Mba Lusi:
Dokter yang cantiik, kamu dimana?
Kirana:
Baru nyampe parkiran, Mba.
Mba Lusi:
Tadi ditelepon Dokter Ardi.
Tapi kayaknya bentar lagi beliau nelepon hp Dokter deh.
Kirana:
Oke makasih ya infonya.
Mba Lusi juga cantiik deh.
Pantes Mas Anton gak bisa jauh ;-)
Mba Lusi:
Dokterrrrrrr!!
***
-----------------------------------
ALYA KIRANA DJATI (POV) :
-----------------------------------
Hampir dua puluh menit, aku berputar di parkiran mencari tempat kosong. Area parkir khusus yang biasanya aku tempati, ternyata sudah terisi oleh Innova hitam. Setelah drama memarkirkan mobil tuntas, aku berjalan menuju lift.
Sebelum ke sini, siang tadi aku mengunjungi atau lebih tepatnya bekerja di ruko dua lantai milikku di daerah Jakarta Selatan, yang aku jadikan kantor untuk memantau bisnis jaringan apotek kami.
Berpedoman pada salah satu nasehat dosen yang selalu terngiang-ngiang sejak kuliah, bahwa sebaiknya kami mengeruk untung dari berbisnis lain, bukan dari profesi dokter, aku kini mengelola bisnis sendiri. Bisnis yang aku mulai sejak lulus dari Internship-ku. Jaringan apotek kami sudah berkembang menjadi beberapa cabang. Tiga apotek utama di Jakarta, Bandung dan Jogja, juga beberapa apotek kecil di daerah Bodetabek.
Berbekal ilmu berbisnis dari Ibu yang memang sejak dulu mengelola usaha apotek alih-alih praktek pribadi, bersama dua orang teman yang aku temui saat Internship, kami merintis Medica.
Itulah yang membuat aku baru fokus menjalani karir dokterku beberapa tahun terakhir ini. Teman-temanku sudah lebih dulu melanjutkan spesialis, selepas Internship. Dan di sinilah aku, masih menjadi dokter umum IGD, di saat sahabatku sudah menyandang gelar Sp.RM ataupun spesialis yang lain di luar sana.
Sedangkan Mala—yang tidak mau aku panggil 'Mba' karena membuatnya terdengar lebih tua—baru akrab denganku sejak bekerja tiga tahun di sini. Aku sering membantu di poli tumbuh kembangnya. Dia dokter anak cukup senior di Anka Medika.
Saat ditanya kenapa aku tidak melanjutkan PPDS, jujur aku lebih suka menangani kasus medis yang random. Lebih menantang dan membuatku berpikir luas, meskipun menjadi spesialis akan membuatmu semakin terfokus menyelesaikan hingga tuntas penyakit pasien.
Kembali ke pilihan masing-masing. Setiap orang punya passion berbeda. Kita tidak boleh menghakimi atau memaksakan kehendak ke yang lain. Konon katanya, if you find your favourite one, turn it into a job, then you'll never work again.
Berjalan ke arah Poli Rehabilitasi Medik, handphone di tasku bergetar dan nama Dokter Ardi muncul.
"Halo Dok?"
"Kirana, bisa ke VVIP 3A dulu gak? Dimas udah saya acc pulang. Dokter Budi juga udah acc. Kamu tinggal cek aja terakhir dan lengkapin rekam medisnya."
"Baik Dok."
Wait! What? Gak biasanya aku mendapat tugas beginian. Dokter ruangan yang seharusnya bertugas mengecek kembali kelengkapan rekam medis pasien pulang.
Sore ini, aku sengaja datang lebih awal sebelum pertukaran shift, nanti jam delapan malam. Aku berniat makan malam di kantin sambil berhaha-hihi ria dengan Lara yang pulang praktek siang. Selepas menerima telpon, Lara memberi kabar via w******p bahwa agenda kami harus batal hari ini. Mas Bram akan menjemputnya.
"Mba Dewi, bisa lihat rekam medisnya Pak Dimas? Tadi Dokter Ardi suruh aku buat lengkapin." Sambil bersandar di meja tinggi pembatas nurse station, aku menunggu Mba Dewi mengambilkan permintaanku. Ia yang sejak tadi sibuk menulis, meletakkan penanya dan melihatku dengan cengirannya.
"Dok, tadi rekam medis Pak Dimas udah dilengkapin kok sama Dokter Ardi sendiri. Ini malah tadi saya dapet pesen, kalo Dokter ke sini langsung suruh ke kamar 3A."
"Yang nyuruh??"
"Pak Dimas melalui Dokter Ardi."
Aku menautkan kedua alisku. "Boleh kabur gak gue, Mba? Mau apalagi dia?"
Mba Dewi hanya mengangkat bahu dan menengadahkan kedua tangannya tanda tidak tahu, ia tersenyum.
Dan aku? Tiba-tiba kedua kaki ini kaku dan tidak ingin melanjutkan langkah. Aku memang tipe orang yang tidak suka menyimpan banyak masalah dengan orang lain. Ketika sesuatu terjadi, maka saat itu juga aku akan menyelesaikannya. Langsung memaafkan atau meminta maaf bila itu perlu. Dan sekarang, sepertinya masalah kemarin belum selesai.
Kudapati di kamar mewah ini, ada empat orang tamu laki-laki sepantaran Dimas sedang duduk santai di sofa, mengobrolkan sesuatu. Kesan pertama saat melihat mereka adalah teman-temannya ini memiliki tampang di atas rata-rata. Kalau dinilai dengan angka, mostly bagiku wajah mereka mendapat nilai 8-9. Bahkan dua orang diantaranya berwajah bule dengan rambut dicat coklat. Bermodal wajah tampan dan postur atletis begini, sudah cukup membuat para perempuan menoleh dan menatap lama.
Sejenak kulirik Dimas ikut tertawa lepas mendengar candaan mereka. Yang membuat nilai nya naik dari delapan ke sembilan. Beberapa detik saja, lalu berubah serius saat aku datang menginterupsi.
Ada sekeranjang parsel buah berbagai jenis yang sudah terbuka plastiknya di atas meja. Sang bule sedang mengupas apel. Dan bule satu lagi hanya sibuk mengunyah. Temannya yang lain sibuk memindahkan kaos kemeja dari lemari ke dalam koper 16 inchi. Dan yang menarik perhatian adalah aku mengenal salah satu di antaranya. Mas Bram--suami Lara-- yang sedang sibuk sendirian memainkan game dengan Iphone nya.
"Mas Bram, kok ada di sini? Temennya Pak Dimas?" Ia mengiyakan, sebelum dipotong oleh Dimas.
"Owh iya, Dokter. Ini kenalkan teman-teman saya. Ada Ibun sekretaris saya, itu Daniel, Jack, dan Bram."
"Formal banget lo, Dim. Kirana ini temen gue juga, sahabat Lara malah." Mas Bram meledek sikap Dimas. Ia memang terlewat aneh sejak tadi aku masuk. Sikap acuh dan ketus yang biasa ia tampilkan selama ini, seperti sudah sirna ditelan bumi.
“Oh ya?” tanya Dimas.
Kemudian satu per satu teman Dimas yang lain menyodorkan tangannya untuk berkenalan.
"Daniel. Teman Dimas sejak di NYC," ucap salah seorang teman bulenya.
Disusul oleh bule satunya juga ikut menyapa, "hi Doc, sweet and beautiful." Ia mengulurkan tangannya. "I’m Jack. Boyfriend?"
"Woiii!!"
Reflek tangan Dimas melempar kotak tisu dari nakas, agar mereka tidak menggodaku. Kulirik ia sedikit mengangkat sudut bibirnya. Aku menanggapi perkenalan mereka dengan senyum dan menangkupkan kedua tangan.
Kualihkan pandangan ke Dimas. "Katanya saya dipanggil ke sini? Ada yang bisa dibantu, Pak?"
"Iya, aku mau bicara empat mata." Dimas memberi kode mata pada para tamu. Mereka berdiri dan siap menghambur satu-satu, demi memberi waktu dan ruang kami bicara.
"Bun, yuk katanya lo mau ngajak gue cari spareparts baru, keburu tutup." Daniel menepuk tangan Ibun.
Mas Bram juga ikut berdiri. "Gue pamit ya Dim, Ki. Lara nunggu di bawah."
Dan sang bule penggoda juga ikut bangkit. "Pamit ya, lo sehat-sehat Bro. Gak pake lama. Kantor serahin ke kita." Sebelum langkahnya jauh dari sofa, ia berbalik, "ah ya, buah gue bawa."
Mereka saling menautkan genggaman tangan dengan Dimas. Khas pamitan ala laki-laki. Dan sekarang tinggal kami berdua. Aku memilih duduk di sofa walaupun Dimas sudah mempersilahkanku duduk di kursi dekat ranjangnya.
"Mau bicara soal apa?"
-----------------------------------
-----------------------------------
PPDS : Program Pendidikan Dokter Spesialis
Internship: Program pengabdian 1 tahun sebagai dokter setelah lulus koas dan disumpah.
***