Agreement

1132 Kata
Malam itu, Zayn memberitahukannya sesuatu yang bagus sekaligus buruk. Pertama, bahwa Zayn menginginkan Zara sebagai istrinya. Hal itu serta merta membuat harapan Zara melambung tinggi. Namun, hal buruknya adalah… Zayn bilang bahwa hatinya tidak akan pernah dimiliki Zara sekalipun mereka adalah sepasang suami istri. Kenapa? Oh tentu saja kalian tahu. Karena Zayn mencintai Tiana, kekasihnya. “Kenapa aku harus setia menjadi istrimu di saat kau telah mengikrarkan cintamu hanya untuk perempuan lain? You talking about nonsense, Zayn!” Mereka saling menatap tajam, terdiam, dan membiarkan udara menjadi terasa mencekik. Lalu Zayn membuka mulut. “Karena… kau mencintaiku,” ucapnya, menggunakan kelemahan Zara untuk bernegosiasi dengan perempuan itu. Zara hendak membantah, mengeluarkan sumpah serapah, namun lidahnya kelu dan mulutnya kembali terkunci rapat. Ya Allah, batin Zara lirih. Semakin besar rasa cinta yang dia punya, maka semakin besar juga rasa sakit yang dia dapatkan. Zara baru tahu hal itu, jika sejak awal dia sudah mengantisipasi, maka dia akan memilih untuk menghindar dari rasa cinta ini. Zara benar-benar muak. Kebahagiaan apa yang dia dapatkan dari mencintai Zayn Altair, suaminya sendiri? Jawabannya, tidak ada. Namun, karena kebodohan dan angan-angan yang dimiliki setiap manusia membuat Zara sulit untuk membenci Zayn. Dia selalu saja diliputi harapan-harapan sekalipun tahu semua itu semu. Dan Zara juga selalu berpegang kepada tuhannya, Allah SWT. Dia percaya, bahwa kehendakNya, pilihanNya, tidak pernah mengecewekannya pada akhir. Allah maha tahu yang terbaik. Ya Allah, kumohon cepatlah angkat perasaan ini dari dadaku terhadapnya. Zara berdoa. Dia tidak tahu bahwa dirinya telah menitikkan air mata. Zara tidak ingin menangis, ekspresinya pun tidak berubah, namun kilatan emosional dari matanya jelas terlihat. Ketika Zara memfokuskan pandangan menatap Zayn, pria itu tengah menatap ke lain arah, sibuk pada pemandangan di luar jendela yang sepertinya lebih penting dari perasaan istrinya sendiri. Zara tertawa sumbang, mengundang atensi Zayn kembali kepadanya. Zayn masih dengan tatapan datar dan raut wajah yang menyiratkan bahwa pria itu sama sekali tidak terpengaruh akan air mata Zara. “Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku akan diam saja ketika seseorang tengah mencoba untuk menghancurkanku, sekalipun aku mencintai orang tersebut, huh?” Zayn menatapnya lama, lagi-lagi terdiam seolah dia tidak memiliki jawabannnya. Namun beberapa saat setelah itu, Zayn tersenyum miring. Dia bangkit dari kusen jendela yang didudukinya dan berjalan menghampiri Zara, menyentuh dagu perempuan itu yang langsung ditepis oleh tangan Zara sendiri. Zara menatapnya nyalang. Zayn lagi-lagi tersenyum. “Aku… menjadi suamimu. Bukankah hal itu yang selama ini kau inginkan?” tanyanya dengan suara lemah lembut. “Kalau kau benar-benar mencintaiku, maka kau tidak akan menggugatku cerai. Dan kalau kau setuju dengan perjanjian yang aku katakan, maka aku akan menjadi suami seperti yang kau inginkan.” Zara masih diam. Pernyataan itu berhasil membuatnya berpikir ulang dan tampak kebingungan akan kemana arah pembicaraan ini. Dia sudah cukup terganggu akan usapan sehalus sutra tangan Zayn pada wajahnya. Terlebih, ketika pria itu kembali mengatakan sesuatu yang nyaris merobohkan tembok pertahanannya. “Aku akan tinggal, Zara. Bersamamu. Seperti yang kau impikan selama ini.” Tatapan Zayn begitu dalam, begitu intens, menusuk tepat ke dalam manik hitam Zara, membuat kedua lututnya melemas seperti jeli. Apa Zayn sengaja melakukan ini untuk membuat Zara luluh? Jika ya, maka pria itu berhasil. “K-kau… menjadi suamiku?” tanya Zara, dengan gumaman seperti seseorang yang linglung, masih sulit mempercayai semua yang pria itu katakan. Zayn mengangguk, terkekeh pelan. “Bukankah aku memang suamimu?” Air mata mengering di kedua pelupuk mata Zara. “Kau akan tinggal?” tanyanya lagi. Zayn kembali mengangguk. “Kecuali, jika kau menolak dan menceraikanku ke pengedilan, kau tidak akan bisa membuat semua mimpi dan harapanmu itu menjadi kenyataan. Kau akan kehilanganku sepenuhnya.” Zara lagi-lagi membisu. Suami. Keluarga harmonis. Zayn akan berada di sisinya. Semua harapan Zara selama ini mungkin akan terwujud. Hanya dengan satu syarat, yaitu untuk tidak menggugat cerai suaminya ke pengadilan. Benarkah hanya itu? Harga yang murah untuk sesuatu yang bernilai sangat tinggi. Zara masih tidak percaya. Namun, dia kembali mengingat siapa Zayn. Pria itu adalah seorang pebisnis. Baginya, perjanjian ini sama seperti bisnis. Zara sudah bisa menebak, apapun tujuan pria itu, perjanjian yang dia tawarkan hanya bersifat sementara. Dan itu artinya… kebahagiaan yang mungkin akan Zara dapatkan juga hanya sementara. “Apa tujuanmu?” tanya Zara tiba-tiba. Zayn berdecak kagum. “Nice question!” Lalu dia menjauhkan tangannya dari wajah Zara dan kembali membentuk jarak yang cukup lebar di antara mereka. Kemudian Zayn mulai memberitahu persyaratan yang diberikan Ahmad kepadanya demi jabatan sebagai presdir di Altair Group. Zara tercekat, keraguan tampak jelas di kedua matanya. Dia sudah mengekspektasikan hal ini. Harga murah untuk sesuatu yang bernilai sangat tinggi?! Omong kosong! Zara baru saja melambungkan harapannya, berharap Zayn akan tinggal murni karena kemauan pria itu sendiri yang ingin mencoba untuk bersama Zara, sekalipun hatinya tengah dimiliki perempuan lain. “This is a win-win solution,” kata Zayn lagi. “Aku egois karena menginginkan harta warisan dari Ayahku, dan kau juga egois karena menginginkanku sebagai suamimu. Kita bisa bekerja sama dengan baik untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.” Zayn menyadari perubahan raut di wajah Zara. Dia mengulurkan tangan, menggapai pinggang perempuan itu dan menariknya mendekat, lalu sekali lagi menangkup wajahnya. Dengan bisikan lembut, dia bertanya, “Apa kau akan menolak dan membiarkan aku pergi sekali lagi untuk selama-lamanya?” Zara menggertakkan gigi marah. Berani-beraninya Zayn menggadaikan perasaan cintanya yang murni untuk sesuatu yang fana, sebuah harta, sebuah kebahagiaan dunia. “Atau kau bersedia untuk sepakat pada perjanjian ini?” Zara memang mencintainya. Jika saja tidak ada perjanjian yang disebutkan Zayn, maka jangankan kebahagiaan dunia, Zara akan sangat bersedia membimbingnya untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat yang abadi, atas izin Allah tentu saja. Ini mungkin sebuah kesempatan terakhir. Jika Zara menolak maka Zayn akan pergi darinya dan tidak akan pernah kembali lagi padanya. Sekarang, status mereka adalah suami istri, Zara tidak ingin jika sampai satu-satunya jembatan yang dia punya itu roboh. Zara mencintai Zayn, sampai ke titik dimana dia menghabiskan waktu berjam-jam di sepertiga malam hanya untuk meminta pengampunan kepada Allah SWT untuknya, membicarakannya dengan sang Ilahi, menyebut namanya dalam setiap harapan dan mimpi yang Zara minta. Dan tidak ada hal lain yang ingin Zara saksikan selain Zayn… suaminya… kembali ke jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Dan dengan itu, Zara kembali melambungkan harapannya tinggi. Ini adalah kesempatannya. Jika nanti pada akhirnya dia yang akan tersakiti, setidaknya dia telah mencoba, dan menjadi istri yang baik kepada suaminya juga salah satu  mimpi Zara, mungkin juga akan menjadi jalannya untuk meraih ridho tuhannya. Tidak apa-apa. Zara ingat akan perkataan Umminya, bahwa buah dari sebuah kesabaran adalah yang termanis. Bismillahirrahmanirrahim. “Baiklah, aku bersedia.” Pernyataan Zara membuat Zayn tersenyum penuh kemenangan. “Sampai kapan?” tanya Zara. “Sampai batas waktu yang ditentukan,” jawab Zayn. Lalu dalam lubuk hatinya yang terdalam, Zara berdoa semoga Allah menghendaki untuk selama-lamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN