Payung Merah
Tiba-tiba terdengar suara benda terjatuh dari luar. Aku yang sedang mempelajari materi untuk persiapan ujian tengah semesterpun kaget dibuatnya. Saat ku tengok ke luar jendela, ternyata si Alberto sedang berlarian di luar dan menjatuhkan pot dari tempatnya, karena hujan angin yang kencang namun tak kusadari.
"Duh, malah hujan.", pikirku. "15 menit lagi aku harus berangkat ke kampus, hujan oh hujan cepatlah engkau berhenti, kalau engkau tak henti kek mana aku bisa pergi.", ucapku memohon pada sang penguasa langit.
Waktu berlalu begitu saja. Hujan masih belum berhenti, terpaksa aku terjang dengan motor kesayanganku. Aku berjalan ke arah garasi untuk memanaskan motor terlebih dahulu sambil memakai jas hujan. Handphoneku bergetar, aku biarkan, repot sekali jika sudah memakai jas hujan untuk mengangkat telpon. Tak hanya sekali ternyata.
"Woi, apaan? Mau berangkat ini aku, berisik kali kau nelpon mulu.", kesal aku dibuatnya.
"Sekarang ujan b**o, kamu mau ujan-ujanan kek 2 hari lalu? Masuk ruang ujian, muka kucel kek anak SD abis renang? Alias kamu jelek hahaha."
Terdengar suara ketawa meledeknya yang khas.
"Ini anak ga bosen ye ngeledekin aku mulu.", dalam hati ku sedang ngomel sendiri.
"Yaudah jemput sini, buruan. 5 menit kamu belum sampe awas aja, ku naik motor."
"Ya sana aja naik motor."
"Buang waktu aja astaga ngomong sama kau ini". Langsung aku tutup telponnya.
Aku bergegas lari ke Mang Ujang. "Pagi mang, udah sarapan tadi?", tanyaku.
"Sudah neng. Lagi nunggu jemputan neng?", tanyanya dengan suara ramah.
"Iya mang. Ohiya mang, tadi kakak berangkat jam berapa? Tumbenan udah ga ada tadi aku cariin."
Terdengar suara klakson yang dimodifikasi menjadi jeritan bebek diseberang jalan. Ternyata dia sudah sampai. Aku pamit ke mang Ujang.
"Lama amat jemputnya, dari Jupiter Kau?", celetukku.
"Kaga, dari Pluto aku mah, keliling dulu. Mau ntar sepulang ujian aku ajakin juga?".
"Hahaha makasih.", jawabku dengan suara sedikit malas.
Selama perjalanan ke kampus kita membicarakan materi yang kemungkinan ke luar di ujian dengan berbekal fotokopi-an catatan Dewi, anak ter-rajin di kelas kami.
"Jam berapa sekarang, Glor?, tanyanya
"Jam 08.00.", jawabku santai.
"Woi, buset dah, udah telat, bisa-bisa ga boleh masuk ujian ini."
"Selow bro, selow."
"Selaw selow palelu. Kemaren aku di usir bu Agust, ga boleh ikut gara-gara telat 15 menit. Aku sampe mohon-mohon ke pak Anto biar bisa ikut ujian susulan", katanya dengan panik.
"Lah salah kau ga liat dulu siapa pengawasnya. Udah tau bu Agust disiplin banget, pake telat segala. Selow bro, hari ini pak Bambang pengawas kita, bapaknya mah selow kalo ada mahasiswa yang telat, penting mah ga keterlaluan aja telatnya.", terangku
Benar saja, kita telat dan pak Bambang menyambut kita dengan senyum lebarnya. Aku dan dia segera mengambil soal dan lembar jawaban, dan duduk paling depan.
Dalam suatu kelas akademik, sudah jelas ada dua tipe manusia, tipe yang pintar, mudah menyerap ilmu yang diberikan hanya dengan mendengarkan dosen atau belajar sendiri dan tipe yang tidak tau apa-apa, malas mendengarkan dosen, malas belajar dan saat ujian hanya mengandalkan contekan. Aku adalah tipe yang tengah. Pencampuran antara dua tipe diatas. Walaupun aku sudah belajar sana-sini semalaman, subuh, diperjalanan, meminjam catatan anak ter-cerdas dan ter-rajinpun, hanya sedikit ilmu yang kuserap.
"Sssttt, Ren.", berbisik sambil sedikit menolehkan kepalaku ke arah belakang agar Renata mendengarku.
"No. 1 yang c udah belum? Mau dong.", lanjutku.
Renata menendang kursiku memberi aba-aba untuk memberikan kertas. Saat kuterima dan k****a kertas tersebut. Spontan aku menengok ke belakang dengan muka manyun dan dia juga spontan menendang pelan kursiku.
"Suara lu kenceng anjir", begitu isi suratnya.
Sesaat kemudian aku mendapatkan jawabannya dari Renata. Aku sedikit menoleh dan mengacungkan jempol sambil memanggil namanya. Dia menendang kursiku lagi.
"Oops kekencengan lagi" suara hatiku berbicara sambil tertawa.
Ujian hari ini pun selesai. Tentu saja sebagian aku jawab sendiri, sebagian hunting jawaban dari sobat tercintaku.
"Makan dimana kita? Laper banget aku tuh, mana masih ujan lagi." seruku ke Cesil, Renata dan Tari.
"Mau gofood aja?", tanya Renata
"Kasian abang gojeknya dong keujanan.", kata Cesil
"Yaudah di kampus tetangga aja makannya, kan deket, ujan-ujanan bentar.", kataku
"Skuy.", balas Tari
Kita memilih tempat di tengah karena bisa tengok kanan-kiri. Seperti biasa Tari yang memesankan makanan kita dan membayarnya terlebih dahulu.
Suara petir terdengar menyambar sangat kencang hingga membuat Renata menunduk dan menutup telinga. Renata benci sekali mendengar suara petir, karena saudaranya yang tinggal di desa meninggal karena tersambar petir dalam perjalanan pulang dari sawah.
Aku dan Cesil menenangkan Renata dengan menepuk-nepuk punggung Renata.
"Gapapa Ren, minum dulu sini." kata Tari
"Minumnya kan belum dateng Tar.", sahut Cesil
"Ohiya ya."
"Gue ga apa-apa guys cuma kaget" celetuk Renata yang bangun ari mejanya. "Btw tadi lu jalan bareng siapa Glor, cakep uy." tanya Renata kepadaku.
"Siapa? Cesil? Noh si Cesil senyam-senyum." jawabku
"Bukan." kata Renata
"Terus siapa Ren yang kamu maksud?" Tari kepo
"Cowok, tinggi putih cakep rambutnya gondrong, tadi kan gue liat dari dalem kelas keliatan."
"Siapa sih? ga liat akutuh. Ces emang tadi ada cowok jalan bareng kita?" tanyaku ke Cesil
Cesil menjawab dengan girang karena melihat makanannya sudh dateng, "Mana sempat, keburu telat. Kita kan telat tadi, ga sempatlah aku tengok-tengok, yang penting jalan cepat tanpa hambatan, ga diusir dari kelas."
"Emang kenapa Ren? Kamu naksir? Mau aku cariin dia siapa?", godaku ke Renata
"Ga, apaan sih. Orang tadi jalannya deket lu Glor, kirain temen baru lu yang datang dari antah berantah. Mana pake mayungin segala dari belakang, kek orang pacaran." jelas Renata
Aku yang kelaparan setengah mati, tidak terlalu memperhatikan celotehan Renata. Aku makan dengan lahap seperti kucing yang tidak diberi makan setengah hari.
"Hah? Gimana Ren?" tanyaku lagi
"Bodoamat Glor, lu kalo lagi laper ada perangpun lebih mentingin makan." sindir Renata
"Iya dong, masa engga." kataku
"Ih beneran gue mah, tadi siapa yang pake payung item?, Renata masih berusaha bertanya karena anaknya kepoan.
"Ren, kamu kepo banget sih." goda Cesil dan Tari
"Kaga tau aku Ren, ntar dah aku screening selesai ujian kedua sore ini, kalo kamu penasaran hahahahaa." godaku
Ujian kedua hari ini pun dimulai dengan pengawas Bu Greta yang galaknya luar biasa, ketahuan noleh aja udah diambil kertas jawabannya.
Ujian selesai, aku, Renata, Tari dan Cesil merencanakan untuk pergi main sebagai reward ujian hari ini akan dibatalkan jika nanti malam tetap hujan.
"Ces tungguin bentar disini aku mau ambil payung dilokerku dulu, ga enak banget pake jas hujan." pintaku
"Oke, buruan." kata Cesil
"Ren, Tar sampai jumpa ntar malem, dandan yang cantik ye." teriakku ke Renata dan Tari yang berjalan ke arah parkir.
"Semoga ujannya berenti, berenti plis, ntar malem mau main. Tolong ya berhenti, besok lagi." doaku sambil berjalan ke arah loker.
Aku hampir terjatuh. "Maaf, kamu gapapa? Aku buru-buru.", tanya seorang pria, suaranya manly banget.
"Oh gapapa." jawabku sambil melepaskan tangannya yang menahanku agar tidak terjatuh.
Pria tersebut langsung pergi terburu-buru. Saat tiba diloker, ada payung berwarna merah menggantung di pegangan pintu lokerku.
"Payung siapa ini?"