“Langsung balik Jakarta besok pagi, kan? Nanti malam ikut hangout?” Madewi masih berusaha mengajakku bergabung ikut nanti malam, ke The Lawn—salah satu beach club di Canggu.
Aku konsisten menolak halus, “lain waktu ya, kalau ke Bali lagi. Besok penerbangan pagi, enggak lucu kalau aku terlambat karena kesiangan.”
Madewi terkekeh, mendekat untuk memeluk singkat. Sebelum dia menjauh suara seseorang membuat kami berdua sama-sama menoleh.
“Dillah,”
Tidak banyak yang kenal namaku di tempat asing ini, aku menemukan sepasang mata menyorot ramah dibalik yang mampu membuat nyali seseorang jadi enggan, “Pak Dzaki?”
Dia mengangguk, Madewi lebih dulu menarik diri, “sampai jumpa lagi, Dil...” pamitnya.
“Ya, thank sudah temani dapat pengalaman indah beberapa hari ini.” ujarku tulus.
Sebelum kembali menatap pria yang tiba-tiba ada di pantai sama denganku, aku lebih dulu menatap Madewi yang menjauh menemui kekasihnya.
“Saya lihat kamu selancar tadi dan terlihat menguasai dengan baik. Pantas kamu pemberani ya, ombak saja kamu taklukan.” Sebentuk pujian yang kembali menarik atensiku, menoleh padanya.
“Belum benar-benar bisa dibilang menguasai, Pak. Saya masih belajar, ya setahun belakangan. Jarang-jarang juga, karena dapat kesempatan cutinya enggak setiap bulan. Setahun hanya dua sampai tiga kali kembali ke Bali.” Beritahuku. Begitu adanya, jika aku bisa lebih sering, pasti progres berselancarku lebih meningkat dari ini.
Dia mengulas senyum, “Papa lihat!” seruan tidak jauh dari kami membuatnya menoleh, aku pun baru sadar jika dia bersama putrinya lagi.
“Wah, bagus!” Pujinya, meski punya tampang yang disegani, saat bicara dengan putrinya tampak melembutnya dan tidak kaku. Seperti aku melihat Pak Sky jika sedang bersama Rigel atau si kecil, Kai.
“Lihat dulu, sini! Ini bagaimana lagi?” Pinta Nara membuat Pak Dzaki mendekat.
Waktu yang membuat mataku jadi memerhatikan Pak Dzaki, berbeda dari beberapa pertemuan kami termasuk yang kemarin malam dia memakai baju rapi, kemeja dan celana panjang, sore ini dia memakai celana pendek sebatas lutut berwarna putih, topless bagian atas sehingga membuatku bisa melihat tubuhnya yang atletis. Warna kulitnya sawo matang yang merata, tidak ada perut buncit, justru tampaknya perutnya keras—Uwoh Dillah, hentikan mata dan penilaianmu!
Lagi pula memang pantas tubuh Pak Dzaki sebagus itu, proposional sebab dia anggota Militer. Latihannya yang bukan main-main, dan wajib menjaga bentuk tubuhnya, agar selalu sigap dalam tugas yang dijalaninya menjaga tanah air.
Aku menghela napas dalam-dalam, pilih kembali menatap putrinya yang memakai baju renang keluaran disney, berwarna jingga dengan gambar Moana.
Gadis kecil itu melirikku, memberi tatapan judes yang justru menggemaskan. Apa dia tidak menyukaiku?
“Kakak yang semalam?” tanyanya, berbisik tetapi aku masih bisa mendengar.
Dzaki tersenyum, aku memang memanggilnya ‘Pak’ karena sepertinya usia dia malah di atas Pak Sky.
“Iya, Ka Dillah.”
“Namanya tidak cantik,”
Aisssh! Jleeeeb sekali!
Batinku meringis kecil, putri cantiknya terlalu berterus terang huh?
“Kok bilang begitu, Nara? nanti Ka Dillah sedih. Setiap nama pemberian orang tua pasti indah, kayak arti nama yang Nara miliki."
“Dia sudah dewasa, masa sedih” katanya lagi.
Anak kecil ini pikir yang bisa sedih cuman dirinya, atau anak-anak? Dia tidak tahu saja menjadi dewasa lebih rumit, banyak sedihnya dibanding jadi anak-anak yang alasan sedihnya sebatas saat maunya tidak dituruti! Aku jadi menggerutu sendiri dalam hati.
Suara tawa Pak Dzaki membuatku kembali menatapnya, dia masih berjongkok lalu menoleh padaku, “maafkan Nara ya,”
“Tidak apa-apa, namanya juga anak kecil, Pak.” Kataku.
Pak Dzaki memintaku mendekat, “ini putriku, Cynara Deesa Hermawan. Usianya baru tiga tahun.”
“Hei, Cynara—“
“Nara,” sela si kecil kemudian dia bangun bukannya menerima uluran tanganku saat aku mengajaknya berkenalan, dia justru jadi memeluk ayahnya. Tangannya memeluk leher Pak Dzaki.
“Oh Nara, namanya cantik sekali.”
"Iya, namaku nemang cantik! Papa-Mama yang kasih!" katanya tetap konsisten tidak ramah padaku.
“Itu, Ka Dillah mau kenalan.” Bujuk Pak Dzaki.
“Aku enggak mau.” Jawabnya, menolak sambil menggelengkan kepala.
Aku jadi kikuk, kembali menarik tanganku sembari tetap tersenyum. Astaga, dia berbeda sekali dengan Rigel. Aku dulu pun tidak terlalu menyukai anak-anak, tetapi setelah Sea hamil Rigel dan melahirkannya, aku jadi berbalik sangat menyukai anak-anak. Apa pengecualian ya? Anak yang semanis Rigel, seceriwis Rigel saja yang memang mudah disayangi? Padahal Nara ini gadis yang cantik dan manis, rambut tebal hitamnya, berponi.
"Dillah, tasmu!"
Baru akan menjauh saat Madewi kembali, membawakan tasku. Lalu Madewi pergi lagi. Aku membuka tas, mengambil kamera DSLR. Menunggu sunset untuk mengabadikannya lagi seperti kemarin.
Aku malah iseng menghidupkannya kemudian mengarahkan kamera pada Pak Dzaki dan putrinya yang lanjut main pasir. Beberapa kali memotret sampai Pak Dzaki menyadarinya, dia malah memintaku memotretnya lagi.
“Sekali lagi ya, Dil. Bolehkan?” tanyanya.
Aku memberi anggukan, “tentu. Mau cari latar beda?” tanyaku.
Dia menatap putrinya, seolah tahu jika mungkin putrinya bisa hilang mood jika berpindah, “di sini saja,”
Aku melakukannya, beberapa kali kemudian kembali duduk untuk memeriksa hasil fotonya. Menunjukkan pada Pak Dzaki, dia tersenyum lebih lugas dari biasanya.
“Selain surfing, hobi fotografi juga?”
“Iya, lumayan di jaman serba canggih kayak sekarang, bisa langsung menghasilkan tambahan uang saku, Pak.” Jawabku jujur.
“Nanti saya minta fotonya ya,” kata dia.
“Boleh, saya kirim ke mana?” tanyaku yang artinya kami akan bertukar nomor.
Dzaki menyebutkan nomor teleponnya yang langsung kesimpan di kontakku, “nanti begitu sampai hotel saya kirim.”
“Mau kembali ke hotel!” Tiba-tiba Nara meminta, mungkin dia merasa diabaikan karena papanya mengobrol denganku.
“Udahan main pasirnya?” tanya Pak Dzaki lembut.
“Sudah enggak seru, Papa malah bicara sama Ka Dillah,” jawabnya lagi sambil menatapku.
Entah sudah berapa kali aku terkejut dengan sikap polos, jujur anak ini. Ayahnya jelas jadi memberi tatapan tak enak padaku atas ucapan putrinya. Aku sih santai, memaklumi saja.
“Oke, kita kembali ke hotel. Jalan, pakai sandalnya.”
“Enggak, gendong Papa!” dia semakin mengeratkan pelukan di leher Dzaki.
“Pak Dzaki, saya duluan.”
“Bareng saja, hotel kita samakan?”
“Oh, iya...” anggukku, “tapi, saya harus bilas dan ganti baju.”
Aku tidak pernah berselancar hanya memakai bikini, aku belum sepercaya diri itu kecuali hanya berjemur di sisi, di tempat lebih sepi. Saat berselancar, seperti sekarang aku sangat nyaman dengan baju lengan panjang hitam dan celana setengah paha berwarna senada.
“Kami juga,” kata Pak Dzaki.
***
Kami terpisah menuju ruang ganti masing-masing, saat aku sudah selesai, aku menemukan Pak Dzaki dan putrinya menunggu, Nara tengah minum s**u rasa pisang yang suka kulihat di drama-drama Korea Selatan.
“Banana-milk, kesukaan Nara?” sapaku begitu kembali, tidak enak membuatnya menunggu.
“Banana-milk and chocolate!” jawabnya meralat.
Aku mengulas senyum, menatap Pak Dzaki—ini serius dia menungguku untuk bareng kembali ke Hotel? Tanyaku dalam hati, heran.
“Maaf ya lama. Pak Dzaki harusnya duluan saja, saya menyewa motor.” Kataku.
Selama di Bali memang agar memudahkan, aku menyewa motor. Lebih hemat dibanding aku pakai taksi atau ojek online.
“Kebetulan, bisa saya dan Nara ikut?”
Oh jadi alasannya menunggu, dia mau nebeng? Tanya batinku.
“Barusan saya telepon sopir hotel, ternyata mobil penuh semua. Sementara mobil yang biasa kami pakai, masih dipakai orang tua saya menemui kerabat kami.”
“Oh, boleh... uhm, saya yang mengemudi?”
“Biar saya saja,”
Aku tidak keberatan memberi tumpangan padanya dan putrinya, kami berjalan menuju motorku berada. Tetapi, masalahnya kembali saat Nara tidak mau duduk di tengah dengan aku yang memeganginya. Nara sudah menangis, Pak Dzaki berusaha menenangkan.
“Pak, sorry... ini Nara sudah pernah naik motor?” tanyaku.
Pak Dzaki memberi gerakan kepala, “pertama kali.”
Maklum saja, Pak Dzaki merupakan kerabat dari suami Sea, kerabat Pak Sky. Keluarga Lais terkenal sangat kaya raya, pasti Hermawan juga. Tidak heran jika anaknya belum pernah naik motor, pasti tuan putri kecil ini punya mobil dan sopir pribadi untuk mengantarnya ke mana-mana. Berbeda, jika Rigel meski anak Pak Sky, dia sudah biasa dengan motor bahkan pergi denganku atau dengan Athaar dan Althaf.
“Begini saja, dia mungkin mau kalau Pak Dzaki yang pegangi.”
“Terus kamu yang di depan?” tanya Dzaki seperti tidak percaya jika perempuan bahkan bisa mengemudi, memboncengi dirinya. Atau dia terlalu Manly, sampai tidak terima jika dia dibonceng dan aku yang mengemudi motor?
“Iya, saya akan pelan-pelan biar Nara tidak takut di pengalaman pertamanya.”
“Kamu yakin? ”
Aku memberi anggukan sangat yakin, lalu mengambil alih kunci motornya dan naik begitu saja setelah meletakkan tas berisi pakaian basahku di depan, tidak lupa memakai pelindung kepala.
Aku menghidupkan motornya setelah menaikkan penyanggah bawah, menyadari Pak Dzaki tetap diam sambil mengendong putrinya yang sudah tak menangis, membuatku menatapnya lagi, “Pak?”
“Oh, okay... ini pertama kali saya diboncengi perempuan.” Dia bicara jujur.
Aku tertawa kecil, “tenang, diboncengi perempuan enggak akan membuat Pak Dzaki turun pangkat kok.” Candaku mencairkan suasana.
Papa satu anak itu mengulas senyum, “saya naik ya,”
Dia naik, berpegangan dengan satu pundakku. Nara benar-benar bisa diajak kerja sama kali ini.
“Pelan-pelan saja, Dillah.”
“Ya,” anggukku. Meski sudah biasa ke mana-mana dengan motor, kecuali diminta menyetir untuk Sea, saat membawa penumpangku kali ini, aku sedikit canggung sekaligus membawa rasa dejavu karena dulu beberapa kali pernah membawa Athaar diposisi Dzaki dan kebetulan ada Rigel juga.
Oh ya ampun... sudah jauh-jauh healing ke Bali kenapa juga masih mengingatnya!
Rupanya pertama kali naik motor untuk gadis kecil itu, membuat dia tertidur begitu sampai hotel.
Aku memegangi tas Pak Dzaki, sampai seseorang mendekat—sepertinya kerabatnya yang langsung mengambil tasnya, tetapi Nara tetap di pelukan Pak Dzaki.
“Nara bisa menyadari jika dia berpindah ke pelukan yang lain,” katanya.
Aku mengerti, kedekatan mereka pasti sangat erat terbukti Nara manja serta posesif pada ayahnya.
“Sebaiknya segera dibawa ke kamar saja, Pak. Biar lanjut tidurnya Nara nyenyak.”
“Iya,” angguknya, “terima kaih ya, Dillah...”
“Ya, Pak. Oh iya, fotonya saya kirim ya nanti.”
“Berapa saya harus membayarnya?” tanya dia yang tidak pergi-pergi.
Aku mengulas senyum, “lima ratus juta, kalau Pak Dzaki mau membayarnya.” Candaku. Kalau benar seharga segitu, aku pasti pulang dari Bali bisa menebus rumah orang tuaku dari sitaan.
Dia ikut terkekeh, “foto dan lukisan, atau karya seseorang memang patut dihargai. Apalagi hasilnya sebagus hasil fotomu...”
Aku melongo, “Pak Dzaki, saya cuman bercanda... Gratis kok, enggak perlu benar-benar kasih lima ratus juta!” Aku lupa jika baru mengenalnya, membuatku tidak bisa memperkirakan kadar humorisnya. Aku juga lupa jika Dzaki merupakan kerabat dari Pak Sky, lima ratus juta untuknya mungkin benar-benar hanya senilai biasa.
Aku yang terlalu memberi ekspresi panik, membuat Pak Dzaki terkekeh.
“Kamu yang bercanda, begitu saya seriusi malah panik.” Candanya.
"Panik dong Pak, siapa tahu benaran dilempar duit lima ratus juta... Duh bisa resign saya jadi asistennya Sea buat setahun ke depan, terus benar-benar hidup untuk surfing dan fotografi aja!" decakku. Pak Dzaki mengulas senyum.
Aku mengusap lenganku. Jadi malu sendiri huft!