CHAPTER :: 02

1505 Kata
Pria itu melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Setiap pagi selalu seperti ini. Tidak ada pagi yang tenang untuknya. Menyiapkan pakaian untuk dirinya sendiri, menyiapkan pakaian dan juga sarapan untuk anak semata wayangnya. Belum lagi, menyiapkan peralatan sekolah anaknya itu. Semuanya ia lakukan sendiri, tanpa bantuan siapapun. Mungkin kalian bertanya-tanya, tentang keberadaan istrinya. Istrinya bukan orang yang tidak bertanggung jawab, yang meninggalkan dirinya dan anaknya begitu saja. Justru sebaliknya. Istrinya adalah salah satu perempuan terbaik dalam hidupnya. Namun ternyata, Tuhan lebih menyayangi istrinya. Ia mengambil istrinya saat anaknya lahir ke dunia. "Zanna sayang, sarapan dulu yuk!" Ajak pria tersebut pada anak perempuannya yang sedang duduk di atas kasurnya. Kosakata serta ajakan yang sudah Zanna hafal diluar kepala, membuat gadis itu langsung mengangguk. Mengikuti Ayahnya dari belakang. Di matanya, pria yang menjabat sebagai Ayahnya itu terlihat seperti pahlawan. Menyiapkan semua keperluannya dengan baik. Zanna ingin sekali mengungkapkan rasa terimakasih nya, namun Zanna terlalu bingung bagaimana cara mengungkapkan itu semua. "Ini tas Zanna. Hari ini Zanna akan ada kegiatan membuat kupu-kupu di sekolah. Semuanya sudah Ayah siapkan di sini. Zanna harus dengarkan kata-kata Bu Guru ya? Oke?" Ucap pria tersebut, Fawaz. Lengkapnya Fawaz Nadeem Abdias. "Sekarang Zanna sarapan yang baik. Ayah mau siapin keperluan Ayah dulu sebentar, ya?" Tanpa menunggu jawaban dari Zanna, Fawaz segera melenggang pergi meninggalkan Zanna sendiri di ruang makan. Zanna terlihat tidak peduli. Gadis kecil itu langsung melahap makanannya. Rumah yang ditempati oleh sepasang Ayah dan Anak ini tidak besar. Namun tidak terlalu kecil juga. Rumah ini hanya terdiri dari satu lantai saja. Sehingga membuat Fawaz tidak terlalu khawatir meninggalkan anaknya sendiri di sini, karena ia masih bisa memantaunya. "Kalau sudah habis, Zanna bilang ya. Maaf hari ini Zanna harus makan sendiri. Soalnya Mbok Ayu, izin datang terlambat." Ucap Fawaz sambil hilir mudik. Zanna hanya terdiam. Tidak membalas ucapan sang Ayah. Mbok Ayu adalah pengasuh Zanna. Jam kerjanya memang tidak full. Ia hanya bekerja jika Fawaz sedang bekerja juga. Biasanya Mbok Ayu datang ke rumah pukul 6, namun hari ini ia meminta izin untuk datang terlambat karena harus mengantar suaminya berobat. "Ya ampun Zanna, kenapa ini berantakan banget?" Ucap Fawaz terkejut saat melihat makanan yang Zanna makan sudah berceceran ke sana sini hingga mengotori pakaiannya. Zanna terdiam. Raut kebingungan nampak di wajahnya. Gadis kecil itupun seketika menghentikan kegiatan sarapannya. Sedangkan Ayahnya, hanya bisa menghela nafasnya berat. "Lain kali, kalau makan itu pelan-pelan ya. Nggak usah buru-buru, jadi berantakan kaya gini kan?" Ucap Fawaz sambil membersihkan meja makan yang sudah berantakan itu. "Kalau kau gini, kita makin kesiangan. Kamu harus ganti baju lagi. Mana Mbok Ayu belum datang." Lanjut Fawaz kembali mengatakan keluh kesahnya kepada sang Anak. Zanna tidak menyahut satu kata pun. Ia hanya memperhatikan setiap gerak gerik Ayahnya, sambil memegang sendok yang sedari tadi ia cecapi. "Udah jangan dijilatin terus. Jorok Zanna. Taruh sendok ya di atas piring, oke?" Perintah Fawaz. Lagi-lagi Zanna tidak menjawab. Gadis kecil itu tetap asyik pada kegiatannya, yakni mencecapi sendok makannya. Fawaz kembali menghela nafasnya. Mengambil sendok yang sedari tadi dipegang Zanna, kemudian menaruhnya di atas piring yang masih berisi nasi beserta lauk pauknya. "Oke, sekarang kita ganti baju lagi. Tapi sebelum itu, kita bersihin badan kamu dulu. Ayo!" Fawaz segera menuntun lengan Zanna dan membawanya ke kamar yang menjadi tempat tidur mereka berdua. "Yah..yah, Nana Au Pis. (Ayah, ayah. Zanna mau pipis.)" Cicit Zanna pelan. Fawaz yang kurang mengerti anaknya berbicara apa, mengerutkan keningnya. "Apa, sayang? Ngomongnya yang jelas dong." "Au Pis.." "Mau pipis?" Zanna mengangguk. "Yaudah, kita pipis sekalian bersihin badan kamu lagi." Ucap Fawaz. Anaknya, Zanna memang belum fasih berbicara. Bahkan beberapa kosa katanya masih sulit dipahami oleh Fawaz sendiri. Namun, Fawaz rasa hal ini wajar mengingat umur Zanna yang baru menginjak 5 tahun. Bukankan anak umur 5 tahun memang belum bisa berbicara dengan lancar dan fasih, iya kan? *** Fawaz sedikit mencondongkan tubuhnya. Melepas sabuk pengaman yang mengikat anak gadisnya. Mereka berdua kini telah sampai di sekolah tempat Zanna mengemban pendidikan formal pertamanya. "Zanna maaf, ayah nggak bisa anterin kamu sampai sana. Ayah lihatin dari sini aja ya? Ayah lagi buru-buru soalnya. Nggak papa kan?" Zanna tersenyum manis. "Kum, Ayah." Ucap Zanna sambil mengulurkan tangannya. Fawaz yang sudah mengerti maksud Zanna pun mengulurkan tangan kanannya balik. Zanna tersenyum lagi. Kemudian mengecup punggung tangan ayahnya. "Maacih ya Ayah." Cicit Zanna. Fawaz mengangguk. Setelah tangannya dilepaskan oleh Zanna, Fawaz mengulurkan tangannya untuk membuka pintu penumpang, tepat di mana Zanna duduk. "Sama-sama Sayang. Yaudah, sekarang Zanna turun ya. Bu Gurunya udah nunggu tuh. Semangat belajarnya!" Balas Fawaz. Dengan sedikit kesulitan, Zanna pun turun dari mobil Ayahnya. Melambaikan tangannya kemudian berbalik menuju gedung sekolahnya. Dari dalam, Fawaz terus memperhatikan anaknya. Gadis kecil yang sudah ia rawat seorang diri. Namun, tepat saat Zanna sampai di depan guru-gurunya, pandangan Fawaz justru beralih pada seorang guru yang sedang berbicara dengan Zanna. Gadis berkerudung merah muda itu terlihat sangat cantik. Wajahnya terlihat teduh dan lembut. Membuat Fawaz menyunggingkan senyumnya tanpa sadar. Sejak saat itu, Fawaz tidak pernah berhenti memikirkan gadis itu. Gadis yang menjabat sebagai wali kelas Zanna. Iya, Fawaz jatuh hati pada pandangan pertama. Terdengar konyol. Tapi itu faktanya. *** Fawaz kini sudah sampai di tempatnya mencari pundi-pundi rupiah. Caffe yang diberi nama Fedrea's Caffe ini ia rintis sejak lulus kuliah bersama mendiang Istrinya. Fedrea's sendiri diambil dari gabungan namanya dan juga istrinya, Fawaz dan Edrea. Mereka memulai semua ini benar-benar dari 0. Dan di tahun ke 3 mereka berjuang, akhirnya mereka bisa membangun caffe ini dan makin melebarkan sayapnya ke beberapa daerah. Di tahun ke 8 caffe ini di bangun, Fawaz kini sudah berhasil mendirikan 3 cabang di pulau Jawa. Memang belum banyak, tapi cukup untuk menghidupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan juga Zanna. Fawaz memarkirkan mobilnya di parkiran khusus karyawan. Sebelum masuk ke parkiran ini, Fawaz sudah melihat banyak mobil dan juga motor yang terparkir di halaman Caffe. Padahal, jam baru menunjukkan pukul 9, dimana caffe baru saja akan di buka. Fawaz berjalan menuju caffenya, melalui pintu karyawan yang langsung terhubung ke area dapur. Beberapa pegawainya sudah standby di tempatnya masing-masing. "Selamat pagi. Maaf, saya sedikit terlambat. Jalanan tadi agak macet." Sapa Fawaz kepada karyawannya. "Pagi Bos. Nggak papa, santai aja kali bos." Jawab salah satu pegawainya dengan santai. "Bos kan yang punya caffe, kalau telat ya nggak akan ada yang marahin juga. Kalaupun ada siap-siap potong gaji. Iya nggak?" Canda laki-laki itu. "Bisa aja kamu Dhar." Balas Fawaz. "Oh iya Put, bahan-bahan makanan yang kemarin saya minta udah di pesankan? Soalnya stock yang kita punya tinggal dikit lagi. Dan besok harus sudah ada." Lanjut Fawaz bertanya pada para pegawainya yang bernama Putra. "Udah Pak. Sore ini dikirim." Jawab Putra. "Oke kalau begitu. Lanjut kerja, pelanggan udah pada nunggu kelaparan tuh. Saya ke ruangan dulu taruh tas, abis itu saya nanti langsung gabung." Ucap Fawaz kemudian melenggang pergi menuju ruangannya yang berada di lantai dua. Sepeninggalan Fawaz, para pegawai yang diisi oleh mayoritas laki-laki dibagikan dapur ini, kembali sibuk pada kegiatannya masing-masing. Ada yang mengolah adonan, ada yang sedang menggoreng bumbu-bumbu dasar dan ada juga yang sedang meracik bahan untuk minuman. "Pak Fawaz Udah datang belum?" Tiba-tiba seorang gadis masuk ke dalam dapur, membuat fokus mereka teralihkan kembali. "Udah, baru aja. Kenapa Let?" Tanya Dharma. "Ini, mau ngasih laporan keuangan yang kemarin." Jawab Aletta sambil menunjukkan map berwarna hijau di tangannya. Alleta ini diberi kepercayaan untuk mengurus semua pemasukan dan pengeluaran caffe ini. Caffe ini pun dibentuk tanpa ada struktur yang terlalu jelas. Jika Fawaz sudah percaya pada salah satu karyawannya, maka Fawaz akan langsung menunjuknya. Sedangkan Dharma sendiri pun merupakan seseorang yang bertanggung jawab dibagikan dapur, begitupun dengan Putra. "Oh, yaudah sana ke ruangannya aja." Ucap Dharma. Aletta pun mengangguk dan melenggang pergi menaiki tangga yang menghubungkannya dengan ruangan Fawaz. "Eh Bapak, baru saja saya mau nyamperin Bapak ke ruangan. Udah keburu turun." Ucap Aletta saat berpas-pasan dengan Fawaz di tengah-tengah anak tangga. "Ada apa Leta?" Tanya Fawaz yang kini sedang memakai apron andalannya. "Eng, ini Pak. Laporan keuangan yang kemarin Bapak minta. Alhamdulillah Pak, satu bulan ini caffe mengalami kenaikan sebesar 15%." Ucap Aletta memberi sedikit penjelasan. Gadis itu pun mengulurkan map hijau tersebut kepada Fawaz. Fawaz menerima map tersebut. "Oh ya? Bagus dong! Gaji kalian bisa-bisa naik nih tahun ini." Ucap Fawaz sambil membuka laporan keuangan caffe ini. "Aamiin... Semoga deh Pak. Lumayan kan, buat modal nikah?" Canda Aletta. Fawaz tertawa kecil. "Nikah, nikah. Masih kecil juga, emang udah ada calonnya?" Balas Fawaz dengan candaan pula. Aletta menggaruk tengkuknya. "Ya.. belum ada. Tapi nggak ada salahnya kan nabung dulu?" Ucap Aletta. "Ya nggak salah juga sih." Balas Fawaz. "Yaudah, saya simpan ini dulu ya. Kamu lanjut kerja sana " lanjut Fawaz. "Siap Pak!" Jawab Aletta. "Eh Pak, udah sarapan? Kalau belum nanti saya siapin." Lanjut Aletta menawarkan diri. 3 tahun bekerja di caffe ini, membuat Aletta mengenal bagaimana kebiasaan atasannya itu. "Mmm.. nggak usah deh. Nanti biar saya yang siapin sendiri. Btw, makasih buat tawarannya." Ucap Fawaz. "Sama-sama Pak, kalau begitu saya mau balik ke tempat saya ya. Permisi, Pak." Pamit Aletta. "Ya.." Jawab Fawaz kemudian membalikkan badannya untuk kembali ke ruangan kerjanya. Menyimpan berkas keuangannya di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN