episode 10: takdir seorang Raja

962 Kata
Sang Maharaja kini berada diruang kerjanya setumpuk kertas mulai yang berisi laporan dan permintaan serta pengaduan berada diatas mejanya. Terlebih tentang prtesan pemerintah tak segerah bertindak dengan kondisi negara yang sekarang tidak normal mulai dari bencana peperangan saudara serta kekurangan sumber daya alam. Keadilan yang tidak merata. Hei! Dia baru dua hari menjadi Maharaja kenapa banyak laporan semacam ini, bukankah seharus kerajaan ini tidak seperti itu. Tiba-tiba sebuat suara terdengar ditelinganya. "MANFAATKAN WAKTUMU DENGAN BAIK SEBELUM TUBUHMU KEHILANGAN NYAWAMU KARENA TAK LAMA LAGI KAU HARUS MENINGGALKAN DUNIA INI". Suara itu begitu menggelegar tapi anehnya kenapa tak seorangpun ada yang mendengar. "Siapa kau sebenarnya". Gumamnya. "WAKTUMU HANYA 9 TAHUN". Lagi-lagi suara itu, dia tidak perduli dengan suara aneh itu yang terpenting dia harus mencabut pedang rajawali itu agar bencara total dinegara ini segera berhenti, bencana yang disebabkan oleh kekuatan supranatural dari pedang Rajawali. "Aku akan mengumpulkan seluruh petinggi kerajaan terlebih dulu untuk membahas hal ini, meski aku bisa melakukan ini sendiri tapi sebagai seorang raja maka dia harus bersikap adil dan memberikan kesempatan mengeluarkan pendapat atau melakukan sesuatu untuk kerajaannya. Zein bangkit dari tempat duduknya, baru selangkah dia berjalan mendadak kepalanya terasa nyeri diapun memegangi kepalanya yang terasa mau pecah, dia sendiri tidak tau apa yang terjadi pada dirinya, dia bukan orang berpenyakitan seperti dalam n****+ romance yang menceritakn tentang seseorang berpenyakitan. " ITU BARU PERMULAAN, HUKUMANMU BELUM SELESAI, KAU AKAN MERASAKAN HAL YANG LEBIH MENYAKITKAN DARI INI SETIAP HARINYA AKU AKAN MENYIKSAMU HAHAHAHAHAHHA". Suara tawa setan menggelegar diruangan kerja sang Maharaja. "Hah..." Zein menghela nafas pasrah, mungkin memang dia harus menerima takdir ini tapi dia akan tetap menjalinya dengan penuh tanggung jawab dosa yang telah dia lakukan dimasa lalu harus ditebusnya. "Yang Mulia anda baik-baik saja?" Tanya seorang pria yang tidak sengaja melihat rajanya memegangi kepalanya dan terlihat menderita, kebetulan pintu ruangannya sedikit terbuka. Zein mendongak menatap pria itu, dia pastilah sekretaris kerajaan terlihat dia membawa tumpukan kertas entah itu kertas apa lagi. "Hm," Jawabnya singkat. Setelah rasa sakitnya mereda dia kembali menegakkan tubuhnya lalu memandang pria itu. "Perintahkan kepada seluru petinggi kerajaan untuk berkumpul diaula, ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan dengan mereka! aku akan menemui Raja Warui terlebih dulu," Katanya memberi perintah. Pria itu mengangguk dan memberi jalan untuk sang Maharaja. **** Putra mahkota mondar mandir dikoridor, dia merasa cemas saat mengetahui seluruh surat laporan dan t***k bengek sudah masuk pada Sang Maharaja. Menurut ayahnya, Zein mirip dengan mendiang ayahnya meski terlihat santai tapi sangat tegas saat menjalankan tugasnya, dia berharap seluruh anggota kerajaan serta para petinggi kerajaan tidak akan mendapat masalah, apa lagi ayahnya selaku raja, dia tau kadang ayahnya itu terlalu memanjakan anggota kerajaan dan para petingginya sehingga rakyatnya sering tak terurus. "Yang Mulia". Suara bariton yang lembut menyentakkan lamunannya dia berbalik dan melihat sang Maharaja berdiri didepannya. Rasanya dia seperti melihat hantu hingga ingin segera kabur. Zein tersenyum tipis membaca isi fikiran sang putra mahkota, semenjak dia menjadi raja dengan gelar Maharaja dia telah mengaktifkan semua kemampuannya tidak perduli dengan rasa sakit yang harus dia tanggung. "Maharaja, anda sedang apa?" Mendadak putra mahkota seperti kehilangan wibawahnya. "Ingin bertemu paman, kau sendiri sedang apa?" Tanyanya pura-pura tak tau. Otak putra mahkota mendadak jadi buntu harus menjawab apa, hei!, tak elitkan bila putra mahkota harus berbohong dan ketahuan karena lawannya bisa membaca pikiran orang. "Tidak perlu dijawab, jika tak bisa berbohong," Pungkasnya. Mata pangeran Rui membulat dia langsung menunduk baru kali ini ada yang bisa membuatnya kehilangan wibawahnya. "Maafkan aku kakak," Sesalnya. "Tak apa, tapi kau juga harus bertanggung jawab karena telah mengizinkan pangeran Ryusuke menggunakan pedang Rajawali," Jawabnya santai. Sang pangeran kembali mendongakkan wajahnya menatap Maharaja penuh tanda tanya. "Kakak tau pedang itu?" Tanyanya. Zein menghela nafas. "Aku juga akan bertanggung jawab, lain kali aku akan menjelaskannya padamu, sekarang aku harus menemui paman," Pamitnya. Dan diangguki oleh pangeran Rui. "Sepertinya memang dia bukan manusia biasa," Gumamnya. Zein berjalan dengan langkah tegap menyusuri koridor menuju paviliun utara tempat raja Warui berada, langkahnya berhenti saat dia melihat sosok sang kekasi berdiri menatap langit diujung koridor pertigaan. Sekar memandangi langit yang sudah seminggu ini diliputi asap hitam, bahkan teriakan halilintar juga tak pernah berhenti. " siapakah yang bisa menghentikan ini? aku tak tega melihat rakyatku terus menderita," Gumamnya. Zein merasa terenyuh ternyata kekasihnya memikirkan nasib rakyatnya tak seperti para petinggi kerajaan yang lainnya bukannya suudzon masalahnya dia bisa membaca isi hati orang. "Kau tak perlu khawatir Seikar, aku yang akan meredakan semuanya," Katanya. Dia melangkah mendekati sang kekasih lalu memeluknya dari belakang. Sekar merasa bahagia mendapatkan pelukan mesrah dari sang kekasih, dia memegang lengan sang kekasih yang melingkar dipinggangnya, dia sandarkan kepalanya didada sang kekasih. Terlihat begitu romantis. "Kak Zulka, "Panggilnya. "Hmm," jawabnya. "Aku ingin seperti ini selalu," Katanya. "Aku juga, tapi jik itu terjadi artinya kita akan membuat orang lain merasa dikhianati," Jawabnya tenang. Wanita itu mendongak menatap sang kekasih yang begitu tampan. "Aku tidak keberatan meninggalkan gelar ratu ini, tapi aku tidak mau lagi jauh darimu," Katanya. Pria itu tersenyum lembut. "Tidak Ratuku, kau tidak boleh meninggalkan tugas dan tanggung jawabmu, jika memang tuhan menghendaki kita untuk bersama, maka kita pasti akan bersama, sementara ini biarkan mereka mengira kita ini saudara". Jelasnya. Ratu Sekar kembali menundukkan pandangannya, seandainya kekasihnya itu tidak memiliki sifat seorang pemimpin dan memilih menuruti egonya tentulah dia akan melarikan dirinya. Zein melepas pelukannya, membuat Ratu Sekar merasa bingung. "Ada apa?" Tanyanya. "Aku harus menemui suamimu dulu, ada hal yang harus aku bicarakan dengannya," Jawabnya. "Tentang apa?" Tanyanya semakin penasaran. "Mengenai kerajaan, aku pergi dulu," Pamitnya. Setelah itu pria itu pergi meninggalakan keksihnya. Ratu Sekar merasa sangat bahagia karena sang kekasih memanggilnya "ratuku" panggilan yang sering diberikannya saat mereka masih bersama. Tanpa sadar dia tersenyum sendiri pipinya jadi bersemu merah. Tak menyadari kalau dari kejauhan ada sepasang mata yang mengawasi mereka dengan tatapan curiga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN