1

1118 Kata
Emila Shalia Deva kembali berjalan pelan melewati deretan toko yang sepi pengunjung. Jelas saja sepi. Hari ini begitu terik dan mungkin orang-orang perlu berpikir dua kali untuk keluar rumah jika tidak mendesak. Ya, jika tidak mendesak. Lalu sekarang, gadis berambut hitam itu merasa memiliki urusan mendesak yang mengharuskan ia keluar rumah. Tidak ada yang lebih mendesak selain mencari pinjaman uang untuk makan hari ini bukan? Nasib sebagai perempuan pengangguran yang tinggal seorang diri di kota besar membuatnya harus melakukan segala hal seorang diri. Termasuk dengan memenuhi kebutuhan hidupnya. Hidupnya tidak mewah, ia hanya tinggal di kost kecil pinggir kota. Kostannya pun sederhana, hanya satu petak beserta kamar mandi dan hanya tersedia tempat tidur, lemari, dan sebuah meja di dalamnya. Mil –sapaannya– terus berjalan dengan kedua kakinya menghiraukan panas yang begitu menyengat siang ini. Walau ia merasa kulitnya akan melepuh sebentar lagi, tapi ia harus tetap melewati terik ini demi bertemu temannya yang sudah janji akan memberikannya pinjaman. Kakinya terus berjalan sampai langkahnya terhenti saat melihat seorang wanita yang terjatuh di jalan. Bukan urusannya sebenarnya. Namun sepertinya orang disekitarnya pun merasakan demikian sehingga wanita itu masih belum ada yang menolong. Mil ingin pergi begitu saja seperti yang orang lain lakukan. Namun, dia tidak bisa. Kakinya seperti tergerak dengan sendirinya menghampiri wanita itu. "Ibu gak apa-apa?" tanyanya kemudian membatu Ibu itu berdiri. Wajah wanita yang ia perkirakan berusia lebih dari setengah abad itu terlihat pucat. Wajahnya memerah terkena teriknya matahari, namun bibirnya putih memucat. Mil membawa wanita itu untuk duduk di trotoar jalanan dan membantunya membersihkan pakaiannya yang penuh debu jalanan tadi. "Ibu gak apa-apa?" tanyanya sekali lagi. Wanita itu mengulas senyum tipisnya. Tidak bisa dipungkiri, ini pertama kali Mil melihat wanita paruh baya yang memiliki senyum menawan juga wajah cantik walau terlihat pucat secara langsung. "Saya rasa tidak," jawab wanita itu kemudian. "Maaf sepertinya pertanyaan saya salah." Jelas saja, pertanyaan itu salah melihat kondisi wanita itu saat ini. "Kalau gitu ada yang bisa saya bantu?" "Boleh saya meminjam hp kamu? Saya baru saja kecopetan." Pinta wanita itu. Pantas saja, ternyata korban pencopet. Lagi pula dilihat dari penampilan ibu ini, bisa sepertinya beliau berasal dari kalangan berada. "Boleh saja sebenarnya. Tapi saya tidak ada pulsa. Ibu bisa tunggu sebentar? Saya akan membeli pulsa di konter itu." Mil menunjuk sebuah kedai pulsa dan berlalu setelah ibu itu menganggukkan kepalanya. Terdiam sebentar di depan konter, Mil kini bingung apakah harus meneruskan niatnya untuk membelinya. Hal tersebut dapat dilakukan jika saja ia memiliki uang untuk membayarnya. Nyatanya, di dalam dompetnya tidak terdapat uang sepeserpun. Itu juga yang membuatnya memilih berjalan kaki untuk menemui temannya. Ngomong-ngomong temannya... Astaga! Ini sudah lewat dari batas waktu mereka bertemu. Naila bilang ia tak bisa lama menunggunya karena harus segera pergi ke luar kota bersama suaminya. Bisa saja ia pergi sekarang dan mengejar Naila, namun bagaimana dengan ibu itu? Ah, masa bodo lah! "Bang, saya boleh beli pulsa?" Sepertinya ia memang terlalu baik hari ini. "Ya boleh lah, neng. Beli berapa? Tulis aja nomonya disitu," jawab si penjual yang masih sibuk dengan ponselnya. "Tapi saya bayarnya pakai jam tangan, boleh? Jam tangan ini bagus loh bang. Saya bener-bener butuh pulsa sekarang," pintanya memelas. *__* Selain menahan malu dengan penjual pulsa di konter tadi, kini Mil terpaksa harus menahan malu meminta sesendok gula putih kepada tetangganya. Apa lagi yang bisa ia lakukan? Ada tamu di rumahnya dan ia tidak bisa memperlakukan tamu itu secara tidak sopan. Meski sebenarnya ia hanya sekedar menolong ibu tadi. "Besok gue janji bakal ganti gula lo, Fah. Serius!" Mil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara. "Yaelah gula sesendok doang. Gue gak sepelit itu kali." Fifah –Tetangganya, berkata malas menatap Mil di depannya yang hanya tersenyum lebar. Kembali ke kamarnya dan melanjutkan membuat secangkir teh, Mil beranjak menuju ruang tamu kosnya yang menjadi ruang tamu seluruh penghuni kos. Setelah meletakkan secangkir teh manis di hadapan ibu itu, Mil kini duduk manis di depannya menunggu tamunya selesai berbicara dengan orang di seberang telepon sana. Setelah tadi mendapatkan pulsa dengan menjual jam tangannya dan untungnya penjual pulsa itu masih mau membayar lebih untuk jam itu, Mil memilih untuk membawa ibu yang ditolongnya tadi ke kosannya. Mil tidak tega meninggalkan ibu itu sendiri di jalanan. Apalagi cuaca begitu terik di luar sana. Walaupun mengorbankan jam seharga 750.000 dengan ganti 50.000, ia masih harus bersyukur karena hari ini sepertinya ia bisa mengisi perutnya. "Diminum tehnya, Bu. Maaf hanya ada teh." Mil mempersilahkan ibu itu. "Tidak apa-apa. Maaf saya jadi merepotkan kamu. Sebentar lagi anak saya menjemput kesini," kata ibu itu. "Nama kamu siapa?" tanyanya. "Nama saya Emila, Bu. Tapi panggil Mil saja." Mil menjawab sopan. Ibu itu mengulas senyumnya tipis. Seperti yang Mil bayangkan. Senyum ibu itu memang sangat manis. "Nama saya Sarah. Panggil tante saja." Mil tersenyum manis mendengarnya. Ternyata Sarah orang yang ramah. "Tante Sarah kenapa bisa kecopetan?" tanyanya. "Tadi ada anak kecil minta tolong di jalan. Dia tanya alamat. Terus tante antar ke alamat itu, eh gak taunya di tengah jalan tante malah ditodong. Jalan juga lumayan sepi gak bisa minta tolong. Akhirnya tante serahin aja semua yang tante bawa. Takut kenapa-kenapa. Seram juga ya, manusia-manusia jaman sekarang." "Disini memang lingkungannya kurang bagus, Tante. Lain kali hati-hati kalau lewat jalur sini." "Iya sih. Eh tapi kenapa kamu tinggal disini?" tanya Sarah. "Uang sewa kosnya lebih murah, Tan." Emila menjawab sedikit malu. Dia tahu lingkungan tinggalnya memang tidak aman. Banyak sekali kasus pencopetan di daerahnya. Lingkungannya memang tergolong sepi dan sedikit kumuh. Namun hanya kost inilah yang bisa tertutupi oleh uangnya untuk membayar sewa. *__* "Mil terima kasih banyak. Maaf tante merepotkan kamu," kata Sarah saat akan keluar dari kostan Mil. "Sama-sama tante. Jangan lupa nanti kakinya dipijit biar tidak bengkak." Sarah tersenyum membalasnya. Ia cukup terpesona dengan gadis mungil itu yang sangat baik memperlakukannya tadi. Sarah tahu, Mil memang perempuan baik-baik yang sangat susah ditemui pada zaman sekarang. Sedikit banyak ia tahu tentang gadis itu lewat obrolannya sewaktu menunggu anaknya datang. "Oh iya, ini anak dan menantu tante. Sekali lagi terima kasih, ya. Kapan-kapan kita bertemu lagi." Sarah memperkenalkan keluarganya kemudian beranjak dari tempatnya dengan dipapah anak dan menantunya. Mil tersenyum sopan pada keduanya kemudian menatap sekilas kepada sepasang manusia yang sedang memapah Sarah menuju mobil. Terlihat laki-laki dengan perawakan tinggi itu menggerutu sesekali menanyakan mengapa ibunya bisa sampai seperti ini. Sedangkan sang wanita yang tak lain menantu Sarah, hanya diam membantunya. Mil kembali menatap ke arah anak laki-laki Sarah yang cukup tampan di depan sana. Tidak heran melihat Sarah yang begitu cantik di usianya yang senja. Mil jadi membayangkan bagaimana jika pria itu tersenyum, pasti semakin rupawan parasnya. Ah, sudahlah! Dia pria beristri. Pria beristri yang begitu rupawan. Putra Tante Sarah. .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN