3. Tawaran

1347 Kata
Tawaran Laiqa berdiri di depan pintu kamar nomor 112, sudah memencet bel, dan sedang menunggu dengan sabar pintu dihadapannya mengayun terbuka. Dia mendecap sebal saat akhirnya daun pintu di depannya menunjukan sosok si pemilik kamar. "Laiqa." Fita merentangkan lengannya, menyambut sang kawan yang akhirnya bertandang ke kamarnya. "Aku kangen banget sama kamu," imbuhnya saat akhirnya tubuh sang kawan berada dalam dekapannya. Laiqa membalas peluk, menepuk pelan punggung Fita dan mengukir senyuman. "Aku juga kangen banget sama kamu, Ta." Fita adalah teman SMA Laiqa. Mereka tinggal di pedalaman Jawa Timur. Fita melanjutkan kuliah di Surabaya, sedangkan Laiqa memilih merantau ke Jakarta. Setelah setahun lebih bekerja disebuah restoran, Laiqa mengambil kuliah karyawan, dan belum genap satu tahun ia berhasil meraih gelarnya. Dengan usaha amat keras, pastinya. "Kamu ke mana aja, sih? Kok lama. Katanya lagi nggak kerja." Fita mempersilakan Laiqa masuk. Baru kemudian menutup pintu kamarnya. Laiqa mengembuskan napas, lalu segera melempar tubuh ke atas ranjang. "Ada insiden kecil, jadi terhambat," gumamnya sembari menatap langit-langit kamar. "Insiden apa?" Fita mengambil duduk disamping Laiqa. Memindai penampilan sang kawan dan alisnya naik sebelah. "Kamu pakai jas siapa?" Karena pertanyaan yang Fita lontarkan, Laiqa yang sempat memejamkan mata segera membuka kelopaknya lebar. Dia mengarahkan tatapan ke arah tubuhnya, dan baru sadar jika jas Kevin masih melekat ditubuhnya. Fita merendahkan tubuh dan membaui wangi jas itu. "Ini parfum lelaki." tebaknya. "Dan memang jas lelaki." Laiqa meringis. Dia dan Kevin memang berpisah di lift tadi. Tepat di lantai kamar Fita. Tentu saja menunggu beberapa waktu hingga keluarga Kevin pulang lebih dulu. Membuat alibi jika mereka ingin menghabiskan malam lebih panjang. Perempuan itu kemudian merogoh saku jas Kevin dan menemukan benda ponsel Kevin yang memang ia simpan di sana sebelumnya. Laiqa mendecap lirih. Ia kira, setelah menerima cek dengan nominal cukup besar dari Kevin, dia bisa kabur, tak ingin bertemu lagi. Melupakan keterlibatannya menjadi kekasih sewaan Kevin. Tapi sayang, bukan hanya Wirda yang menginginkan pertemuan dengannya lagi. Kevin pun pasti ingin bertemu dengannya. Meminta ponsel lelaki itu kembali. "Kamu ada kencan, ya? Kalau tahu ada kencan. Aku nggak akan minta kamu nemenin aku." Fita mencebikan bibir. Merasa tidak enak hati karena mengganggu waktu Laiqa. Laiqa terduduk, menyejajari Fita. Kembali menyimpan ponsel Kevin ke saku jas, disusul dia yang melepas jas untuk kemudian ia letakkan disamping tubuh. "Kencan apaan. Bukan. Ada sedikit pekerjaan tadi. Tapi udah kelar kok, makanya telat ke sini." "Tapi kamu punya pacar, kan, La?" "Pacar sewaan." "Apa?" Laiqa mengerjap. Menelan ludah kasar. Mengutuk di dalam hati bibirnya yang selalu lupa dikontrol. Sudah kepalang basah, akhirnya ia mengembuskan napas dan mulai bercerita, "Di lobby tadi, aku ketemu laki-laki asing, terus dia minta bantuan. Lebih tepatnya minta aku jadi pacar pura-puranya." Bola mata Fita membulat. "Pacar pura-pura gimana?" Laiqa mengerutkan kening. Merangkai kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasinya. "Dia nggak mau dijodohin, akhirnya berupaya membawa perempuan untuk dikenalkan sebagai pacar." Dia mengeluarkan cek di sling bag-nya dan menunjukkannya pada Fita. "Dibayar segitu, dalam keadaan aku yang pengangguran, sulit untuk menolak." Fita meraih cek Laiqa, menilik nominalnya dan membuka bibirnya, amat terkejut. "Ini bayaran kamu dalam semalam." "Bukan semalam. Hanya dua jam kurang lebih, itu pun hanya menemani makan malam." "Wow. Ini banyak banget. Dua kali lipat dari gajiku setiap bulan." Laiqa mengulas senyuman tipis dan menggeleng. "Dia kasih bonus, jadi banyak. Bilangnya, aktingku hebat, bisa memukau keluarganya." Dia mengingat obrolannya dengan Kevin di atap tadi, sepeninggal keluarga lelaki itu. "Lelaki itu pasti kaya raya." "Aku nggak tahu pasti siapa dia." Laiqa mengedikan bahu. "Tapi, melihat tingkahnya, lingkup keluarganya. Dia jelas bukan kalangan orang kaya biasa saja. Mungkin juga konglomerat yang kekayaannya nggak habis--" "Tujuh turunan, delapan belokan, sembilan tanjakan." Fita memotong. Lalu tertawa terbahak setelahnya, sembari menyerahkan cek pada Laiqa. "Kamu bisa tebar pesona sama dia, La. Siapa tahu, setelah jadi pacar sewaan, hubungan kalian berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Menikah misalnya." Laiqa mencebik melihat Fita yang amat bahagia. "Menikah katamu." Dia tidak berpikir sedikit pun ke arah itu. Karena sadar diri siapa dia. Meski sebelumnya, Wirda sudah menbahas tentang gaun pernikahan. "Ya siapa tahu, La. Takdir nggak ada yang tahu." Laiqa mengibaskan tangan. "Maaf maaf aja, aku masih membumi. Khayalan berlebihan itu nggak baik buat kesehatan hatiku. Lagi pula, aku nggak mau lagi ketemu dia." Dia diam beberapa saat, menjilat bibir bawahnya. "Aku terlihat murahan nggak sih, Ta. Karena mau mau aja dijadikan pacar sewaan." Fita yang baru saja meraih ponselnya, segera melirik ke arah Laiqa. "Murahan gimana. Kamu kan nggak diajak ke ranjang. Nggak diminta buat buka selangk--" Ucapan Fita segera terhenti saat Laiqa menubruk dirinya dan membungkam bibirnya. "Nggak ada ke ranjang sebelum ketemu penghulu." Laiqa menggeram. "Yah kalau itu, namanya bukan murahan lah." Fita menambahi saat Laiqa melepas bekapan, dan perempuan itu rebah disampingnya. "Aku dengar, Ayahmu sakit, ya, La." Laiqa mengangguk pelan. "Ya, aku juga baru tahu beberapa hari belakangan. Dan baru tahu kalau Ayah terlilit hutang untuk pengobatan itu." Dia menyahut pedih. Mengingat keluarganya membuat ia terus saja menghela napas berat. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Apa yang bisa ia lakukan untuk menutup hutang dan menunjang pengobatan ayahnya. Saat ia justru kehilangan pekerjaannya. "Kamu pasti bisa lewatin semua ini, La. Aku nggak bisa bantu apa pun." Laiqa menoleh ke arah Fita, dan mengulas senyuman. "Nggak apa-apa, lagipula sekarang aku udah punya uang dari bayaran pacar sewaan, bisa aku kirim ke ayah." "Itu bisa jadi pekerjaan, La." ceplos Fita dengan alis dinaik turunkan. "Pekerjaan gimana. Kalau aku ketemu saudara dan temen-temen lalu ditanya kerja apa, terus aku jawab jadi pacar sewaaan. Ck, itu nggak lucu." Fita tergelak tawa. "Jadi pacar sewaaan abang-abang konglomerat." Laiqa turut serta mengulas senyuman. "Lebih keren jadi guru kayak kamu." Tepat saat Laiqa menyelesaikan ucapannya, ia merasakan getaran ponsel di saku jas yang ia letakan disampingnya. Dia segera mengambil ponsel itu dan menilik nama pemanggil, tentu saja, tidak ia kenal. Karena itu ponsel Kevin. Tidak berapa lama dering itu berhenti. Disusul dengan satu pesan masuk. Angkat teleponnya. Ini Kevin. Bibir Laiqa membuka tanpa suara. Dia segera menegakkan tubuh dan bangkit berdiri. "Aku angat telepon dulu, Ta." pamitnya pada Fita sembari berjalan menjauh. "Kita harus ketemu besok. Aku butuh ponsel itu." Suara Kevin menyapa gendang telinga Laiqa. Tanpa sapaan atau salam apa pun. Laiqa mencebikan bibir. "Aku paketin aja, sekalian sama jas kamu." "Nggak usah, kita ketemuan. Aku yang samperin kamu." "Ya udah, kabari aja besok." Laiqa tidak menolak. Toh, Kevin yang mengatakan akan menghampiri dirinya. "Ini udah malam, aku tutup." "Tunggu." Laiqa tak jadi menutup panggilan. "Apa lagi?" tanyanya. Cukup lama diam, sebelum akhirnya Kevin kembali bersuara. "Aku tahu ini terburu-buru banget. Tapi, Mama suka sama kamu. Dia meminta kita untuk cepat-cepat menikah." "Apa? Kenapa gitu? Kamu nggak jelasin kalau kita--" "Kamu berharap aku bilang kita cuma pura-pura. Itu cari mati namanya." Laiqa menelan ludah, memejamkan mata. Dia tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Menikah? Demi Tuhan, Laiqa tidak sempat memikirkan satu hal itu. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?" Setelah meloloskan kalimat itu, Laiqa mengutuk di dalam hati. Dia seperti membuka lebar jalan bagi Kevin untuk mengungkapkan keinginan lelaki itu yang sebenarnya. "Kita harus menikah. Itu jawaban yang paling tepat." "Apa?" Suara Laiqa meninggi. Menikah tiba-tiba dengan lelaki asing, tentu saja bukan impiannya. Dia sama seperti perempuan pada umumnya, yang dengan amat sabar menanti sang pangeran datang meminang. Mempersembahkan seluruh cinta dimiliki, lalu berbagi kebahagiaan. Bukan justru menikah dengan lelaki asing yang hanya ia tahu nama dan bertemu tidak lebih dari dua jam. "Aku nggak mau." tandas Laiqa. Menolak. "Aku tahu pasti jawabanmu akan seperti itu." "Kalau sudah tahu untuk apa ditawarkan juga." Laiqa membalas sewot. Heran saja, kalau sudah bisa menduga mendapat penolakan, mengapa masih saja ditawarkan. "Aku akan kasih harga yang amat pantas jika kamu setuju." "Aku menolak, Bapak Kevin yang terhormat." sekali lagi, Laiqa mengutarakan penolakan tegasnya. Dia kemudian mengernyit, saat mendapat balasan tawa dari Kevin. "Kita bertemu beberapa hari lagi. Untuk mengembalikan ponselku dan kutunggu jawaban darimu. Bukan sebuah penolakan." Lalu panggilan ditutup sepihak. Sekali lagi tanpa salam apapun. Meninggalkan Laiqa yang hanya mampu ternganga. Tidak percaya. Jelas sekali, Kevin tidak peduli dengan semua penolakan darinya. Sepertinya ia memang berhadapan dengan orang yang salah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN