CHAPTER :: 05

1627 Kata
"Bu Inez?" Sapa pria tersebut setelah membukakan kaca mobil miliknya. Gadis di depannya terlihat mengerutkan keningnya sejenak. Namun, tak lama kerutan itu perlahan menghilang. "Mm.. Papanya Zanna?" Ucap Inez sedikit bingung harus memanggil pria di depannya ini dengan sebutan apa. "Iya, saya Papanya Zanna. Kalau ibu lupa." Balas Fawaz sambil menunjuk Zanna yang sedang tertidur di pangkuannya. "Ah, nggak. Saya ingat kok." Jawab Inez, canggung. Gadis itu kini kembali fokus pada jalanan di depannya. Mencari dan menunggu angkutan umum yang akan membawanya pulang ke rumah. Kerutan resah di keningnya semakin nampak. Hari sudah semakin sore, namun hampir semua angkutan umum menuju rumahnya selalu terisi penuh. Tanpa sadar, Inez mendengus dan itu bisa terdengar langsung oleh Fawaz. Fawaz yang melihat itu segera membuka seat beltnya. Turun dari mobil dengan hati-hati. Sebab, masih ada Zanna di dalam pangkuannya. "Lama ya?" Tanya Fawaz, membuat Inez berjengit kaget. "Maaf.. maaf, saya buat kamu kaget." Lanjut Fawaz. "Nggak papa Kok Pak." Balas Inez. "Eh, kenapa Bapak turun?" Tanya Inez, kali ini Inez memilih memanggil pria di depannya ini dengan sebutan 'Bapak', lebih cocok. Lagipula, rasanya aneh jika Inez harus memanggilnya dengan sebutan Papa Zanna. Selain terlalu panjang, sebutan tersebut juga sedikit menggelikan untuk Inez. "Daripada Ibu nunggu lama di sini, lebih baik saya antar pulang. Ayok!" Tawar Fawaz yang kemudian membukakan pintu penumpang bagian depan untuk Inez. Inez terlihat ragu. "Nggak usah ragu, ayok masuk." Ajak Fawaz. "Nggak usah repot-repot Pak. Bentar lagi angkutan umum ke rumah saya pasti lewat lagi." "Saya nggak merasa repot. Lagipula rumah saya dan Bu Inez sepertinya se arah. Nggak ada salahnya kan, saya membantu Bu Inez dengan memberikan tumpangan?" Inez bingung. Di satu sisi ia mau-mau saja menerima tawaran pria di depannya ini. Tapi di sisi lain, Inez merasa tidak enak. Bagaimanapun mereka adalah dua orang yang berbeda jenis kelamin. Di tambah status Fawaz yang seorang duda. Inez merasa tidak pantas jika ia harus menerima tawaran Fawaz. Belum lagi, status Fawaz yang merupakan orang tua dari muridnya sendiri. Rasanya semakin aneh. "Nggak salah sih Pak, tapi..." Balas Inez ragu. "Di sini udah sepi. Kemungkinannya sangat kecil kalau ada yang lihat Ibu naik ke mobil saya. Udah ayok masuk, saya sama sekali tidak merasa repot dan keberatan kalau harus antar Ibu ke rumah. Justru yang seharusnya merasa tidak enak itu saya, karena sudah selalu merepotkan ibu mendidik Zanna." Jelas Fawaz yang perlahan mulai mengerti keraguan Inez. "Ayok, pintunya sudah saya buka. Ibu tinggal masuk, dan duduk manis. Selesai. Kalau semakin lama ibu berdiri kaya gini, malah nanti orang-orang yang lewat curiga lagi. Ayok!" Ajak Fawaz sambil melirik Inez dan juga pintu mobil yang sudah terbuka. "Beneran, nggak papa Pak?" Tanya Inez. "Nggak, ayo cepat masuk!" Jawab Fawaz. Dengan perasaan yang sedikit ragu, Inez pun masuk ke dalam mobil milik Fawaz. Dalam hati Inez berucap, jika ini adalah pertama dan terakhir untuk Inez menerima tumpangan dari Ayah muridnya itu. Setelah Inez duduk dengan baik, Fawaz kembali mengitari mobilnya. Pergerakan tersebut tak luput dari pandangan Inez. Saat melihat Fawaz kesusahan membuka pintu pengemudi, Inez berinisiatif untuk membantunya. "Terimakasih.." ucap Fawaz lembut. "Ya, sama-sama." Balas Inez. "Mmm.. itu, Zanna biar saya yang pangku saja Pak. Bapak bisa fokus nyetir aja." Lanjut Inez ragu-ragu. Fawaz menoleh. "Serius, ibu mau gendong Zanna?" Tanya Fawaz. Inez mengangguk. "Iya Pak. Zanna biar sama saya aja. Saya nggak keberatan sama sekali. Sini." Perlahan Inez sudah mulai cair. Tidak merasa terlalu canggung seperti di awal-awal. Kini gadis dewasa itu, mengulurkan tangannya ke arah Fawaz. "Maaf ya, saya lagi-lagi merepotkan Ibu." Ucap Fawaz tidak enak. Pria itu dengan perlahan memindahkan Zanna dari pangkuannya ke pangkuan Inez. "Nggak papa Pak. Saya sama sekali nggak keberatan. Justru saya yang sudah merepotkan Bapak. Karena harus mengantarkan saya ke rumah." Jawab Inez. Zanna yang merasakan pergerakan dari sekitarnya, merasa terganggu. Matanya terbuka. "Ngghh.. Pa..pa." racau Zanna. "Shh.. sekarang Zanna sama Bu Inez dulu ya." Ucap Inez sambil mengusap punggung Zanna. Gadis kecil itu kini, kembali tertidur nyaman di pangkuan Inez. Pergerakan kecil itu tanpa sadar membuat Inez tersenyum. Inez kembali mengusap punggung kecil Zanna, agar Zanna tidur nyenyak kembali. Pergerakan-pergerakan yang dilakukan Inez, tentu saja tak luput dari pandangan Fawaz. Meskipun sedang fokus menyetir, pria itu sesekali melirik ke arah Inez. Perlakuan tulus Inez terhadap Zanna, membuat Fawaz semakin yakin untuk dapat mendekati Inez dan mendapatkan gadis itu. Suasana di dalam mobil sangat hening. Hanya terdengar suara bising dari luar. Baik Inez ataupun Fawaz sepertinya sibuk dengan pemikirannya masing-masing, untuk mencari topik pembicaraan yang tepat. Suasana yang semakin sore, tentunya membuat jalanan semakin padat. Selain pagi hari, sore hari juga adalah jam-jamnya sibuk. "Ngghh.. Papa.." panggil Zanna seirama dengan matanya yang mulai terbuka. "Ehh.. Zanna udah bangun?" Tanya Inez refleks saat melihat gadis kecil dipangkuannya terduduk dengan tegak. Zanna yang mendengar suara yang sangat berbeda dari suara Papanya, langsung mendongak. "Bu Guru?" Cicit Zanna pelan. "Iya, ini Bu Guru." Jawab Inez. Zanna hanya manggut-manggut. "Pa.. lapar." Ucap Zanna sambil mengusap perutnya. "Zanna lapar? Mau makan?" Tanya Fawaz memastikan. Karena sekali lagi, terkadang ucapan Zanna masih sulit dimengerti oleh Fawaz. Zanna mengangguk. "Mamam. Zanna lapar." Cicit Zanna lagi. "Mmm.. nanti kita makan di rumah aja ya. Papa harus antar Bu Gurunya Zanna dulu. Oke?" ucap Fawaz sambil menunjuk Inez yang berhadapan dengan Zanna. "Mam.. lapar." Ucap Zanna lagi. "Iya, nanti di rumah ya. Papa harus antar Bu Inez dulu sayang. Kasihan Bu Ineznya. " Jawab Fawaz. "Na, lapar. Pengen Mamam. Lapar papa.." Kali ini Zanna sudah mengeluarkan rengekannya. Bahkan gadis kecil itu sepertinya tidak terlalu mempedulikan kehadiran Inez di antara mereka. Fokus utama Zanna kali iini hanya bagaimana cara agar perutnya bisa terisi penuh secepatnya. Inez yang sedari tadi hanya memperhatikan interaksi antara Ayah dan anak itu, memutuskan untuk mengeluarkan suaranya. "Sstt oke. Kita makan. Kita mampir ke tempat makan. Oke?" bisik Inez tepat di dekat telinga Zanna. Namun, masih bisa didengar dengan jelas oleh Fawaz yang duduk di kursi kemudi. "Pak, nggak papa kan? kasian Zanna. Maaf kalau saya terlalu lancang mengambil keputusan." Ucap Inez tidak enak. Justru saya yang harusnya minta maaf. Karena lagi-lagi merepotkan ibu. Balas Fawaz. “Drive thru sepertinya lebih baik. Kita bisa makan di mobil saja. Saya khawatir Ibu nggak nyaman kalau harus makan di tempat. Right?" lanjut Fawaz sambil memutar stir mobil ke arah kiri, menuju tempat makan cepat saji yang sudah terkenal itu. Inez menyunggingkan senyumnya. "Ya, dengan senang hati." Balas Inez. *** Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Inez sampai di depan rumahnya dengan selamat. Gadis itu turun dari mobil hitam milik Fawaz, tentunya diikuti oleh sang empunya mobil. Posisi Zanna pun masih berada dipangkuan Inez. "Terimakasih Pak, atas tumpangannya. Dan maaf, saya jadi merepotkan Bapak." Ucap Inez setelah menyerahkan Zanna pada Fawaz. “No problem. Justru saya yang harusnya bilang maaf dan terimakasih. Karena lagi-lagi saya dan Zanna merepotkan Ibu. Maaf, karena saya Ibu juga jadi pulang sedikit telat." Balas Fawaz. “Its okay. Santai saja pak." Balas Inez. Pembicaraan formal seperti ini sebenarnya sangat tidak mengenakkan bagi Inez. Tapi mau bagaimana lagi, yang sedang ia hadapi adalah wali muridnya. Seorang pria pula. Mungkin jika wali muridnya ini adalah teman lamanya atau seorang ibu, suasana formal seperti ini tidak akan ada. "Yasudah, kalau begitu saya dan Zanna pamit ya. Sudah sore." Pamit Fawaz. Inez menganggukkan kepalanya canggung. "Ya, hati-hati Pak." Balas Inez, tersenyum tipis. "Pasti, Assalamualaikum.." ucap Fawaz, kemudian kembali memasuki mobilnya. Kali ini, Zanna tidak lagi duduk di pangkuannya. Zanna kini duduk di kursi samping pengemudi. Waalaikum salam... hati-hati Pak.,x Balas Inez. "Bye Zanna, see you tomoorow.." ucap Inez, pada Zanna. Fawaz sengaja menurunkan kaca mobil bagian Zanna. Bermaksud agar Zanna berpamitan pada wali kelasnya itu. "Oke, kami pamit ya. See you tomorrow, Bu Inez." Setelah mengucapkan itu, mobil yang dikendarai oleh Fawaz pun mulai melaju. Sedangkan Inez masih berdiri di tempatnya, sampai mobil itu menghilang ditelan tikungan jalan. Setelah benar-benar menghilang barulah Inez memasuki rumahnya. "Assalamualaikum" salam Inez saat memasuki rumahnya. "Bu, Ibu dimana?" panggil Inez. "Waalaikum salam, Ibu di dapur Nez.." jawab Nina, Ibu Inez. Mendengar jawaban tersebut, Inez segera melangkahkan kakinya menuju dapur. Di sana Inez melihat Nina yang sedang sibuk memasak. Inez meletakkan tas nya di atas meja makan dan berjalan menghampiri Ibunya. "Bu, maaf Inez pulang terlambat. Inez nggak bisa bantuin Ibu deh. Harusnya kan sore ini Inez yang masak. Maaf ya, bu.." ucap Inez sambil memeluk Ibunya dari belakang. Inez adalah anak satu-satunya di keluarga kecil ini. Tentu saja hal itu membuat hubungan Ayah, Ibu dan anak ini sangat harmonis. Inez yang sudah berumur 25 tahun pun terkadang masih bersikap manja jika berhadapan dengan orang tuanya. "Nggak papa, lagian tumben kamu pulang sore? Lagi banyak kerjaan?" jawab dan tanya Nina. Wanita paruh baya itu memilih untuk mematikan kompornya terlebih dahulu dan mengajak putrinya mengobrol. Inez mengangguk. "Ya, biasa administrasi sekolah. Di tambah tadi susah nyari ojek onlinenya. Untungnya, tadi Inez ketemu wali murid dan ngajakin pulang bareng. Awalnya Inez nggak mau. Nggak enak aja gitu, karena kebetulan wali muridnya itu laki-laki. Duda lagi. Tapi karena udah sore, ya.. mau nggak mau Inez terima. Daripada pulang kesorean, nggak papa kan Bu?" jelas Inez. Kedua tanggan itu masih asyik melingkar dipinggang sang Ibu. Nina mengelus puncak kepala Inez lembut. "Ya, nggak papa. Baru sekali ini aja kan?" Inez yang merasa nyaman dalam dekapan sang Ibu, hanya menganggukkan kepalanya. "Udah ah, sana kamu bersih-bersih! Ibu mau lanjut masak dulu. Nanti Ayah keburu pulang, masakkannya belum siap lagi. Bisa-bisa ayah kamu nangis kelaperan nanti." Ucap Nina kemudian melepaskan tangan Inez dari pinggangnya. "Ya, ya Ibu bisa sendiri? Sebelum mandi Inez bisa bantu nih." Tanya Inez. "Udah, tinggal dikit lagi. Kamu mandi aja sana. Bau!" ledek Nina sambil menutup hidungnya. Inez mendengus. "Enak aja! Masih wangi gini, bau dari mana." Ucap Inez tak terima. Yaudah, Inez ke kamar ya. Kalau ada apa-apa panggil aja. Mau mandi, gerah. Bye Ibu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN