Bab. 8 Kegelisahan Aji

1051 Kata
Bab. 8 Kegelisahan Aji   Aji berjalan mondar mandir setelah menerima laporan dari anak buahnya. Hatinya mendadak gelisah. Seseorang dari masa lalunya bisa saja kembali merusak kehidupannya dan keluarganya. Khususnya keselamatan anak dan juga istrinya. Dia sangat mengenal sosok masa lalunya itu. Seberapa kejam sosok itu, Aji sudah mengetahuinya, bahkan sudah pernah mengalami kekejamannya. Dan tak hanya dirinya, akan tetapi istrinya juga lebih dulu mengalaminya. Lelaki itu bahkan menculik istri tercintanya dengan trik paling licik. Mempergunakan pesona dan jeratnya demi membuat istrinya yang polos terpedaya hingga memudahkan lelaki b******n itu untuk membawa kabur istrinya tanpa perlawanan. Ducan fox. Apa lelaki itu kembali atas perintah Karina? Tqpi kenapa lelaki itu muncul di New York? Bukan kembali menerornya di Indonesia. Kenapa lelaki itu kembali dalam kehidupannya? Apa sebenarnya yang benjadi targetnya kini? Kenapa lelaki itu berada di sekitar orang yang dikenalnya? Apa lelaki itu mulai melancarkan aksinya? Aji menggeram kasar kala tak menemukan satupun petunjuk akan kemunculan lelaki itu. Apa alasannya? Jika memang targetnya adalah dirinya, kenapa tak langsung mendekati istri atau anaknya seperti masa lalu? Inilah sebenarnya yang membuat Aji kehilangan akal. “Menurutmu apa tujuan lelaki itu muncul di sekitar orang yang kamu kenal?” tanya Ethan salah satu sahabat terbaik Aji. Aji hanya menggeleng tanda tak ada satupun alasan yang muncul di kepalanya. Kepalanya bahkan nyaris meledak.karena banyaknya pertanyaan yang tak satupun bisa dijawabnya. “Apa dia kembali mengincarmu?” Kali ini suara David kian membuat Aji gelisah. Sungguh, ketidak tahuannya ini membuatnya merasa tak berdaya. Dan dia benci merasa tak berdaya. “Dia adalah pembunuh bayaran, dia hanya membunuh target buruannya saja. Bukan menyasar target yang lepas,”sahut Aji akhirnya setelah lama bungkam. “Bisa saja dia masih penasaran, karena kalian adalah target pertamanya yang lepas,” ujar Ethan tanpa tedeng aling-aling. Dia tak perduli tatapan tajam yang diberikan Aji padanya. Dia hanya mengedikkan bahunya acuh. “Iya, bagaimana kalau dia memang sengaja mendekati teman lamamu hanya untuk memancingmu,” ucap Anton yang sedari tadi hanya menjadi pendengar. Keempatnya terdiam mencoba menganalisa pergerakan dari seorang Ducan Fox. “Tapi kurasa kalian salah. Bella dan aku memang bersahabat saat masih kecil, dan fakta kalau kami dekat bahkan keluarga mantan suaminya saja tak ada yang tahu. Jadi, kecil kemungkinan kalau dia mendekati Bella karena aku,” sahut Aji mencoba memberi sedikit sanggahan. “Iya juga sih, kami saja yang berteman denganmu, baru tahu fakta ini,” sahut Anton membenarkan. Ruangan kembali hening. *** “Papi kenapa? Apa ada masalah di kantor? Sedari tadi mami perhatiin bengong aja,” tanya Kokom yang bingung melihat sikap suaminya yang tak seperti biasanya. Seakan ada masalah berat yang sedang mengganggu pikirannya. Aji menatap istrinya lama, sekan menimbang apa perlu memberitahukan masalahnya kepada sang istri. Dia takut akan membebani pikiran sang istri. “Tidak ada yang serius kok, Sayang. Hanya masalah pekerjaan biasa,” sahut Aji akhirnya setelah menimbang baik buruknya. “Maaf, Sayang … aku tak mau membuatku terbebani dengan masalah Ducan.” “Benarkah? Soalnya wajah Papi kelihatan banget kalau sedang banyak pikiran. Nggak biasanya masalah kerja sampai membuat papi kepikiran sampai kayak gini. Papi jangan sembunyiin apapun dari mami ya,” pinta Kokom menohok perasaan Aji. Dia jadi dilema antara jujur atau tetap menyembunyikan perihal Ducan pada sang istri. “Iya, Sayang,” sahut Aji dengan perasaan bersalah karena tak bisa jujur pada sang istri. “Ah, andai mami lebih pinter soal bisnis. Pasti mami bisa bantu papi ya,” ujar Kokom sendu. Dia memang kuliah, tapi bukan jurusan bisnis. Karena dia sadar itu bukan passionnya. Kini, dia menyesal tidak mengambil jurusan bisnis saja. Setidaknya kini dia akan sedikit berguna buat sang suami. Tak seperti sekarangt, bahkan suaminya takut berbagi masalah kerjaan karena tak mau membebaninya, itulah yang ada dalam pikiran Kokom. “Sayang, kamu sudah membantuku kok. Dengan ada di sisiku saja kau sudah menguatkan aku,” hibur Aji yang tak mau membuat istrinya terbebani. Mereka berpelukan, saling menguatkan. Tanpa kata, Aji dan Kokom berbagi kesedihan bersama. “Begini saja kau sudah mengurangi sedikit bebanku, Sayang.” “Kalau begitu, aku akan memelukmu sampai kapanpun,” bisik Kokom membuat mata Aji mengerjap tak percaya. Senyuman m***m terkembang dari wajah tampannya. Kokom yang menyadari hal itu hanya bisa memerah karena malu. “Hanya pelukan?” “Apapun yang kamu mau suamiku,” sahut Kokom kian merona. Jantungnya berdegup kian kencang. Gairahnya mulai terbangkitkan karena cumbuan sang suami. Keduanyapun berpacu dalam gairah yang membuat Aji melupakan sejenak masalah Ducan Fox dan juga Issabella Ludrig. Biar saja masalah keduanya dipikirkannya besok saja. Saat ini dia mau merajut kenikmatan dengan sang kekasih halal. *** “Bella!” teriak Gina kala melihat Bella yang sudah berjalan di depannya. Bella yang merasa namanya dipanggil segera berhenti dan melihat siapa yang sudah memanggilnya. “Hai Gina. Siang,” sapa Bella kala mendapati Gina yang berjalan bergegas ke arahnya. Nafas wanita itu tersengal tanda dia habis berlari. “Apa kamu berlari ke arahku?” tanya Bella tak enak hati. “Aku sedari tadi mencari kamu. Kupanggil sedari tadi kau tak menyahut,” jawab Gina dengan wajah dipenuhi keringat. Bella menyerahkan tissue wajah ke arah Gina dan langsung diterima wanita itu tanpa kata. Dengan cepat dia menyeka bulir keringat yang memenuhi wajahnya. Cuaca bulan ini memamng sangat terik. Hingga AC tak juga membuatnya sejuk, apalagi habis berlarian mengejar Bella. “Maaf, aku sedang dikejar Deadline. Bu bos sedari tadi sudah ngomel karena banyak kesalahan dari fotografer terbaru kita. Membuatku kesal saja,” gerutu Bella karena ini adalah tugasnya. Dan fotografer itu membuatnya kesal, karena hasil jepretannya tak sesuai harapan. “Al, belum kembali ya?” tanya Gina penasaran. “Al? Oh, Mr. Fox? Belum,” sahut Bella yang awalnya tak tahu siapa yang dimaksud oleh Gina. Dia lalu teringat kalau Gina memanggil pak Ducan dengan panggilan Al. Terdengar intim di telinga Bella. Tetapi, apa pedulinya? “Apa dia kembali berulah seperti waktu itu ya?” gumam Gina kian membuat Bella tak mengerti. “Berulah? Memang mr. Fox pernah berulah sebelumnya? Kapan?” cecar Bella menyadarkan Gina kalau dia kelepasan bicara. “Ah, bukan apa-apa. Kamu salah dengar. Kubilang dia kembali pulang kampong seperti waktu itu. Dia kan jarang ambil cuti. Jadi, kupikir dia pulang ke rumah keluarganya.” Gina tampak salah tingkah. Bella yang menyadarinya tak mau mendesak Gina. Toh, lelaki itu tak ada hubungannya dengan dirinya.  Bella mencoba abai. >>Bersambung>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN