"Apa lihat-lihat? Gue masih marah sama lo." Anes membuang wajahnya. Masih kesal dengan tindakan Anjas yang menyuapi mulutnya dengan cabe rawit, mana pedas lagi sampai membuat bibir Anes kemerahan. Dia memang suka pedas tapi kalau disuapi cabe rawit giling tetap saja pedas. Lidahnya masih sangat berfungsi untuk mengecap.
"Turun lu dari mobil gua!" ketus Anjas, sontak membuat Anes kaget.
"Udah sampai ya?" Dia malah celingungan lalu menyengir kuda ketika melihat gedung apartemen yang menjadi rumah baginya untuk sementara waktu.
"Thanks ya. Gue turun dulu."
"Sebentar!"
Anes mengurung untuk turun dan menoleh ke arah Anjas.
"Gua harap ini kali terakhir kita ketemu. Jangan pernah muncul di kehidupan gua lagi!"
Anes tersenyum menepuk pundak Anjas. "Gak usah takut, gue juga ogah ketemu sama lo lagi. Takut jodoh, melarat."
"Hmm."
Namun Anes belum turun juga, malah mengadah tangan.
"Ngapain masih di sini? Cepat turun!"
"Minta duit, buat jajan."
Anjas memelototinya. "Cosplay jadi pengemis apa pengamen?"
"Gue lagi kere ni. Gak bisa gunain kartu atm takut ketauan. Lo mau gue ketauan terus diseret nikah sama lo?" Anes berbicara dengan memasang wajahnya yang sangat serius.
Anjas pun mendesah lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya membuat Anes tersenyum berbinar karena akan segera dikasih uang. Namun ketika Anjas menarik selembar duit warna ungu membuat ke dua mata Anes membeliak.
"Ceban?"
"Turun lu!"
"Anjir, gue bukan pengemis, masa dikasih segini?" protes Anes tidak terima dikasih uang Rp 10.000.
"Ya udah kalau gak mau." Anjas menarik uang itu, segera Anes menarik kembali dari tangan Anjas.
"Dasar pelit, medit, kere," umpat Anes sebal seraya turun dari mobil lalu menutup pintu dengan keras.
"Oi, lu kira mobil murah apa?" teriak Anjas menatap tajam.
"Bodo amat." Anes memalingkan wajahnya melihat uang Rp 10.000 membuatnya miris dan sebal. "Ya Allah, kenapa Engkau sisakan cucu Korun yang medit kaya dia?"
Anes menghela napas panjang, lalu melangkah masuk ke gedung apartemen. Rencananya mau lamar kerja malah ketemu Anjas. Awalnya senang bisa kerjasama dan cepat menghasilkan uang dengan cara nikah kontak, eh tau-taunya malah Anjas orang yang dia hindari untuk kasus perjodohan. Benar-benar menyebalkan.
"Loh, cepet banget pulangnya?" Nina keheranan ketika membuka pintu malah melihat wajah Anes yang lemas.
"Gagal."
"Terus gimana? Mau mundur? Balik ke rumah orangtua?" Nina menodong banyak pertanyaan seraya duduk di sofa bersama dengan Anes.
"Gak lah. Gue aja sekarang kabur ngapain balik."
"Terus?" tanya Nina penasaran dengan keputusan sahabatnya itu.
"Nanti gue pikirin lagi."
Nina mengangguk-angguk kepala. "Ngebakso yuk!"
"Dah kenyang gue."
"Gila, makan sendiri gak ajak gue."
"Gue dibayarin sama orang tadi."
"Siapa?"
"Calon mantu pilihan orangtua gue."
"What?" Nina memekik, mata membeliak dan mulut menganga. "Calon mantu gimana?"
Anes pun menceritakan awal mula lamar kerja hingga bertemu dengan Anjas dan rencana ingin nikah kontrak dan akhirnya malah ketemua orangtuanya di rumah Anjas dan ternyata mereka memang sudah direncanakan untuk dijodohkan.
Nina cukup serius mendengar hingga detik kemudian dia terkekeh geli. "Gue gak nyangka jalinan tali jodoh sekuat itu."
"Pret. Musibah yang ada," sela Anes dengan cepat. Menyandarkan kepala di kepala sofa seraya menengadahkan kepala—menatap lampu.
"Lo gak bisa menyangkalnya! Sudah jelas-jelas Tuhan kasih bocoran jodoh. Dari kabur eh malah ketemu," kekeh Nina tidak sanggup membayangkan betapa menggemaskan saat berada di posisi Anes.
"Dih amit-amit. Ogah gue nikah sama laki-laki medit kaya dia. Lo lihat ni nafkah dari dia, ceban, guys," cerocos Anes menunjukkan uang yang dikasih Anjas, lagi-lagi malah membuat Nina tertawa terbahak-bahak.
"Belum apa-apa udah bilang nafkah aja. Emang demen, tapi gengsi. Terlanjur kabur."
"Bodo ah." Anes enggan mendengar bully-an dari Nina lagi, gegas dia pergi ke kamar untuk ganti baju.
Hari ini nasibnya kurang beruntung, mungkin bisa dicoba lagi besok. Semoga saja dia tidak lagi bertemu dengan Anjas atau tidak bisa-bisa dia tidak bisa kabur lagi kecuali menyerah pada rencana perjodohan yang diatur oleh orangtua mereka.
Jauh dari apartemen, Anjas kembali ke kantor dan langsung disambut oleh Juanda yang sudah tidak sabaran ingin mendengar perkembangan kasus nikah kontrak dari Anjas.
"Gimana? Sukses?"
"Enggaklah. Lu tau perempuan itu siapa?" Juanda menggeleng kepala. "Dia perempuan yang orangtua gua siapin buat gua."
"Serius lu?" tanya Juanda kaget.
"Hmm. Tadi ketemu orangtua dia di rumah gua, lagi bahas perjodohan."
Bibir Juanda tersenyum miring. "Fix, jodoh."
"Bodoh iya," sela Anjas dengan cepat.
"Jangan gitu! Gak boleh nolak niat baik. Percaya sama gua, kalau lu udah sama-sama sama dia, lama-lama suka sendiri, apalagi kalau sudah bertukar anu, beh, makin gak pengen jauh," papar Juanda malah curhat.
"Gak peduli gua ... Alma sudah pulih?"
"Kenapa tanya bini gua?" Juanda mendelik tajam.
"Mau gua culik ... gaklah, gua butuh bantuan dia buat comblangin gua sama anak ponpes."
"Jodoh sudah ada di depan mata malah ngerepotin diri sendiri cari yang lain."
"Sama perempuan berisik? Ogahlah, gua cari speck alim, kalem, bukan berisik."
"Semoga saja harapan lu terwujud, meskipun gua gak yakin sih."
"Doain napa? Jangan takut-takutin gua!" omel Anjas tidak bisa membayangkan andai dia berjodoh dengan Anes, mungkin telinganya harus siap-siap disumpal dengan kapas biar ada penyaringan suara dan tidak langsung masuk ke gendang telinga. Bisa-bisa tuli.
*
"Loh, ada Anjas di sini." Alma membuka pintu menyambut suaminya, tapi malah yang nongol Anjas.
"Sudah kubilang gak usah ikut tapi ngeyel. Anggap saja dia gak ada, Al!" Juanda mendorong Anjas lalu mengulurkan tangan yang disambut oleh Alma—mencium punggung tangan Juanda dan Juanda membalas dengan mencium kening.
"Gak usah pamerlah di depan gua. Haish, ngenes banget," cerocos Anjas melirik sebal karena dia belum juga bisa mendapatkan jodoh yang sesuai dengan keinginannya.
"Segeralah menikah!"
"Justru aku ke sini mau minta bantuan buat comblonagin aku sama teman-temanmu yang di ponpes. Kali aja jodoh." Anjas berterus terang mengemukakan tujuannya ikut Juanda pulang, padahal langit sudah menghitam, bukannya pulang ke rumah sendiri, eh malah nyasar ke rumah Juanda.
"Ya sudah, mari masuk!" ujar Alma membuka pintu dengan lebar agar Anjas dapat masuk.
Anjas dengan senang hati hendak melangkah masuk, tiba-tiba getaran ponsel di sakunya membuat dia geli.
Lupa atur volume akhirnya hanya getar saja.
Dia melihat nama Mami di layar ponselnya, segera dia angkat. Meskipun kesal masalah tadi siang, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan orangtuanya begitu saja.
"Iya, Mi, ada apa?" tanya Anjas langsung to the point.
"Anjas, kamu bisa datang ke sini, Nak? Mobil Mami mogok."
"Mogok? Kok bisa?" tanya Anjas penasaran.
"Kurang tau, Nak. Mami nyetir sendiri, tiba-tiba sudah mogok saja."
Anjas membuang napas kasar. "Ok, share loc sekarang! Aku langsung otw."
"Kenapa? Gak jadi masuk?" tanya Juanda.
"Gak jadi, ibu-ibu satu itu ngerepotin. Sudah tau tua, malah sok-sok an nyetir malam-malam."
"Jangan begitu! Kasihan tante Ida diomeli anaknya. Lebih baik kamu langsung susul! Kasihan nunggu lama," ujar Alma.
"Adem banget sih ngomongnya? Jadi kepingin satu," kelakar Anjas langsung ditempeleng kepalanya oleh Juanda.
"Sorry, canda." Anjas terkekeh lalu kabur sebelum tatapan Juanda semakin tajam diikuti dengan tinjuan yang biasa dilakukan ketika dia memuji istrinya Juanda.
Anjas pergi mengemudi mengikuti arah dari alamat yang dikirim oleh orangtuanya.
"Mami ini sebenarnya ngapain main jauh banget?" gerutu Anjas saat sudah memasuki kawasan perkampungan yang sepi dan hanya terdengar suara jangkrik.
Begitu tiba di lokasi, Anjas turun—mengedarkan pandangan mencari mobil ibunya.
"Mi, mami di mana?" teriak Anjas terus berjalan hingga menemukan mobil berhenti di pinggir jalan. Tahu betul bahwa itu mobil ibunya dia pun mendekat dan malah tersentak ketika melihat sosok perempuan berbaju putih dan rambut terurai keluar dari mobil.
"Hantu," teriak Anjas spontan membuat sang empunya kaget.
"Mana hantu?"
"Astaga, elu." Anjas malah semakin kaget melihat wajah Anes. "Ngapain lu di sini?"
"Disuruh nyokap, katanya mobil mogok. Tapi orangnya malah gak ada." Ternyata Anes juga sama, mendapat telpon dari ibunya, meminta untuk datang karena mobil yang dikendarai Bu Ida mogok.
Kebetulan ibunya sedang pergi jalan-jalan dengan Bu Ida, dia pun kasihan dan menyusul ibunya dengan taksi.
Anjas kembali mengedarkan pandangan hingga ketemu satu gubuk, dia pun pergi memeriksa di sana.
"Eh, tunggu!" Anes berlari menyusul Anjas, tidak ingin ditinggal sendiri.
Sejujurnya dia takut juga di tempat sepi, tapi karena niatnya untuk menolong ibunya jadi keberanian itu datang sendiri.
Mereka tiba di sebuah gubuk, mereka membuka pintu itu dengan susah payah hingga berhasil terbuka—segera mereka masuk untuk mencari orangtuanya.
"Mi."
"Bunda, kalian di mana?"
Hening, tidak ada satupun yang mereka temui. Sekelabat kemudian kaki Anes terasa geli, buru-buru dia menoleh ke bawah.
"Tikur!" Anes menjerit memeluk Anjas yang juga kaget sampai mundur dan tersandung dengan batu hingga terjatuh.
"Aaa ..." Anes menjerit, kepalanya terbentur dengan kepala Anjas yang berada di bawahnya.
"Hei! Apa yang kalian lakukan di sini?" teriak dua pemuda yang datang berpatroli sontak membuat mereka menoleh.
"Apa?" tanya Anes bingung, dia lupa dengan posisinya sekarang.
"Sialan. Lu bangun dulu dari atas gua!" sergah Anjas.
"Sorry." Anes terkekeh lalu beranjak bangun.
"Kalian pasangan m***m!" tuduh laki-laki itu membuat mereka terperangah.
"m***m dari mana? Gak usah su'udzon deh," sela Anes dengan cepat.
"Alah, orang jaman sekarang kalau sudah tertangkap malah menyangkal. Sebaiknya kita bawa saja mereka ke rumah pak RT!" seru salah satu dari mereka dan lagi-lagi membuat Anjas dan Anes kaget.
"Apa-apaan ini?" tanya Anes saat tangannya di pegang oleh pemuda yang tidak dikenal itu, diseret bersama dengan Anjas ke rumah Pak RT.
"Pak RT, ini ada pasangan m***m," teriak mereka membuat tetangga keluar dan pak RT pun juga keluar.
"Ada apa ini?"
"Kami menemukan mereka mengotori kampung kita, Pak RT."
"Wah, berani sekali mereka mengotori kampung kita. Langsung nikahkah saja, Pak RT."
"Iya benar. Jangan biarkan kampung kita dicemari sama orang-orang seperti mereka."
Anes dan Anjas jadi menganga mendengar seruan warga.
"Kalian salah paham. Kita sama sekali gak berbuat aneh kok. Kami cuma cari ibu kami, iya kan?"
Anjas mengangguk kepala. Menyetujui ucapan Anes tapi tidak dengan warga karena salah satu yang menciduki mereka di gubuk malah menyerahkan bukti berupa foto.
"Coba lihat posisi mereka! Apa mungkin mereka ke sini hanya untuk mencari ibu mereka?"
Pemuda itu malah memprovokasi saat Pak RT melihat foto yang diambil dengan sangat nyata. Posisi Anes di atas Anjas membuat orang jadi salah paham.
"Sepertinya kita harus membicarakan ini dengan orangtua kalian," ujar Pak RT menatap mereka dengan serius.
"Loh, Pak RT, ini—"
"Cepat hubungi orangtua kalian!" titah Pak RT langsung menyela saat Anes hendak protes.
"Duh, gimana ini? Gue gak mau nikah sama lo," keluh Anes resah.
"Gua juga gak mau."
Hening, Anjas tiba-tiba mendekatkan bibirnya ke telinga Anes. "Kita suruh orang saja untuk jadi orangtua palsu kita."
"Setuju."