Bu Rasti, Pak Anton, Parmi dan juga Iqbal, kini tengah berkendara menuju Sleman, kampung Parmi. Iqbal dan Pak Andi duduk di kursi depan, dengan Iqbal yang mengendarai mobil Pak Andi, Omnya. Sedangkan Parmi, Bu Rasti dan Anton duduk di kursi penumpang.
Parmi duduk di pinggir dekat jendela, sedangkan Bu Rasti di tengah dan Anton duduk di sebelahnya. Perjalanan cukup jauh saat puasa tak membuat semangat Bu Rasti luntur, maksud kedatangan mereka ke kampung halaman Parmi adalah hendak melamar Parmi untuk Anton. Dengan sedikit berat hati Anton menyanggupi permintaan kedua orangtuanya.
"Jauh juga ya kampung kamu." ujar Bu Rasti saat mereka tengah berada di tol. Maklum saja Bu Rasti belum pernah ke luar kota dengan menggunakan mobil, biasanya dengan pesawat ataupun kereta api.
"Iya, Bu. Makanya kalau kita jalan kaki pasti cape banget!" sahut Parmi penuh dengan kepolosan.
"Mati iya kali kamu, jalan kaki dari Jakarta ke Sleman!" celetuk Anton, sedangkan Bu Rasti dan yang lainnya sudah tertawa terbahak-bahak.
"Emang mau jadi duda lagi?" Parmi menanggapi dengan wajah polos, memandangi Anton yang duduk di sebrang sana. Anton memutar bola mata malasnya. Sedangkan Parmi mencebikkan bibirnya, matanya beralih memandang jalanan yang tidak terlalu padat, hingga tak terasa matanya pun terpejam.
Beberapa kali Bu Rasti menggeser kepala Parmi yang bersandar di bahunya. Parmi tertidur sangat pulas, sesekali ia tersenyum dalam tidurnya. Anton yang melirik Parmi, bergidik.
"Mah, Parmi waraskan?" bisik Anton pada mamanya.
"Hush, ngaco aja kalau ngomong!" sergah Bu Rasti dengan pandangan jengah ke arah Anton.
"Itu, cengar-cengir dalam tidur."
"Dia lagi mimpi indah kali, mimpi lagi jadi pengantin Anton Yasin." sela Iqbal sambil terkekeh.
"Ck, berat nih Parmi!" gumam Bu Rasti yang pundaknya menjadi tempat bersandar Parmi. Ga sopan emang ini pembokat, eh calon mantu deh. Jadi ga papa.
"Tukar tempat sini!" Bu Rasti menepuk lutut Anton, meminta bertukar posisi.
"Gak mau ah!" Anton bersungut tidak mau.
"Ga kasian kamu sama Mama!" rengek Bu Rasti mengiba, pundaknya sudah sangat pegal. Kepala Parmi ia geser lagi, tanpa sengaja Iqbal mengerem mendadak.
Dug...
"Auu..." Parmi meringis, memegang keningnya yang terbentur jendela mobil. Matanya sedikit terbuka.
"Saya ketiduran ya, Bu?"
"Bukan tidur tapi pingsan!" celetuk Anton lagi.
"Oh...hhhoooaaamm..." Parmi menyenderkan kembali kepalanya di jendela. Setelah sedikit memaksa, akhirnya Anton kini duduk di tengah, sedangkan Bu Rasti di pinggir. Benar saja tak lama Parmi sudah menaruh kepalanya di lengan Anton. Anton menggeser kepala Parmi, namun ditahan oleh Parmi, seperti ada lem yang menempel di kepala Parmi.
"Ck, ngeselin banget sih nih calon bini!"
"Sini lemparin ke gue!" sahut Iqbal terdengar cukup serius.
"Packing nih!" celetuk Anton lagi. Keduanya tertawa, sedangkan Bu Rasti dan Pak Andi sudah ikut tertidur seperti Parmi.
"Pakein bubble wrap ga? Biar tahan banting."
"Ga usah, calon bini gua, tahan banting dan anti bocor." keduanya kembali terbahak, sambil mengomentari Parmi yang masih terlelap di lengan Anton.
"Ini tuan, sempak abunya!" oceh Parmi dalam tidurnya.
"Ya salam, bisa-bisanya ngigo sempak gue." Anton terbahak begitu juga Bu Rasti yang terbangun, saat mendengar ocehan tidak jelas, antara anak dan keponakannya.
Akhirnya, mereka beristirahat di rest area, saat adzan magrib berkumandang. Berbuka puasa dan melaksanakan sholat magrib disana. Parmi pamit sebentar ke toilet karena perutnya mendadak mulas. Lima belas menit berlalu namun Parmi tidak juga kembali. Bu Rasti menjadi khawatir, takut Parmi nyasar atau diculik orang.
"Susulin Parmi, Ton. Ini sudah terlalu lama." ucap Pak Andi.
"Iya, Mama jadi takut, takut Parmi hilang atau diculik." Bu Rasti menambahkan, kepalanya masih celingak-celinguk mencari Parmi.
"Jangankan penculik, Mah. Yakuza aja ga berani ganggu Parmi!" sahut Anton terkekeh, sebelum akhirnya kakinya melangkah menuju toilet. Sepuluh menit berlalu, Anton belum juga kembali.
"Bal, susulin Anton deh, jangan-jangan keduanya diculik lagi!" oceh Bu Rasti semakin resah, sedangkan Iqbal hanya mengulum senyum. Namun kakinya melangkah turun dari mobil untuk menyusul Anton dan juga Parmi.
Ketiganya belum ada yang kembali, hingga Bu Rasti menyuruh suaminya menyusul Anton, Parmi dan juga Iqbal. Kini tinggal Bu Rasti sendiri di dalam mobil.
"Ya Allah, masa iya semua diculik sih!" gumam Bu Rasti, sambil terduduk resah.
"Pada kemana ini? Nyusulin cewe satu aja, kudu tiga lelaki!"
Setengah jam berlalu, namun belum ada juga yang kembali, akhirnya Bu Rasti memutuskan untuk turun dari mobil, lalu menguncinya, lalu berjalan ke arah masjid yang terletak persis di depan parkir mobil mereka.
"Permisi, Pak. Maaf saya mau melaporkan berita kehilangan." ucap Bu Rasti pada seseorang yang sedang duduk di dalam masjid. Pak tua itu menoleh.
"Ya Allah, ada yang bisa saya bantu, Bu."
"Ini, Pak. Umumin pake toa masjid bisa ga Pak?"
"Bisa, Bu. Siapa yang hilang?anak Ibu?"
"Iya, Pak. Anak, menantu, suami dan keponakan."
"Banyak, Bu. Untung Ibu ga hilang juga!" ucap Pak tua sambil berjalan ke arah toa masjid.
****
Sementara itu Parmi, masih kebingungan mencari keberadaan mobil majikannya, ia lupa dimana mobil itu terparkir. Hari sudah semakin gelap. Parmi kini berjalan ke arah luar rest area, memperhatikan satu persatu mobil yang keluar, ia berharap ada mobil majikannya yang melihatnya. Area itu sangat luas, apalagi ini malam hari sehingga cukup sulit melihat dengan jelas wajah seseorang. Pengumaman di masjid sudah bergema, Iqbal dan Pak Andi segera bergegas menuju masjid, sedangkan Anton masih menyusuri area disana, memperhatikan satu persatu wanita yang berjalan sendirian.
Jangan tanyakan Parmi, tentu saja ia tidak mendengar pengumuman yang terdengar jelas dari toa masjid.
"Ya Allah, jangan sampe Parmi diculik." gumam Anton, hatinya sedikit resah, bagaimana pun semua akan menjadi lebih sulit, jika sesuatu yang buruk terjadi pada Parmi. Anton mendengar pengumuman di masjid, ia lupa menelpon kedua orangtuanya, karena terlalu fokus mencari Parmi. Terdengar keresahan dari suara Bu Rasti yang mempertanyakan dimana keberadaan Parmi.
"Mama, tenang ya. Saya akan cari Parmi sampai ketemu, Mama dan Papa tunggu di masjid saja." Anton kembali meneruskan langkahnya. Sampai matanya bersirobok dengan sebuah pemandangan seorang wanita dengan rambut panjang tengah menangis tersedu mengusap air mata di kedua pipinya. Anton berjalan mendekati wanita itu, Anton tidak melihat dengan jelas wajahnya karena wanita itu menunduk, warna bajunya juga samar.
"Parmi!" teriak Anton cukup keras. Membuat Parmi yang menunduk menangis ketakutan, akhirnya menoleh ke asal suara.
"Tuan!" pekik Parmi. Ia bangun dari duduknya, lalu berlari kencang ke arah Anton.
Bug...
Parmi memeluk Anton dengan kuat.
"Huuaaa...Tuan, saya kirain saya ditinggal!" Parmi menangis tersedu-sedu, tangannya masih memeluk Anton.
"Udah, jangan nangis!" namun Parmi masih menangis, malah semakin kencang.
"Parmi udah, jangan nangis!" ucap Anton lagi, kini berusaha melepaskan pelukan Parmi, dia lelaki normal yang sudah lama tidak dipeluk wanita, tentu saja pelukan Parmi saat ini, membuat yang ada di negeri bawah sana, tersadar dari tidur lelapnya.
"Au...kok tajam!" ucap Parmi sambil melihat ke bawah. Pelukan itu merenggang.
Anton menggaruk kepalanya kasar.
"Yuk, Mama dan yang lain khawatir sama kamu, kamu kemana aja sih?"
Anton menarik Parmi berjalan menuju masjid.
"Saya lupa parkir mobilnya dimana, tuan. Jadi saya nyasar, nyari-nyari mobil tuan."
"Ya sudah, lain kali dihapalin ya!" Anton memegang lengan Parmi. Keduanya berjalan beriringan
"Makasih ya Tuan, udah mau cari saya."
"Iya."
"Untung saya ga diculik ya."
"Iya."
"Repot pasti, kalau saya hilang. Ya, kan?"
"Iya" sahut Anton lagi.
"Tuan ga bisa hidup tanpa saya ya!"
"Iya, eh...nggak...kata siapa?" Anton meralat ucapannya dengan segera. Berjalan mendahului Parmi. Parmi mengulum senyum, mengekori langkah Anton.
Akhirnya mereka sampai di masjid, terlihat raut wajah kelegaan Bu Rasti dan Pak Andi.
"Parmi, Ya Allah. Saya kira kamu diculik!" Bu Rasti memeluk Parmi hangat, terlihat Bu Rasti sangat khawatir.
"Maafin saya,Bu." ucap Parmi lemah, jujur ia masih syok saat hampir saja hilang di rest area tadi.
"Iya sudah ayo kita jalan lagi!" ajak Anton kepada semuanya.
Kali ini, Anton yang mengendarai mobil.
"Ikhlas ya, kalau Parmi tidur nyender di pundak gue!" bisik Iqbal, saat Anton hendak membuka pintu kemudi.
"Parmi, duduk di depan saja, temani Anton
" ucap Bu Rasti tiba-tiba. Ia sangat hapal gelagat Iqbal yang senang bisa duduk di belakang bersama Parmi. Parmi diam saja, ia tidak mendengar ucapan Bu Rasti barusan. Parmi malah membuka pintu penumpang belakang.
"Budegnya ini lho, ampun dah!" celetuk Anton lagi, kini sudah siap menyalakan mesin mobil.
"Parmi!" Bu Rasti menaril lengan Parmi,membukakan pintu penumpang di samping Anton.
"Kamu di depan, temani calon suami kamu!" ucap Bu Rasti, yang diikuti oleh anggukan Parmi.
Parmi duduk manis di depan. Mengambil cermin kecil di dalam tas kecilnya.
"Tuan, punya bawa tusuk gigi ga?"
Anton menoleh mendengar perkataan Parmi.
"Kenapa?"
"Ini kayaknya ada cabe nyelib di gigi saya!"
"Saya bawanya tusukan yang lain, tapi kayanya ga muat nyelip di gigi kamu!" sahut Anton asal sambil menahan tawa.
****