Nina baru saja membeli sarapan di sekitar hotel dan berjalan memasuki lobby, saat seseorang memanggilnya.
“Nina…,”
Nina pun menoleh dan melihat Ben. Pria itu tampak berpenampilan casual, berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati dirinya seolah telah menunggunya lama.
“Loh, mas Ben kok disini?” tanya Nina bingung
“Aku mau jemput kamu. Hari ini seluruh keluarga pindah ke hotel dimana Jo akan menikah nanti. Kamar untuk kamu pun sudah kami booking,” jawab Ben santai sambil memasukan tangannya kedalam celana.
“Nanti aku menyusul saja mas, soalnya belum siap-siap. Aku bisa pergi sendiri,”
“Ayo, siapkan sekarang. Kamar kamu lantai berapa?” tanya Ben seolah tak ingin ditolak dan membuka pintu lift lalu mempersilahkan Nina masuk.
“Mas, aku bisa berangkat sendiri,” ulang Nina tampak cemas saat Ben mengikuti langkahnya.
Ben tampak tak bergeming dan menunggu Nina membuka pintu kamar dimana ia menginap.
Ben ikut masuk dan melihat sekitar kamar dengan pandangan matanya lalu berkeliling sesaat.
Sedangkan Nina segera meraup barang-barang di sekitarnya dan memasukkannya ke dalam koper dengan asal. Ia tak ingin Ben menunggunya terlalu lama.
“Mari, Mas… saya sudah siap.” Nina segera berjalan menyeret kopernya keluar kamar.
Ben segera mengambil alih koper itu dari tangan Nina dan berjalan terlebih dahulu menuju lift.
Sesampainya di Lobby ia segera menyuruh Nina untuk mengembalikan kunci dan menunggunya di depan sedangkan ia mengambil mobil.
Nina berdiri di lobby dan menunggu Ben menjemputnya. Tak lama mobil Ben pun muncul dan dengan ragu Nina masuk kedalam.
“Makasih ya mas, kata resepsionis kamarku sudah dilunasi,” ucap Nina kikuk sambil memasang safety belt.
Ben hanya mengangguk dan menjalankan mobilnya.
“Maafkan pertemuan pertama kita yang tak pantas.” Ben membuka pembicaraan setelah hening beberapa lama.
“Gak apa-apa, Mas …, ”
“Apakabar kamu selama ini? Kamu baik-baik saja?”
Nina hanya mengangguk perlahan. Lalu suasana pun kembali hening.
“Nin….,”
“Ya?”
“Kamu keberatan gak, jika saat resepsi besok yang mendampingiku saat mengiringi Jo dan Prita adalah Delia?”
“Gak apa-apa kok, Mas... silahkan saja. ”
“Benarkah?”
“Iya, tenang saja! Lagi pula tak ada yang tahu tentang kita. Jika bertemu teman-temanku nanti, mereka pasti menyangka aku berada disana sebagai sahabat Prita dan Jo.”
“Terima Kasih atas pengertianmu. Semoga kamu tak tersinggung ya.”
“Sepertinya aku tak tahu diri jika tersinggung mas, keluarga mas sudah terlalu baik padaku. Bahkan melindungiku sampai sejauh ini. Aku malah belum berterimakasih pada mas Ben karena setiap bulan selalu memberikanku nafkah. Karena nafkah itu aku bisa sekolah dan menyelesaikan kuliah dan hidup cukup.”
Mendengar ucapan Nina, Ben termenung. Ia tak pernah memberikan nafkah pada Nina selama ini. Yang rutin ia kirimkan uang hanyalah ibunya, mami Rose. Walaupun ia tahu sang ibu sudah sangat berkecukupan tapi kewajibannya lah untuk memberikan nafkah walau sang ibu tak membutuhkan. Apakah uang itu yang ibunya berikan pada Nina setiap bulan?
“Apa kamu sudah bekerja?” tanya Ben lagi, mencari tahu tentang kehidupan Nina selama ini.
“Sudah. Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di Bandung. Itu perusahaan pertamaku, alhamdulilah setelah lulus langsung dapat kerja. “
“Sebagai apa disana?”
“Karena perusahaan kecil, aku menjadi marketing sales merangkap asisten owner.”
“Kamu suka bekerja disana?”
“Iya, aku suka. Ownernya baik sekali dan mengajariku banyak hal. Waktu kerjanya pun cukup fleksibel, aku masih punya waktu untuk diriku sendiri. Ini tahun ke 3 ku.”
Nina sedikit heran pada dirinya sendiri, biasanya ia cukup pendiam dan hanya menjadi pengamat, tapi kali ini saat bersama Ben, ia merasa terlalu terbuka.
Tak banyak orang yang ia ceritakan tentang kehidupan pribadi dan pekerjaannya. Nina melihat ada seulas senyum di bibir Ben.
Akh, ternyata pria ini tak seseram dan sedingin tampilannya, pikir Nina.
“Apa rencanamu saat kita berpisah nanti?” pertanyaan Ben mengejutkan Nina.
Ada sedikit rasa nyes, di hatinya karena Ben tampak tak sabar untuk berpisah dengannya.
“Hmm … setelah menikah nanti aku harus keluar dari rumah kakek Dato. Bagaimanapun kita sudah tak punya hubungan lagi. Mungkin aku akan cari kost-kost an di dekat kantor, agar biaya transportasinya lebih murah.”
“Aku bisa memberikanmu apartemen dan kendaraan Nin, supaya kamu tak kesulitan menggunakan transportasi umum.”
“Eh, gak usah mas! Jangan! aku tak bisa mengendarai mobil atau motor. Aku cukup nyaman dengan kendaraan umum kok, lebih baik aku nge-kos saja, biayanya lebih murah daripada di apartemen. Mas Ben, sudah memberikan aku banyak kok,” tolak Nina halus. Ben hanya diam dan terus berkendara, ia tampak memikirkan sesuatu.
“Nin, kalau kakek menanyakan tentang perpisahan kita, kamu bisa bantu untuk meyakinkannya? Bagaimanapun untuk kakek Dato, pernikahan kita ini adalah nyata.” Ben mengungkapkan kekhawatirannya.
“Baik, Mas … pasti aku bantu menjelaskannya pada kakek Dato.”
“Terimakasih ya, jika kamu butuh sesuatu, bilang saja padaku, pasti aku bantu.”
Ben tampak senang dengan sikap Nina yang tak rewel dan menentang perpisahan mereka.
Gadis itu tampak siap dan bisa menerima kondisinya saat ini yang telah memiliki kekasih.
Sesampainya di hotel, Nina segera diberikan kunci kamarnya sendiri dan berpisah dengan Ben. Tak hanya itu, ia pun segera diberi schedule kegiatan acara sebelum pernikahan sampai hari H-nya dan after party. Baju mana saja yang harus dikenakan saat akad, resepsi dan juga after party. Belum lagi gladi resik saat resepsi dan juga acara pengajian yang diselenggarakan malam ini di kediaman keluarga Prita.
Nina sengaja tak menghadiri gladi resik, karena ia sadar posisinya digantikan oleh Delia.
***
Hari pernikahan pun tiba. Acara itu berlangsung dengan khidmat dan penuh rasa haru. Nina sampai tak kuasa untuk menahan air matanya. Ada rasa yang bercampur aduk di hatinya melihat orang yang pernah ia cintai menikahi sahabatnya sendiri, belum lagi ia menjadi lebih sensitif karena sebentar lagi akan bercerai dengan Ben.
Walau pernikahannya bukan seperti pernikahan lainnya, tapi hal itu tak bisa membuat Nina membohongi dirinya bahwa hatinya merasa patah hati, kesepian dan kosong. Ada rasa ingin di hati Nina untuk dicintai seperti Jo mencintai Prita, atau seperti Ben mencintai Delia.
Nina hanya bisa menelan ludahnya sambil mengelus dadanya perlahan dan berdoa semoga ia diberikan kesempatan mencintai dan dicintai oleh jodoh yang sebenarnya.
Nina menyibukan dirinya dengan menyapa teman-teman SMA dan kuliahnya yang diundang oleh kedua mempelai saat resepsi akan segera dimulai.
Ia tak ingin berada di antara keluarga pengantin agar mami Rose tak bertanya mengapa ia tak berada didalam iring-iringan pengantin.
“Nina! Gaya banget lo pake seragam keluarga pengantin! Mentang-mentang mak comblang, tapi kamu cakep banget pake kebaya gini. Cantik Nin…,” puji Robert sahabat karib Jo saat melihat Nina. Gadis itu pun hanya mendelik genit dan mengibaskan kipasnya.
“Besok pujiannya ulang lagi ya mas!” jawab Nina senang.
“Mbak Nina…,” seseorang memotong perbincangan Nina dengan Robert.
Nina pun menoleh dan melihat salah satu crew Wedding Organizer menyapanya.
“Ya, mas?”
“Di tunggu di ruangan keluarga ya, karena acara resepsinya akan segera dimulai.”
“Oh, saya gak ikut dalam iring-iringan mas, posisi saya digantikan oleh mbak Delia.”
“Iya, tapi mbak Delia tidak menggunakan kebaya seragam dan warna kebayanya pun terlalu mencolok. Jadi lebih baik mbak Nina saja yang mengisi posisinya.”
“Tapi mas…,”
“Mari mbak, tamu sudah penuh dan acara harus segera dimulai,” desak sang crew sambil memberikan jalan pada Nina agar mengikutinya.
Dengan sungkan Nina segera berpamitan pada Robert dan mengikuti langkah Crew tersebut.
“Kemana aja kamu Nin, kita udah lama nungguin kamu,” tegur mami Rose tampak uring-uringan.
Nina hanya menunduk dan mengucapkan maaf sambil melirik ke arah sudut dimana Ben tengah menghibur dan berduaan dengan Delia yang tampak kecewa tak bisa mendampingi Ben dalam iring-iringan pengantin.
Ingin rasanya Nina menawarkan Delia untuk mengenakan kebayanya, tapi sudah tak ada waktu lagi.
Tak lama Ben pun sudah berada disamping Nina yang berdiri di belakang orang tua pengantin. Nina tampak canggung saat Ben menawarkan lengannya untuk digandeng. Gadis itu tampak bingung dan sesekali melirik ke arah Delia.
“Sudah....tidak apa-apa. Delia mengerti kok,” bisik Ben menyadari rasa sungkan Nina menggandeng tangannya karena kehadiran Delia.
“Maafkan aku ya, Mas … tahu gitu, aku berikan kebaya ini pada mbak Delia,” ucap Nina lirih tak enak hati.
“It’s okay,” jawab Ben datar.
Perlahan Nina pun menggandeng suaminya untuk pertama kali sejak mereka menikah dan melangkah perlahan mengantar pengantin menuju pelaminan.
Bersambung.