Ben baru saja selesai mandi dan berpakaian rapi.
Senyumnya mengembang saat melihat seseorang di ranjangnya menggeliat baru bangun.
“Selamat pagi sayang,” sapa Ben sambil mengecup bibir Delia. Delia tampak tersipu malu, lalu ia mengeluarkan sebelah tangannya dan melihat sebuah cincin berlian indah di jari manis tangan kirinya.
Tadi malam Ben baru saja melamarnya dan tak lama lagi Ben akan datang kepada kedua orangtua Delia untuk melamarnya secara resmi. Delia benar-benar bahagia karena akan menikah dengan Ben. Untuknya Ben adalah pria yang bertanggung jawab dan sangat perhatian. Ia pun tak segan untuk memiliki anak dan menjadi family man. Ia merasa aman dan nyaman karena Ben mengurusnya dengan baik dan tak pernah segan untuk minta maaf jika berbuat salah.
Malam tadi mereka menghabiskan waktu bersama, b******u mesra dan bercinta. Ada perasaan tak sabar untuk segera tinggal bersama Ben.
“Ayo kita tinggal bersama Ben, aku selalu tak sabar dan merindukanmu,” bisik Delia mesra sambil mengusap rambut Ben lembut.
Ben mengecup bibir di wajah cantik milik Delia dan mencubit pipinya perlahan.
“Bersabarlah …. sebentar lagi kita menikah dan akan selalu bersama. Jika kita bersama sekarang, aku takut keluargaku akan berpikiran buruk dan malah menentang pernikahan kita. Apalagi kalau kakek Dato tahu, aku bisa dibuang dari kartu keluarga,” ucap Ben dengan wajah lucu.
“Usir saja! Karena aku bisa memasukkanmu dalam kartu keluarga kita,” ucap Delia tak peduli. Karena terlahir dari keluarga yang cenderung berpikiran bebas, untuk melakukan s*x sebelum menikah dan tinggal bersama adalah hal wajar bagi Delia, tapi sebaliknya bagi Ben.
Keluarganya begitu agamis dan sangat menjaga norma, adat dan berusaha taat dalam aturan agama.
Walau terbiasa hidup bebas, tapi Ben masih berusaha untuk beribadah. Masih ada rasa takut di hatinya akan Tuhan, walau ia menyadari belum bisa menekan hawa nafsunya, apalagi jika sedang bersama Delia ia bertekuk lutut di hadapannya.
“Kapan kamu akan memberitahukan pada orangtuamu Ben?” tanya Delia lagi sambil menyikat gigi.
“Segera sayang … segera,” jawab Ben santai.
Hari ini kakek Dato akan datang ke Jakarta untuk cek up kondisi kesehatannya, jika keadaan memungkinkan malam ini juga ia akan memberitahu keluarganya bahwa ia telah menjatuhkan talak pada Nina dan akan menikahi Delia.
Ben yakin, kakek Dato akan mengerti karena dari awal ia pun mengetahui bahwa pernikahannya dengan Nina hanya sebagai formalitas saja.
Kali ini ia sudah bebas menentukan arah hidupnya akan seperti apa, begitu pula dengan Nina. Ben termenung sesaat saat mengingat Nina. Ia jadi teringat kejadian di dalam ruangan dimana Nina bekerja dan ada Jo disana. Sikap mereka berdua terasa sangat ganjil. Mengingat hal itu, hati Ben jadi tergelitik untuk mencari tahu.
Sesampainya di kantor, menjelang siang ia mengunjungi Jo diruangannya, tapi adiknya tak ada di sana.
“Kemana Jo?” tanya Ben pada sekretarisnya.
“Pergi makan siang pak, ” jawab Sherly.
“Dengan siapa?” tanya Ben lagi.
“Gak bilang pak, tapi sepertinya makan siang diluar, karena ia berpenampilan rapi saat pergi tadi.”
Ben terdiam lalu meninggalkan ruangan Jo dan menelpon seseorang.
“Halo pak Willy, maaf saya mengganggu, sedang ada dikantor kah?” tanya Ben mencari tahu.
“Oh, saya sedang di site pak, hari ini schedule survey.”
“Oh, All team bapak disana ya?”
“Iya, kecuali Nina … dia ada di kantor. Mas Ben butuh contoh untuk materi product ya? Sudah saya siapkan dimeja, biar saya telepon Nina untuk mengantarnya pada mas Ben….,”
“Tidak usah, biar saya keruangan bapak, kebetulan saya di lantai 7,” potong Ben berbohong, lalu tak lama kemudian ia mengakhiri komunikasi dengan pak Willy dan bergegas menuju lantai 7. Sesampainya di lantai 7, ia menanyakan apakah ada Jo datang ke lantai tersebut.
“Ada pak, sedang menemui bu Nina di ruangan 007,” jawab salah satu resepsionis memberitahu
“Mereka belum keluar? Sudah lama?” tanya Ben curiga.
“Lumayan pak, sepertinya sudah 15 menit.”
Mendengar hal itu, Ben segera berjalan menuju ruangan di mana Nina berada, perasaannya tak enak dan tak sabar untuk memergoki mereka berdua.
Seperti dugaan Ben, Jo tengah di dalam ruangan kecil bersama Nina. Sayup-sayup terdengar suara Nina dan Jo seperti berdebat.
Ben pun mengintip ke dalam ruangan dan melihat kedua tangan Jo tengah memegang wajah Nina, seolah tengah mencoba meyakinkan gadis itu.
“Aku gak bisa, Jo… kita gak bisa seperti ini, bagaimana kalau Prita tahu?” ucap Nina sambil bergerak mundur dan mencoba melepaskan tangan Jo di wajahnya.
“Prita tahu apa?” tanya Ben segera membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan.
Nina bergerak mundur dengan wajah kaget, begitu pula Jo, perlahan ia menurunkan tangannya dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Kalian tak ingin Prita tahu tentang apa?” tanya Ben lagi dan menatap Jo dengan pandangan tajam.
“Bukan hal penting dan bukan urusanmu. Ayo Nin, kita makan siang,” ajak Jo mencoba mengalihkan perhatian.
Ben segera menutup langkah Jo yang mencoba mendekati Nina dengan berdiri di hadapan Jo.
“Nina tidak bisa pergi kemana-mana, ini belum saatnya makan siang dan ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Nin, mana contoh material yang pak Willy titipkan?” tanya Ben dingin.
Nina tampak gugup dan segera mengambil material yang dibutuhkan dari lemari, ia sampai menabrak meja dan kursi karena takut.
Sedangkan Jo hanya bisa mendengus kesal dan mengalihkan wajahnya lalu keluar dari ruangan tanpa berbicara apa-apa. Yang tertinggal hanya lah Ben dan Nina yang berdiri di pojokan karena takut.
“Sejak kapan kalian berselingkuh?” tanya Ben dingin mengacuhkan material yang Nina sodorkan pada Ben.
“Kami tidak berselingkuh, Mas….,” ucap Nina dengar suara sedikit bergetar. Ia sadar, jika Ben melihat sikapnya dan Jo tadi dan mendengar perbincangan mereka pasti akan salah paham.
Brak!
Ben melemparkan material yang ada ditangan Nina dan membuat Nina menjerit ketakutan.
“Keterlaluan kamu Nin! Sepertinya kalian sudah melakukan hal ini sejak lama, mungkin ketika masih menikah denganku! Jika kamu berselingkuh dengan Jo saat masih menikah denganku, aku tutup mata Nin, karena kita memang tak ada hubungan apa-apa. Tapi saat ini Jo yang telah menikah dengan Prita dan kamu mengkhianati sahabatmu sendiri! Wajah polos ini ternyata berhati kejam!” ucap Ben sambil menunjuk halus pipi Nina dengan telunjuknya.
“Mas Ben salah paham! Aku dan Jo tak ada hubungan apa-apa! Kami hanya dekat sebagai sahabat!” ucap Nina panik dan mencoba menjelaskan.
“Tadi Jo mengajakku makan siang diluar, tapi aku menolaknya mas, aku juga memikirkan Prita, aku juga bilang pada Jo bahwa sikapnya sudah tak bisa seperti ini lagi karena dia sudah menikah,” ucap Nina menjelaskan sambil bergerak ke kanan ke kiri, seolah memohon agar Ben melihatnya karena Ben tampak marah dan tak ingin melihat wajah Nina.
“Kamu pikir ini pertama kalinya aku lihat kalian bersama?” tanya Ben lagi dengan wajah mengejek pada Nina.
“Aku dan Jo beneran gak ada apa-apa mas Ben….,” Nina panik, matanya mulai berkaca-kaca karena takut Ben tak percaya padanya dan memberitahukan apa yang ia lihat kepada kedua orang tuanya dan juga kepada Prita.
“Mas Ben….,”
“Diam!” bentak Ben tak suka mendengar rengekan Nina.
“Mulai saat ini, aku melarang kamu untuk bertemu Jo! Sekali lagi kamu bertemu dia, aku usir kamu dari sini!” bentak Ben penuh kemarahan.
Mendengar hal itu, tangisan Nina meledak dan mengikuti Ben yang segera keluar dari ruangannya.
“Mas Bennn, aku beneran gak ada aph … Aph… hhhh….,” Nina mencoba memanggil Ben, tapi karena terlalu panik dadanya terasa sesak dan tak bisa bernapas.
“Pak, bu Nina pak….,” ucap resepsionis memberitahu Ben, saat mengintip ke arah koridor karena mendengar suara Nina berteriak memanggil Ben. Ben pun menoleh dan melihat Nina sudah terduduk lemas seperti tak bisa bernafas.
Ben segera berlari ke arah Nina bersama para resepsionis. Ia ingat bahwa Nina pernah mengalami hal yang sama dan segera menyuruh para resepsionis mengambilkan inhaler di dalam tas Nina.
“Cepat cek tasnya, ada inhaler disana!” suruh Ben sambil menggendong Nina dan meletakkannya di sofa ruang santai. Keributan di koridor membuat beberapa karyawan dari Vendor lain keluar dari ruangan mereka dan mengerumuni Nina dan Ben.
Tak lama salah satu resepsionis berhasil menemukan inhaler dan Ben segera menyemprotkannya ke mulut Nina beberapa kali. Nina mulai bisa bernafas tapi ia sudah terlalu lemas.
“Cepat panggil ambulan!” suruh Ben sambil menyelimuti Nina dengan jasnya.
Tak lama Ambulan pun datang dan membawa Nina ke rumah sakit terdekat bersama Ben.
Kejadian itu pun terdengar oleh Jo. Mendengar Nina sakit, ia langsung kembali ke lantai 7 tapi Nina dan Ben sudah meninggalkan lantai tersebut.
Jo mencoba menghubungi Ben, tapi teleponnya selalu di reject oleh Ben. Jo merasa sangat kesal tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menunggu seseorang memberitahunya tentang apa yang terjadi.
Jo masih menunggu di kantor sampai malam menjelang saat Prita menghubunginya.
“Jo, kamu di mana?” tanya Prita dengan suara cemas.
“Di kantor.” jawab Jo datar.
“Ayo cepat ke rumah mami, aku dirumah mami sekarang, Nina dan mas Ben baru sampai. Nina tadi kena panic attack sampai masuk igd. Kakek Dato juga nanyain kamu kok belum datang? Kita semua harusnya makan malam bersama bukan?”
Mendengar ucapan Prita, Jo segera berdiri dan menyambar kunci mobilnya untuk segera bergegas pergi menuju rumah orangtuanya.
Sesampainya disana, semua tengah berkumpul diruang makan, kecuali Ben dan Nina.
“Di mana Nina?” tanya Jo cepat tak mempedulikan orang-orang disekitarnya melihatnya heran.
“Lagi tidur dikamar di temani Ben.” ucap Mami
Jo pun segera bergerak menuju kamar Ben yang berada di bagian belakang rumah dan mengetuk pintu kamar Ben.
Ben pun membuka pintu kamarnya perlahan dan menghalangi Jo yang ingin masuk.
“Nina sedang tidur,” ucap Ben cepat.
“Aku mau lihat Nina….,” ucap Jo sedikit menantang.
“Nanti saja, istriku sedang tidur,” ucap Ben cepat.
“Istri?” tanya Jo sambil tertawa mengejek.
“Iya, satu jam yang lalu aku baru rujuk dengannya. Saksinya adalah seisi rumah ini, benarkan Ta?” ucap Ben santai sambil menoleh kearah Prita yang ternyata diam-diam menyusul Jo. Mendengar nama Prita disebut, sikap Jo pun berubah. Ia tak mengatakan apa-apa lagi dan membalikan tubuhnya meninggalkan Ben sambil menggandeng tangan Prita.
Prita mengikuti langkah suaminya tetapi sempat menoleh ke arah Ben dan terlihat ada air mata yang berlinang dari wajahnya. Prita terluka melihat sikap spontan Jo yang begitu memperhatikan Nina dan terlihat begitu mencintainya.