"Mommy. Aku nggak mau!" Kedua alis kanan dan kiri _wanita yang saat ini masih setia tengkurap di atas tempat tidur_ itu berkerut karena mengekspresikan penolakannya terhadap seseorang yang berada di sambungan telefon sana.
"Ayolah Den. Pasti banyak berita baru nanti. Aku nggak bisa percayain acara penting kayak gini ke yang lain." Meski sudah mendapatkan penolakan pasti, orang yang biasa di panggil Mommy itu masih gencar membujuk.
Sedangkan sang empu yang di bujuk makin menunjukkan penolakannya saja, lantaran merasa sangat-sangat kesal sebab waktu baiknya telah di ganggu nenek sihir. "Plis lah Mom. Aku lagi sibuk. Aku tutup ya__"
"Eh, eh, bentar dulu ih, Den."
Wanita itu _Dena_ sampai mengulum bibirnya sendiri yang hampir keceplosan mengumpat keras-keras, Dena tau betul bagaimana respon buruk Mommy kalau ia sampai menyuarakan kata-k********r.
"Sibuk apa sih Den, paling-paling cuma nge-drakor kan."
'Cuma? Heh!' Dena mendengus pelan, bisa-bisanya orang tidak tau diri ini bicara seperti itu. "Ya serah aku dong. Ini hari libur ya Mom." Ucapnya geregetan sendiri, ingin sekali ia memutus sambungan telefon ini agar tak mendengar ocehan-nya lagi.
"Udah cepet ganti baju dan cus. Mommy tunggu tiga puluh menit lagi. Okay, bye!”
"Mom__"
Tuttt...
Sambungan itu benar-benar di putus sepihak oleh Mommy, tanpa menunggu respon atau pendapat Dena sama sekali. Yang mana hal itu membuat Dena langsung tak dapat menahan u*****n di bibirnya.
"Anjink lah. Arghh."
Dena sungguh kesal, marah, dan semrawut, sampai ia melempar ponselnya sendiri ke ranjang pelan. Eits jangan pikir Dena akan merelakan ponsel logo 'buah apel tergigit' itu sebagai bentuk pelampiasan kemarahannya? Haha tentu tidak dong, modal nyicil nih boss, ya kali mau di banting.
"Ck, Baru juga mau me time." Dena mencebikkan bibirnya menahan perasaan dongkol dan tangisnya itu.
Orang itu _Mommy_ benar-benar makhluk ter menyebalkan menurut Dena. Selalu menyuruh-nyuruh Dena dengan seenak hati. Memang benar Mommy adalah kepala devisi bagian di perusahaan media yang sudah 4 tahun menampung Dena, tapi tetap saja wanita itu seoalah tak punya hati jika sudah menyangkut Dena. Mulut Mommy manis sih, manis banget kalau ada maunya seperti ini.
Sejujurnya Dena sendiri tak tau Mommy itu berjenis kelamin apa. Karena banyak rumor menyebar jika Wanita itu, eh ralat maksudnya pria? Ey, Bukan-bukan, lebih tepatnya waria mungkin? adalah seorang transgender, hanya saja Mommy tak pernah mau jika di tuduh transgender, dia mengaku sebagai wanita tulen.
"Ayo Dena. Sebelum si nenek sihir ngoceh-ngoceh lagi." Dena berusaha menguatkan dirinya dari perasaan dongkol nan malasnya. Lalu ia mulai berdiri dan berjalan gontai hendak mengganti piyama tidur gambar Doraemon yang sudah pudar warnanya karena di makan usia itu.
Huft ... Padahal malam minggu ini, Dena sudah bersiap di depan layar laptop yang menyala menampilkan kumpulan film-film yang semula akan ia tonton sampai pagi, ia sebenarnya juga sudah skincare-an dan sikat gigi, benar-benar sudah ready pokoknya. Tapi ya sudahlah, kalau di ingat-ingat Dena makin kesal saja rasanya.
Dena pun buru-buru mengganti pakaiannya dengan dress hitam simple yang sudah 4 tahun ini menjadi salah satu jajaran baju good quality pengisi lemari bututnya, dress itu pun ia beli karena terpaksa sebab tak memiliki pakaian formal sama sekali sebelumnya.
Berlanjut, Dena pun memakai make-up yang cenderung simple itu, dan laku mencatok ujung rambut sedikit.
Butuh waktu hampir tiga puluh menit untuk Dena menyiapkan diri, biarkan saja si nenek marah-marah karena ia telat datang pikirnya. Toh Mommy juga yang memberi tugas dadakan, mana penuh pemaksaan lagi.
Setelah benar-benar siap Dena segera mengambil kamera super besar milik perusahaan _yang memang di pinjamkan untuk setiap karyawan. Ia tak lupa menempelkan kamera kecil di tas slempang-nya itu, sebuah kamera tersembunyi yang sengaja di bawa jika ada hal bagus untuk direkam saat kamera besar tak bisa menjangkaunya.
Jika kalian penasaran apa pekerjaan Dena, yups, Dena adalah seorang wartawan atau bisa di bilang paparazzi? Dan lebih jelasnya Dena adalah penguntit. Ia sudah melakukan pekerjaan itu hampir 4 tahun lamanya, di sebuah perusahaan swasta bernama Onepact.
Onepact adalah perusahaan media yang memang sudah sangat kontroversial di negara ini. Karena Onepact selalu mencari berita-berita terkini dan terupdate _dengan cara menguntit_ para artis, penyanyi, idol, model. Ralat tidak hanya selebritis bahkan Onepact juga menguntit tentang orang-orang di balik dunia politik.
Sistem Onepact adalah, jika berita ingin tertahan alias tak tersebar, pihak yang ber-kontroversi harus membayar sejumlah uang sebagai bentuk kompensasi tutup mulut. Dan dari sanalah Dena di gaji, jika ia bisa mendapatkan berita besar bonusnya akan sangat banyak, tapi jika tidak, ya begitu-begitu saja nasib Dena.
Onepact tidak hanya berfokus sebagai paparazzi, tapi kadang juga melakukan selayaknya wartawan atau jurnalis foto resmi lainnya, seperti malam ini Dena yang menghadiri sebuah acara award bergengsi tahunan se-asia tenggara.
Kadang Dena bingung, padahal di perusahaan ada belasan bahkan puluhan karyawan, tapi kenapa kalau ada acara-acara mendesak seperti ini selalu ia yang di kambing hitamkan. Sungguh mengesalkan bukan.
Dena tau jika hari ini Moli teman sekaligus orang yang di jadwalkan meliput acara ini tengah sakit. Dan seolah tak ada karyawan lain, Mommy sengaja mengganggu waktu liburnya untuk menggantikan tugas Moli.
Dena menuruni anak tangga, setelah tadi sempat memesan taksi online dahulu. Sejujurnya ia sama sekali tak rela melepaskan banyak uang untuk sekedar membayar taksi, tapi mau bagaimana lagi dengan pakaian macam ini _dress lumayan pendek dan ber-makeup_ ia tak mungkin menggunakan kendaraan lain macam ojek dan lainnya.
Dena mempercepat langkanya dalam menuruni tangga rumah susun yang ia tinggali hampir 9 tahun ini, karena memang taksi online yang ia pesan beberapa menit yang lalu hampir sampai di kediamannya. Lagi waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, dan acara red carpet akan di mulai jam 7 lebih sepuluh menit. Alamat sudah Dena akan terkena semburan kemarahan Mommy nenek sihir, karena telat datang.
Dan benar saja, saat Dena mencapai gerbang depan, bapak sopir taksi sudah berdiri di samping mobil dengan bermain ponsel, sepertinya hendak mengabari Dena.
"Neng Denara ya?" Tanya bapak yang memakai kaos ber-warna hijau dengan tag logo perusahaan jasa antar online di bagian d**a kirinya itu setelah Dena makin mendekat.
"Iya pak saya Dena. Langsung jalan ya pak, soalnya saya lagi buru-buru." ucap Dena sungguh-sungguh.
"Okay Neng siap." Bapak supir itu mengangguk dan mempersilahkan Dena untuk segera masuk mobil, di susul bapaknya sendiri.
Setelah itu mobil yang Dena tumpangi benar-benar melaju membelah jalanan lumayan kencang, yang tentu saja itu atas perintah Dena sendiri.
*****
Harusnya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk Dena mencapai tepat tujuan, yakni stadion besar yang terletak di tengah kota itu. Hanya saja sepertinya Dena memang sudah di takdir kan untuk ikhlas menerima kesialan dikarenakan taksi yang ia tumpangi mogok tiba-tiba, padahal jaraknya dengan stadion tinggal 400 meter lagi.
Alhasil dengan sangat terpaksa Dena memutuskan untuk turun saja dari mobil dan berniat meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki saja, dari pada ia menunggu di sini tanpa kepastian bukan. Lagi pula, ini memang sudah dekat, dan ia juga mengetahui gang-gang kecil jalan pintas ke arah stadion, yang pasti akan mempercepat nya dalam mencapai tujuan. Hey, jangan salah, berprofesi sebagai Paparazzi jelas membuat Dena tau seluk beluk jalanan kota loh. Apalagi saat ia hampir tertangkap para bodyguard-bodyguard artist jadi ia bisa dengan lincah bersembunyi.
"Maaf ya mbak. Saya benar-benar minta maaf." Bapak supir taksi online yang kemungkinan berusia hampir 50 tahunan itu sangat merasa bersalah pada Dena penumpangnya.
"Iya pak nggak papa. Namanya juga musibah, kalau begitu saya pergi dulu ya pak." Meski dongkol, tapi Dena sama sekali tak marah atau merasa kesal terhadap bapak ini, titik kekesalan Dena masih setia tertuju pada Mommy, orang yang sudah menghancurkan hari liburnya dan me time nya.
"Iya mbak. Hati-hati ya mbak."
Dena mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban, sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkannya bapak itu. Ia juga sudah membayar bapak itu secara penuh, meski sebenarnya ia tak mencapai tujuan yang tepat.
Langkah kaki Dena berbelok ke sebuah gang kecil yang nanti akan menuju bagian samping Stadion. Meski begitu gangnya sama sekali tak menakutkan, karena banyak di pasangi lampu-lampu terang di sepanjang jalannya.
"Gilak. Udah hampir setengah delapan aja." Dena terkejut saat mengecek ke arah jam tangan putih yang yang ia pakai, tidak menyangka ia akan setelat ini. Ia pun segera menambah kecepatan langkahnya, ralat bukan hanya langkah tapi bisa di katakan Dena sudah mencapai level berlari kecil. Meski sedari tadi Dena berbicara 'tidak perduli telat atau bagaimana', tapi tetap saja kalau telat terlalu lama ia nanti akan terkena semprotan api Mommy nenek sihir semakin lama kan.
Tapi tiba-tiba,
"Aaaa.."
Brukkk..
Sayang sekali, ternyata kesialan Dena lagi-lagi kembali terjadi. Karena saking terburu-burunya ia sampai tak memperhatikan jalanan dan langsung saja menerobos sebuah gelintiran batu yang kira-kira sebesar kepalan tangan itu, hingga seperti dugaan kalian kalau Dena berakhir jatuh dengan kaki yang terkilir.
"Sial, sakit banget. Arhhh." Dena meringis menahan sakit, saking sakitnya Dena benar-benar tak dapat menggerakkannya kakinya barang sedikit.
Bagaimana ini?
Seiring dengan Dena yang masih terduduk di trotoar penuh kesakitan, tiba-tiba ponsel di dalam tas selempang kecilnya mulai bergetar lama, menandakan adanya sebuah panggilan masuk dari seseorang terhadap nomornya.
Dena buru-buru mengambil ponselnya itu dan merogoh ke dalam tas, mengabaikan rasa di kakinya itu. Dan benar seperti dugaan Dena, saat ia lihat ke arah layar ponselnya, ternyata Mommy lah pelaku penelepon itu. Pasti ia akan tersembur, tapi mau bagaimana lagi.
Ia pun segera menggeser tombol hijau di layar sana, hingga sedetik berikutnya panggilan itu sudah terhubung dengan Mommy yang siap menyambut dengan suara cemprengnya.
"Den, udah jam berapa ini? Mikir dong pake otak, red carpet aja udah mau selesai. Oh Mommy tau, kalo bukan tugasnya di lambat-lambatin gitu ya!" Kan kan, si Nenek langsung berulah. Memang kalau Mommy menelfon itu perasaan Dena sudah tidak enak sedari awal.
"Sorry Mom. Ini aku lagi kena musibah." Bukan Dena mencari pembelaan, tapi memang ini kenyataannya, kakinya tengah sakit berdenyut nyeri.
"Halah alasan. Cepet ke sini, pokoknya kurang dari lima menit, kalau enggak, awas aja besok."
Tut.. tut.. tut..
Lagi-lagi panggilan itu diputus secera sepihak oleh Mommy.
"Sialan, t*i, arghh, k*****t bener emang si Nenek, nggak tau apa kaki gue rasanya kayak mau copot."
Dengan perasaan yang sudah bercampur aduk, tentunya hanya perasaan yang buruk-buruk itu, Dena mencoba menahan sakit di kakinya dan berusaha keras untuk sekedar berdiri.
Ringisan yang keluar dari bibir Dena tak henti-hentinya keluar, benar-benar sakit gobssss. Tapi ya mau bagaimana lagi, nenek sihir super jahat itu hanya memberinya waktu lima menit.
Dan dengan usaha penuh, Dena berhasil untuk sekedar berdiri dari duduknya itu.
Tapi baru saja selangkah di gerakkan, Dena rasanya sudah ingin duduk kembali saking terasa sakitnya.
Astaga, lengkap sudah penderitaan Dena, tinggal menambah backsound 'ku menangis__' Dena sudah seperti orang yang paling tersakiti di dunia ini.
Ah, sudahlah, kadang Tuhan memang se-bercanda itu dengan alur hidup Dena.
Dena terus melangkah _pelan_ menahan semua rasa sakit di kakinya itu, apalagi kamera besar yang menggantung di lehernya making menambah gangguan jalannya.
5 menit berlalu, dan Dena berhasil, perjuangannya untuk ke stadion hampir tercapai, ia sudah berada di samping stadion dan tinggal 50 meter lagi ia akan tiba.
Hanya saja saat Dena hendak berbelok, Dena tidak sengaja melihat sosok wanita dan pria tengah berhimpitan di dinding gang.
Fikiran Dena sudah kemana-mana, apalagi orang-orang itu berada 10 meter di depannya.
Benar-benar ya orang jaman sekarang, tidak tau tempat dan waktu kalau sudah berurusan dengan hal begituan.
"Yoga, lepas!"
Eh, tunggu-tunggu? Lepas?
Wah apa ini sebuah pemaksaan? Malah-malah lebih buruknya percobaan p*********n?
Ini tidak bisa di biarkan, Dena harus membantu.
"Yoga Hernanda! Aku bilang lepas!"
Yoga?
YOGA?
YOGA HERNANDA?
Dena tak dapat mengondisikan kedua matanya yang langsung membulat lebar mendengar nama itu di sebutkan.
Apa benar ...
I-itu Yoga Harnanda?