisi. "Gimana Nak? Segar habis mandi?" tanya Bapak, menepuk punggung Bara begitu pria itu duduk di sampingnya. Bara tersenyum. "Dingin Pak," jawabnya dan Bapak langsung tertawa mendengarnya. "Yo aneh kalau di sini nggak dingin, haha," tawa Bapak bersamaan dengan Bunda yang mengajak mereka beranjak ke meja makan untuk makan malam. "Bapak kebiasaan deh habis mandi rambut nggak dikeringin lagi. Nanti flu loh. Udah malam ini." Karina risih melihat rambut Bara yang airnya masih ada yang menetes. Bara menyugar rambutnya. "Nanti juga kering sendiri." Karina mencebik, kan kalau Bara yang sakit dirinya yang repot. Bapak, Bunda dan Susan saling lihat, agak ambigu dengan kata kebiasaan yang Karina ucapkan tadi, seolah Karina sudah sering melihat Bara habis selesai mandi dan tak mengeringkan rambutnya lagi. Mereka mulai makan malam, ada banyak jenis lauk yang Bunda buat, sudah macam ada acara hajatan saja di rumah mereka. "Maaf ya Nak Bara, makananya cuma ini aja, seadanya." Bara tersenyum agak canggung. "Ini sudah lebih dari cukup Bu." "Semoga sesuai selera Kamu ya. Soalnya cuma ini yang bisa Bunda masak. Oiya manggilnya jangan Bu, Bunda aja biar sama kayak Karina," ucap Bunda, kemudian mengkode Karina. Karina yang tak paham kode Bunda dengan lancar hanya mengambil nasi untuk dirinya sendiri. "Kar," seru bunda. Karina yang duduk di sebelah Bara dan berhadapan dengan Susan mendongak. "Kenapa Bun?" tanyanya. "Diambilin itu Lo Mas Mu makanannya." Karina melongo mendengar ucapan Bunda. "Mas mu?" desisnya kemudian menoleh ke arah Bara takut bosnya itu salah paham. Nyatanya Bara cuek saja dan tak terganggu sama sekali. "Saya bisa ambil sendiri kok Bun." "Nggak, biar Karina saja. Karina." Bunda agak melotot dan Karina sambil misuh - misuh menyentongi nasi ke piring Bara dan menanyakan apa saja yang ingin Bara makan. Di tengah makan malam sesekali Bapak mengajak Bara bicara, beliau juga menanyakan kiat - kiat agar barang dagangan bisa cepat laku. Bara memang lebih muda dari Bapak, tapi jelas sepertinya ilmu marketing Bara jauh lebih senior dari Bapak. Setelah mereka mengobrol di depan televisi, Adin bahkan seperti sudah akrab sekali dengan Bara, gadis kecil itu duduk di pangkuan Bara sembari menonton televisi. "Adin, jangan dipangku terus ih. Turun duduk di bawah," ucap Susan sembari menyajikan teh hangat dan bakwan ke atas meja. Adin menggeleng dan malah makin merapat ke arah Bara. Melihat itu Bara hanya tersenyum membiarkan Adin memeluknya. "Oom baunya kayak Auntie KarKar," katanya mengendusi Bara, sikapnya itu persis seperti Karina. "Kan Om mandinya pakai sabun auntie Karkar, mangkanya aromanya sama," jelas Bara. "Bapak mandi pakai sabun Saya?" tanya Karina yang menongolkan kepala dari pintu dapur. "Terus Saya mau pakai sabun siapa? Di kamar mandi Kamu cuma ada itu," jelasnya lagi mengingat ia mandi di kamar mandi kamar Karina. "Tapikan biasanya Bapak bawa alat mandi sendiri?" "Nggak Kamu ambil di dalam mobil." Karina mencebik tak menjawab lagi, kembali membereskan meja makan dan mencuci piring. "Om," seru Adin. "Iya." Bara menunduk melihat Adin. "Om nanti mau menikah sama auntie Karkar ya?" tanyanya polos. Semua terdiam menunggu respon Bara. Bara tersenyum mengelus kepala Adin. "Memangnya kenapa? Kok nanyanya begitu?" "Soalnya kata mamanya Laudia temannya Adin, kalau bawa cowok ke rumah itu biasanya pacar yang nanti jadi calon suami, terus menikah," jelasnya. Bara sedikit agak syok dengan ucapan gadis kecil berusia empat tahun tersebut. "Oh yah?" Adin mengangguk polos. "Coba tanya auntienya mau nggak menikah sama Om?" ******** #Jangan Lupa Vote dan Komen ya ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN