Suasana di dalam ruangan kamar rawat inap itu tampak ramai dengan beberapa orang yang berkumpul disamping ranjang gadis remaja yang tengah terbaring dalam keadaan koma.
“Saya terima nikahnya Nina binti Amary dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!” ucap pria yang memiliki nama Benjamin Jusuf yang biasanya dipanggil dengan panggilan Ben sambil bersalaman dengan wali hakim yang ada dihadapannya.
Akad nikah itu berlangsung cepat dan hanya disaksikan oleh kedua orang tua, penghulu, sang kakek, jadik laki lakinya dan dua orang perawat sebagai saksi.
Saat akad nikah dinyatakan sah, dengan cepat Ben menulis di selembar kertas, berupa surat pernyataan bahwa sejak hari itu seorang gadis yang tengah berbaring dalam keadaan koma itu adalah istri sahnya yang dinikahinya secara siri dan menunggu istrinya pulih agar bisa dibuatkan surat nikah sehingga suatu hari nanti status gadis itu dapat kepastian hukum.
Ben, menatap gadis tak berdaya itu dengan tatapan kosong. Satu jam yang lalu, tanpa gadis itu ketahui, ibunya meninggal dunia.
Ibu dari gadis yang bernama Nina itu adalah Vivian, ia seorang perawat profesional yang sudah selama hampir setahun ini menjadi perawat pribadi kakek Ben yang dipanggil dengan panggilan Kakek Dato.
Entah apa yang terjadi, kemarin malam kedua orang tua Ben mendapatkan kabar bahwa Vivian dan anak gadisnya Nina, menjadi korban tabrak lari.
Kini, setelah Vivian meninggal, sang kakek meminta Ben untuk menikahi Nina secara siri karena khawatir ayah tiri gadis ini akan menuntut semuanya, termasuk agar Nina dikembalikan padanya. Dengan menikahi Nina, tanggung jawab itu akan pindah ke dalam keluarga Ben.
Awalnya Ben keberatan, tapi ibunya bilang hal ini hanya untuk sementara saja, hanya untuk melindungi Nina. Suatu hari nanti jika memang mereka tak berjodoh, ia tinggal menjatuhkan talak agar bisa menceraikan Nina.
Ben pun tak peduli, menikah atau tidak, lusa ia akan berangkat dan sibuk dengan kehidupan masa mudanya dan menyelesaikan kuliah S2 nya di luar negeri.
***
Nina menghelas nafas panjang saat melihat koper besarnya sudah penuh dengan pakaian. Ia pun terduduk di lantai kamarnya yang dingin dan bersandar dengan perasaan tak karuan. Ada rasa tidak siap di hatinya untuk berangkat ke Jakarta.
Setelah delapan tahun ia hidup dengan normal, kini ia harus berada di antara keluarga suaminya. Suami yang menikahinya saat ia berada dalam keadaan koma. Dan sejak saat itu keluarga suaminya yang membiayai dan mengurusnya sejak ia menjadi yatim piatu.
Keluarga suami itu juga yang menyuruhnya untuk tinggal di Bandung agar terhindar dari pencarian sang ayah tiri yang dulu hampir melecehkannya dan selalu memukuli almarhum ibunya, sehingga mereka berdua harus kabur dari rumah peninggalan sang nenek.
Keluarga suami itu juga yang memberikannya status dan kehidupan baru, walaupun selama delapan tahun ini Nina tak pernah bertemu suaminya.
Yang ia tahu nama pria itu adalah Benjamin Jusuf, seperti yang tertera di surat pernyataan yang dulu dibuat, bahwa pria itu menikahinya dan memindahkan semua tanggung jawab terhadap Nina ke pundaknya.
Ia tak pernah bertemu dengan sang suami kecuali melihatnya di dalam foto yang terpajang di dinding rumah keluarga mertuanya yang kadang ia kunjungi.
Kini ia masih tinggal dengan Kakek Dato dan membantu merawatnya sebagai balas budi. Sedangkan kedua mertuanya lebih sering datang mengunjungi ke Bandung dari pada Kakek Dato yang diboyong ke Jakarta.
Hanya hari ini berbeda.
Mereka semua akan berangkat ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan Jo, adik ipar juga senior Nina di kampus dulu. Tak hanya sebagai senior, tapi juga Jo berfungsi sebagai pelindungnya, kakak juga cinta di hati Nina.
Kedekatan mereka membuat Nina jatuh cinta, tapi ia harus menepis dan memendam perasaannya karena bagaimana pun Jo adalah adik iparnya, walau pun usia Nina lebih muda.
Selesai kuliah, Jo memutuskan untuk meneruskan S2 nya di luar negeri menyusul sang kakak, lalu kembali dan bekerja di perusahaan keluarga mereka yang memiliki perusahaan Konstruksi dan properti hasil rintisan kakek Dato.
Sedangkan Nina memutuskan untuk menyelesaikan kuliahnya dan bekerja disebuah perusahaan design interior di kota bandung sebagai marketing merangkap asisten pak Willy sang owner.
Hidupnya berjalan bahagia, walaupun ia terkenal sebagai Nina yang kalem, pendiam dan penyendiri juga murah senyum.
Ia juga sering merasa kesepian, dan harus memendam perasaannya jika jatuh cinta pada seseorang karena statusnya sebagai istri siri orang lain. Seharusnya ia tak perlu memikirkan status siri itu, tapi selama berada disisi kakek Dato, pria tua itu sering menasehatinya bahwa ia harus selalu menjaga diri karena ia istri seseorang.
Nina terhenyak dari lamunannya, ketika pintu kamarnya diketuk.
“Neng Nina sudah siap? Kakek Dato sudah menunggu di depan.”
Terdengar suara ceu Ipon sang asisten rumah tangga bertanya pada Nina dengan logat sundanya yang kental.
“Sudah siap Ceu, sebentar ya!” jawab Nina dan segera berdiri dan membuka ikatan rambutnya, sehingga rambutnya yang tebal dan ikal tergerai indah, berkaca sesaat lalu segera menyeret kopernya keluar dari kamarnya.
Kota lembang dimana ia tinggal bersama Kakek Dato, mulai berkabut sore itu. Nina memastikan syal dileher Kakek Dato sudah terpasang sempurna. Pria berusia 80 tahun itu tampak masih segar dan sehat, walau sudah harus selalu duduk di kursi roda karena stroke yang menyerangnya. Tapi ingatannya masih sangat bagus dan suaranya pun masih keras.
“Kira-kira, pukul berapa kita sampai di Jakarta?” tanya kakek Dato pada Nina.
“Pukul 7 malam kek, kakek istirahat saja,” ucap Nina sambil menyelimuti Kakek Dato.
Kang Rahman, supir keluarga kakek Dato pun mulai menjalankan mobilnya membuat Nina membuang pandangannya keluar jendela untuk menenangkan diri. Ia sedikit bingung jika bertemu Ben nanti.
Haruskah ia menyapa? Apakah Ben masih ingat bahwa ia menikahi Nina, atau jangan-jangan sudah sejak lama Ben telah menjatuhkan talak padanya. Nina hanya bisa menghela nafas panjang.
Dulu, saat ia sadar dari komanya, Nina langsung dibawa ke Bandung agar terhindar dari Om Hadi, sang ayah tiri yang selalu datang menanyakan dirinya, sedangkan Ben sudah berangkat untuk kuliah diluar negeri.
Setiap bulan ia mendapatkan uang saku dari mami Rose–mertuanya dan mami Rose selalu bilang bahwa itu adalah nafkah dari Ben, dan sampai detik ini, perkataan itu tak pernah berubah.
Nina mendengar dari Jo, bahwa Ben sudah kembali setahun yang lalu dan kini ikut bekerja di perusahaan mereka, karena ia seorang arsitek.
Nina bertanya- tanya apa yang harus ia lakukan jika bertemu dengan Ben karena ia tak pernah bertemu dengan suaminya sekalipun. Perlahan Nina menutup matanya dan mencoba beristirahat. Ia tak ingin banyak berpikir karena masalahnya nanti akan lebih dari sekedar bertemu dengan Ben, tapi juga bertemu dengan Prita, sahabat karibnya yang akan menjadi istri Jo sang adik ipar.
Nina bergerak gelisah, ia merasa lega karena duduk dibelakang Kakek Dato sehingga pria tua itu tak bisa melihat kegelisahannya.
Bagaimana ia tak gelisah, karena Prita adalah satu-satunya orang yang mengetahui bahwa ia telah menikah siri dan juga jatuh cinta pada Jo. Prita adalah teman satu SMA nya. Selepas SMA ia pindah ke Magelang mengikuti dinas orangtuanya.
2 tahun yang lalu Prita kembali ke Bandung dan memilih untuk membuka usaha bakery nya sendiri.
Nina dan Prita pun kembali dekat, sampai akhirnya Prita bertemu dengan Jo pria yang Nina sukai selama ini. Tapi siapa sangka ternyata Jo dan Prita saling jatuh cinta.
Hati Nina hancur tak karuan saat mendengar pengakuan Prita bahwa ia telah berpacaran dengan Jo, bahkan Prita berniat untuk memindahkan usahanya ke Jakarta. Nina tentu saja hanya bisa mengucapkan selamat atas hubungan mereka, karena ia sendiri tak bisa marah atau melakukan apapun, walaupun Nina merasa dikhianati oleh Prita. Nina hanya meminta pada Prita agar merahasiakan tentang perasaannya pada Jo dan berjanji untuk melupakan Jo mulai saat itu.
Hubungan mereka pun terputus, kadang Prita ikut dengan Jo, saat Jo mengunjungi sang Kakek, tapi Nina selalu berusaha menghindar untuk bertemu dengan mereka, kecuali saat Jo datang sendirian.
Setelah 1 tahun, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menikah dan Prita akan menjadi menantu resmi mami Rose dan papi Ray, sedangkan Nina akan selalu menjadi menantu yang tak terlihat oleh siapapun.
Nina berdoa sepanjang jalan agar saat sampai di Jakarta nanti, ia diberikan kemudahan untuk bertemu semua orang dan apapun yang terjadi tak seburuk yang ia pikirkan. Bagaimanapun ia benar-benar merasa canggung dan takut.
“Neng, bangun, handphonenya bunyi.”
Ceu Ipon menepuk nepuk lengan Nina perlahan membangunkan Nina. Gadis itu pun terbangun dan merasakan handphonenya bergetar, ia baru sadar bahwa mereka masih dalam perjalanan menuju Jakarta. Melihat nama Jo tertera di handphonenya, Nina pun mengangkatnya perlahan.
“Halo Jo,” panggil Nina perlahan dengan suara serak.
“Sudah sampai mana?” tanya Jo dengan suara lembutnya yang dulu selalu menenangkan hati Nina.
“Sepertinya sudah dijalan tol, sudah masuk Jakarta.”
“Hati-hati ya, aku tunggu kamu dan kakek dirumah.”
Komunikasi pun terputus.
Nina mulai menggaruk-garuk kepalanya tak gatal, kini hatinya kembali gelisah mengingat ia sudah sampai dikota tujuan.
“Kenapa sih neng, dari tadi kaya gelisah banget?” tanya ceu Ipon yang turut serta untuk membantu Nina menjaga kakek Dato.
“Gak apa-apa Ceu, cuma agak gugup saja,” jawab Nina jujur pada ceu Ipon sambil menatap perempuan yang mulai separuh baya itu.
Ceu Ipon pun mengusap lengan Nina sayang. Ia telah bekerja lama dengan keluarga Kakek Dato. Tentu saja ia tahu kisah pernikahan siri Nina dan Ben, dan apa yang terjadi pada Nina sejak ibunya meninggal.
Ada rasa sedih saat melihat wajah perempuan muda di hadapannya, gadis cantik ini seolah harus memendam perasaannya dan tak bisa menjadi dirinya sendiri.
Bersambung