Menyetujui Rencana Juan

1231 Kata
"Lu jangan bercanda! Ini sama sekali gak lucu." Anjas menatap manik hitam Juanda. Tidak berkedip sedikitpun. "Tul," sahut Anes membenarkan. Sorotan mata mereka saat melihat Juanda sangat serasi—sama-sama tatapan menyangkal sekaligus protes. "Kalian jangan terlalu cepat menolak! Gua cuma memberi saran. Pertama lu dikasih pilihan sama orangtua lu untuk lu pilih sendiri calon istri atau terima perjodohan yang disusun orangtua elu." Juanda memaparkan argumennya dengan serius pada Anjas dan kini menoleh ke Anes. "Dan elu kabur dari rumah gara-gara menentang perjodohan." Anes mengangguk-angguk kepala karena yang dikatakan Juanda benar adanya. "Nah, nasib kalian sama. Menurut gua daripada terima perjodohan yang bikin kalian terikat selamanya, kenapa kalian gak atur saja pernikahan kontrak?" Anjas dan Anes bergeming, menalaah setiap ucapan Juanda. "Benar juga," kata Anjas menoleh pada Anes, membuat sang empunya menggeleng kepala. "Lu gak boleh nolak atau gua jeblosin lu ke penjara?" Anes berdengkus kasar, wajahnya cemberut setiap Anjas mengancam akan memenjarakan dirinya. "Ya udah deh iya. Gue mau." Dengan terpaksa Anes mengangguk setuju. Padahal dia tidak yakin dengan semua ini. Takut gagal dan malah menjerat dia dalam kehidupan pernikahan yang sebenarnya. Lantas Juanda yang mendengar persetujuan mereka atas usulannya membuat bibir merah tua itu tersungging. 'Mampus lu. Setelah lu nikah sama perempuan ini pasti rame. Berisik tambah berisik sama dengan heboh.' Batin Juanda sangat senang bisa menjerat sahabatnya dalam pernikahan. Jika dulu Anjas selalu melediki pernikahannya dengan Alma, sekarang giliran Anjas. Juanda tidak sabaran menanti kehebohan yang akan terjadi. "Kalau begitu, lu ikut gua sekarang!" "Loh, ke mana?" tanya Anes bingung dan resah. "Ambil jam tangan gua lah." "Tapi gue gak punya uang buat tebus. Uang kemarin habis buat beli baju sama makan." Anjas menatap Anes. Kejujuran Anes membuat hatinya sedikit tersentuh. "Selama lu bisa kerjasama sama gua, gua anggap hutang lu lunas." "Serius?" Mata Anes berbinar, bibir hampir tersenyum lebar. "Iya." "Oh, my God. Thank you so much." Spontan Anes meloncat memeluk Anjas seperti seekor kera. Juanda yang melihat itu pun tersenyum lalu berkomentar. "Cepatlah menikah! Selesaikan di ranjang! Kalian pasti akan menyukai itu." Anjas dan Anes terperanjat, segera mundur dan menjauh. "Gak usah gengsi. Dulu gua juga gitu. Tapi sekali masukin, uh ah, enak," kelakar Juanda langsung mengambil langkah seribu, pergi meninggalkan keduanya yang saling melirik dan membuat tubuh mereka merinding. "Jangan pikir yang aneh-aneh! Lu bukan selera gua. Gua gak mau sia-siakan keperjakaan gua buat elu," sarkas Anjas melirik sinis. "Dih, kePDan banget. Siapa juga yang mau lepasin perawan sama elo. Rugi bandar." Anes tidak mau kalah untuk membalas makian Anjas. "Bagus kalau gitu. Ayo ikut gua!" Anes mengikuti langkah Anjas dari belakang. Tetap menjaga jarak meskipun banyak pasang mata memandang ke arah dirinya dan Anjas. "Yang bergosip potong gaji," seru Anjas membuat karyawan yang menatap dirinya gelagapan dan buru-buru kabur. Anjas itu bos yang sangat santai dan humble, namun jika sudah mengoceh, dalam bercanda pun bisa jadi serius. Bagi karyawan Sultan Invest yang sudah mengenalnya sejak dari dulu, jika Anjas sudah memberi seruan maka harus segera angkat kaki daripada ucapannya teralisasikan. "Hebat juga power lo di sini. Memangnya status lo apa?" tanya Anes penasaran. "Wakil CEO," jawab Anjas seraya membuka pintu mobil. "Hah, apa?" Anes tersentak, menatap Anjas dalam tatapan tidak percaya. "Gak perlu gua ulang lagi! Lu akan untung selama kerjasama sama gua." Anes membeku, menatap lekat penampilan Anjas dari atas sampai bawah lalu menoleh pada mobil yang berada di depannya dan kembali teringat dengan jam mahal yang dia gadaikan. 'Kayanya dia benaran orang kaya. Kalau gitu ... ahaha, gue bakalan untung. Gak perlu capek-capek kerja, tingga minta kompensasi aja dari dia,' batin Anes senyum-senyum sendiri. Sekelabat kemudian malah mengaduh sakit karena kepalanya di sentil oleh Anjas. "Gak usah melamun." "Lo bisa gak, gak usah KDRT? Kita belum nikah, lo udah main tangan aja," omel Anes mengerucut bibirnya. "Gak usah lebay. Cepetan masuk!" "Iya." Anes masih kecil tapi tetap menuruti perintah Anjas untuk masuk ke dalam mobil. "Cakep sih cakep, tapi bikin lelah hati." Anes ngedumel sendiri melihat Anjas mengitari mobil lalu masuk dan duduk di tempat kemudi. "Sekarang cepat katakan di mana lu gadai jam tangan gua?" "Bentar." Jika soal jalan dan tempat Anes mudah lupa, untung dia menulis di note pada ponsel pintar miliknya. Lalu dia menunjukkan pada Anjas agar dibaca sendiri. "Lu gak bisa baca?" tanya Anjas sembil menyetir. "Bisa, tapi malas," jawab Anes dengan santai memasukkan ponsel ke dalam tasnya kembali, kemudian menatap jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan yang lalu lalang. "Kalau kita nikah, lo mau gaji gue berapa?" Anes membuka suara pada rencana awal sehingga dia berada di dalam mobil Anjas untuk pertama kalinya. "20 juta, cukup?" Anes menoleh, kedua matanya langsung membulat dan tersenyum semringah. "Cukup." "Selama pernikahan lu harus turuti semua perkataan gua dan jangan pernah membatah! Apalagi mengusik kehidupan pribadi gua," ujar Anjas dengan serius. "Oke. Asalkan gajian tepat waktu." Anes tersenyum mengangguk kepala. Lantas membuat Anjas melirik tajam. 'Apa Juan gak salah rekomendasi perempuan sebagai calon istri gua? Kayanya dia mata duitan ... tapi gak apa-apa, justru ini bagus, gua bisa menutup mulut dia dengan uang.' Tiba di sebuah kantor pegadaian, Anjas mendadak jadi teringat saat dia keluar dari cafe seberang sana dan melihat bayang-bayang Anes. "Apa kita pernah ketemu di sini?" tanya Anjas melirik Anes. "Gak, soalnya gue sembunyi," jawab Anes terus terang. "Oh. Hobi kabur-kaburan ya?" "Daripada ditangkap sama elo. Lebih baik gue kabur ... ya, walaupun ujung-ujungnya gue juga berakhir di tangan lo." Anes menghela napas panjang. Sia-sia melarikan diri karena takdir tetap mempertemukan dia pada laki-laki yang membuatnya kesal. Mereka masuk ke dalam kantor pegadaian, Anes langsung menemui laki-laki yang telah membantunya melakukan transaksi gadai jam tangan. Dia menyerahkan bukti tertulis telah menggadaikan jam tangan lalu minta pada Anjas untuk menyerahkan uang pada mereka. "Murah banget lu gadai jam tangan gua? Apa lu gak tau berapa harga jam tangan ini?" tanya Anjas seraya memakai jam tangan kesayangannya di lengan, menggantikan jam tangan yang tadi dia pakai. "Tau. Tapi gue gak bisa gadai terlalu tinggi, takut gak sanggup tebus, bunga makin naik. Gua juga yang beban." Anjas melongo. 'Perempuan aneh.' "Kita ke mana lagi sekarang?" tanya Anes sontak membuat lamunan Anjas buyar. "Ke rumah gua." "Dengan penampilan kaya gini?" tanya Anes tidak percaya diri. "Kenapa? Malu?" "Ya setidaknya ganti baju dulu lah. Masa pakai baju itam putih, disangka ikut tes CPNS." "Gak masalah. Orangtua gua juga gak peduli sama pakaian lu, yang penting yang gua bawa orang, bukan demit." "Ya sih." Anes masuk ke dalam mobil mengikuti Anjas. Dia tidak perlu merasa gugup, cukup bertindak santai saja demi misi terlaksanakan dan dia juga bisa mengabari orangtuanya untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, sehingga rencana perjodohan yang disiapkan orangtuanya bisa dibatalkan. Konon katanya pilihan orangtua itulah yang terbaik, tapi jika tidak sesuai ekspetasi gimana? Anes sama sekali tidak ingin coba-coba dan mempertaruhkan hidupnya dalam keadaan yang tidak bisa diajak kerjasama. Kini, Anes sudah berada di depan rumah tiga lantai yang berada di salah satu komplek perumahan mewah. Lagi-lagi dia merasa aman jika kerjasama dengan Anjas, setidaknya untuk biaya hidup tercukupi dan dia tidak kelaparan. "Yuk, kita masuk!" ajak Anjas. Anes mengangguk pelan, mengikuti Anjas masuk ke dalam rumah besar itu. "Assalamu'alaikum, Mi. Anjas bawa pulang calon istri," ujar Anjas seraya membuka pintu. Dia sangat antusias untuk mengenalkan pilihannya pada ibunya sehingga dia bisa pamer atas kemenangan dirinya dalam taruhan dengan merka. Namun, sepertinya dia berada dalam situasi yang kurang tepat. Ada tamu di rumahnya dan kini menoleh pada dia dan Anes. "Astaga, Mi, Pi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN