Disuruh Menikah

710 Kata
"Bapak memanggil saya?" Suara berwibawa penuh ketegasan dipadu tatapan yang juga tegas, memenuhi ruangan luas milik CEO. Osman melangkah masuk dan duduk di kursi yang ditunjuk oleh Ikmal. "Kau sudah serahkan laporan hari ini?" tanya Ikmal. "Pagi tadi sudah saya taruh ke meja bapak." Osman berpikir, seperti ada yang salah dengan bosnya itu. Sejak tadi dokumen laporan sudah diletakkan di meja, bagaimana mungkin lelaki ini menanyainya? Jadi dokumen itu tidak dilihat sejak tadi? Hanya jadi pajangan? "Oh." Ikmal membuka map. "Itu saja, Pak? Kalau begitu saya permisi." Osman bangkit. "Tunggu! Jangan pergi!" Ikmal menahan langkah Osman. Pria berbadan tegap bak tentara itu terpaksa menoleh. "Ya, Pak?" Suaranya kentara sekali memiliki kharisma. "Menikahlah dengan Orin." Ikmal menunjuk foto gadis cantik berambut panjang yang dia lempar ke meja. Cantik sekali, senyumnya menggemaskan. Wajah di foto itu seperti pernah dilihat oleh Osman. Tapi kapan? Oh... Pagi tadi ia baru saja bertemu dengan Orin di ruangan ini. Ternyata nama gadis itu adalah Orin. Mata gelap Osman menyipit dipadu dengan lipatan di kening. Ia terkejut. Dan ekspresi kaget itu membuat wajahnya yang tampan semakin menawan, bibirnya yang memiliki garis jelas itu membuka seperti ingin bicara. Tapi nyatanya ia hanya diam. "Kau nikahi Orin secepatnya,” tegas Ikmal lagi. "Maaf, Pak. Tapi alasan apa yang membuat saya harus menikahi Orin?" Osman tersenyum heran. "Dia staf kepercayaanku dan aku maunya dia menikah dengan orang yang bisa dipercaya, kaulah orangnya. Aku tahu kau lelaki yang taat beribadah. Maka aku yakin kau bisa menjaganya. Aku tidak mau dia jatuh pada lelaki yang salah. Aku dan dia sudah bersahabat cukup lama. Tapi di kantor ini, kami profesional kerja. Kami tetap bersikap seperti bos dan bawahan. Tidak ada yang spesial." "Bapak tahu kalau saya sudah punya istri. Tidak mungkin saya menikahi wanita lain," tolak Osman dengan sopan. Sekelebat bayangan sang istri yang dia cintai menari di kepalanya. Naomi. Mereka baru saja menikah beberapa bulan lalu. Mereguk kenikmatan berumah tangga dengan penuh rasa cinta. Antara manisnya syahadat dan dahsyatnya syafaat, dia sudah mengucap janji pada Tuhan untuk menjadi imam bagi sang istri. Bahkan dalam setiap hitungan tasbih yang dia lafazkan, selalu meyakini bahwa doanya dan doa sang istri akan bertemu dengan amin yang sama. Mereka sudah bahagia. Ikmal berbisik, "Aku akan berikan uang satu miliar untukmu." Dalam hati ia melanjutkan kalimatnya, 'Uang satu miliar sebagai ganti atas benih di rahim Orin.' Namun kalimat itu hanya ia telan dalam hati, tak mungkin disampaikan. Osman tidak boleh tahu atas kehamilan Orin. "Ini bukan masalah uang. Lagi pula Orin pasti juga tidak akan mau dijodohkan dnegan saya. Atas dasar apa dia bersedia menikah dengan lelaki yang tidak dia kenal?” “Justru dia sedang membutuhkan lelaki salih sepertimu. Lelaki yang paham dengan urusan agama. Dan aku memilihmu. Aku tidak akan ijinkan sahabatku itu hidup sendirian di kota jahat ini bila tanpa penjaga.” “Justru dalam ajaran kita, ini keliru. Saya tidak dianjurkan menyakiti istri saya dengan menduakannya.” “Ini bukan menduakan. Kau sedang mengangkat derajat yatim piatu seperti Orin.” “Maaf, saya tidak bisa. Anda salah memilih orang,” tegas Osman. Ikmal mendekati Osman, menatap penuh ancaman. Tiba-tiba wajahnya berubah sangar seperti singa kelaparan yang siap menerkam mangsa. "Kau baru saja akan menikmati gaji tinggi, bahkan angkanya dua kali lipat dari gaji sebelumnya. Apakah kau mau kehilangan jabatanmu itu? Kau juga kehilangan pekerjaanmu. Sempurnalah kau menjadi pengangguran." Ikmal terlihat geram dengan rahang yang mengeras. Osman kembali teringat Naomi, istrinya yang menjingkrak kegirangan ketika mendengar ia naik jabatan, lalu mereka pindah ke kantor baru. Tak peduli jilbab lebar yang digunakan sang istri berantakan akibat kegembiraan itu. Mereka bahkan sudah melewati masa lelah saat pindah ke rumah dinas yang bagus. Mengangkuti perabotan dan merapikan kembali perabotan itu di rumah baru bukanlah hal mudah. Pun mobil dinas yang sempat dia digunakan untuk berlindung dari panas dan hujan itu telah memberikan kegembiraan bagi sang istri. Apakah ia harus melepasnya hanya dalam sekejap waktu? Senyum dan kebahagiaan Naomi, serta situasi yang mendesaknya, mendadak membuatnya mengambil keputusan cepat. "Baiklah, saya akan menikahi Orin." Osman menjawab tegas, tanpa keraguan. Hanya satu harapannya, tidak membuat kebahagiaan Naomi lenyap. Dan satu lagi, sudah sangat lama ia mendambakan profesi yang sekarang dia dapatkan. Tak mudah melepasnya begitu saja. Sudah terlalu banyak perjuangan berat yang dia lalui untuk sampai di titik ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN