PDS 4

1234 Kata
Happy Reading, mohon voted dan komen ya, supaya aing semangat nulisnya. Wkwkwk. Salam sehat. . . Di kampus, sebelum masuk ke ruangan, Luvina di tarik Gita untuk duduk di mana Nelly and The Gank sudah menunggunya. Luvina merasa akan disidang hari ini, mungkin karena pembahasan semalam. Luvian melenguh kesal. Sidang tesisnya beberapa hari lagi akan digelar, dan sekarang dia akan di sidang teman-temannya dulu. "Apaan sih, kalian?" tanya Luvina tanpa menutupi kesalnya. "Lo ada hubungan ya, sama Pak Fahri? Kelihatannya, lo udah akrab banget sama dia sampai dia membuka jasnya dan nyelimutin lo," ujar Nelly. "Ya ampun ... jadi masih pembahasan semalam? Ya enggak lah, Pak Fahri kan nggak ngelakuin apa-apa. Dia hanya meminjamkan jasnya buat gue, kan? Dan, Pak Fahri itu kan udah dikenal baik, dia bakal ngelakuin hal sama jika melihat anak mahasiswanya terbaring kayak gue." Luvina mencoba menjelaskan dan memilih menyembunyikan hal yang sebenarnya. "Tapi, gue lihat dari fotonya ... enggak mungkinlah Pak Fahri tersenyum seperti ini," ujar Linali menunjukkan fotonya. "Ya ampun ... apa salahnya sih dia tersenyum kayak gini? Reaksi kalian berlebihan, loh," sangkal Luvina. "Benar kata Linali, ada yang lo sembunyiin ya, dari gue?" tanya Gita. "Enggaklah, Git, kalian apa-apaan sih," tatapan Gita dan Nelly The Gank terlihat memastikan, membuat Luvina bingung. "Luvina adalah calon istri saya," ujar sebuah suara. Mereka semua lalu berbalik, dan melihat Fahri yang sedang berdiri dengan kedua tangan yang ia masukkan ke saku celananya. Mereka semua membulatkan mata penuh karena tak menyangka. Luvina pun sama, ia membulatkan matanya penuh, karena tak menyangka Fahri mengakui semua di depan mahasiswanya yang sedang di dalam ruangan dan yang berdiri di luar ruangan. "Ma-maksud B-Bapak?" tanya Nelly. "Luvina adalah calon istri saya, sebentar lagi kami akan menikah," kata Fahri sambil menarik tangan Luvina dan menggenggamnya. Tindakannya mengundang reaksi berlebihan dari semua mahasiswa yang mendengar dan menyaksikannya. Mereka histeris nggak percaya membuat Luvina menutup wajahnya malu. "Jadi maksud Bapak waktu itu, sebentar lagi akan menikah dengan Luvina?" tanya Nelly. "Iya, benar. Jadi, kalian tak perlu khawatir, dan tak perlu bertanya kenapa saya perhatian pada Luvina, karena dia adalah calon istri saya. Salah nggak, saya perhatian sama dia?" "Nggak salah, Pak, benar-benar nggak salah," ujar Gita. "Baiklah. Kita mulai mata kuliahnya." Semuanya lalu duduk di kursi masing-masing dan Fahri memulai mata kuliahnya. Fahri sesekali melirik Luvina yang sudah pasti kebingungan dengan sikapnya. "Lo utang penjelasan sama gue, Vin!" bisik Gita. Satu Jam kemudian, setelah selesai mengajar, Fahri hendak berjalan meninggalkan kelas, tapi Luvina mencegahnya dan menggenggam tangan Fahri, karena tak menyadarinya. Luvina menarik tangannya. "Maaf, Pak!" ujar Luvina. "Ada apa, Luv?" "Ada yang ingin saya bicarakan sama Bapak," ujar Luvina. "Baiklah." Di taman belakang kampus, Luvina dan Fahri duduk berdampingan, mengabaikan banyak pasang mata yang sedang melihat mereka. Apa yang salah? Fahri sudah mengatakan hal yang sebenarnya dan itu membuat Luvina mengakses bebas untuk bicara dengan Fahri. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Fahri. "Seharusnya, Bapak tak perlu mengatakan kalau saya adalah calon istri, Bapak. Soalnya tak akan nyaman, apa-apa saja tak akan nyaman, Pak. Apalagi untuk Bapak," tutur Luvina. "Terus mau kamu apa, menarik perkataanku? Sudah terlanjur." "Tapi, Pak--" "Sudahlah. Nikmatin saja, dan jika berdua kamu tak perlu memanggilku dengan sebutan Bapak. Panggil saja aku, Mas Fahri. Cobalah untuk berbicara secara informal, jika kamu formal seperti itu, membuatku merasa bersama mahasiswaku," tutur Fahri. Mas Fahri? Cukup membuat Luvina terkesan. "Mami menyuruhku membawamu ke rumah, malam ini," ujar Fahri. "Membawaku?" "Hm. Kamu kan calon menantu kesayangannya. Aku sampai tak bisa makan siang dengan ajakan ini," ujar Fahri berhasil membuat Luvina tertawa kecil "Bagaimana, jika makan siang denganku dulu?" tanya Fahri. "Baiklah, Pak--maksudku, kebetulan saya juga lapar," ujar Luvina. "Baiklah, ayoo." Di kantin Fahri dan Luvina lagi-lagi menjadi bahan tontonan oleh para fans fanatik Fahri. "Duh." Fahri menatap Luvina. "Duh?" "Mereka pada ngeliatin kita." Luvina jengah. "Aku kan sudah bilang untuk menjalani dan menikmatinya, kan?" "Iya sih, tapi mereka pada nggak ada kerjaan, ya? Kok tiap hari ngebuntutin kamu terus?" tanya Luvina kesal. "Yah, nasib orang tampan memang begini," kekeh Fahri, membuat Luvina tersenyum. Di menit kemudian, setelah makan siang, Fahri dan Luvina berjalan meninggalkan kantin. "Kamu masih ada mata kuliah?" tanya Fahri. "Udah nggak ada, sih." "Ya sudah, aku akan menjemputmu jam tujuh nanti." Luvina menganggukkan kepalanya dengan seulas senyum bahagia. "Aku ada mata kuliah lagi, jadi harus mengajar dulu. Dan ingat, berbicaralah informal denganku," ujar Fahri. "Baiklah, aku pulang dulu, ya?" "Hm, hati-hati di jalan," pesan Fahri. Luvina berjalan meninggalkan Fahri yang sedang menatap kepergiaannya. Fahri tersenyum simpul lalu menggeleng pelan. Ketika hendak berjalan, Ibu Zah menghadang jalan Fahri. "Ibu Zah? Ada apa, Bu?" tanya Fahri heran. "Biarkan saya menanyakan sesuatu kepada Pak Fahri" "Silahkan." "Apa benar Anda akan menikah dengan salah satu mahasiswa di kampus ini?" tanya Ibu Zah. "Iya, benar, apa ada masalah, Bu?" "Sejak kapan kalian berkencan?" "Kami dijodohkan" "Auhh. Syukurlah" "Tapi, tunggu, maksud Ibu apa, ya?" "Saya pikir Anda berkencan dengan salah satu mahasiswa di sini ketika Anda sudah mengajar di sini, Pak. Jadi maafkan saya." "Baiklah, Bu, tapi saya ada mata kuliah di ruangan sebelah." "Silahkan, Pak." Ibu Zah mempersilahkan Fahri untuk berjalan melewatinya. Ibu Zah mengelus dadanya. "Saya sudah mengira. Percuma saya dandan setiap hari seperti ini dan memakai pakaian seperti ini, jika Pak Fahri nikahnya sama orang lain," gumam Ibu Zah yang juga tergila-gila pada Fahri, tak bisa dipungkiri Fahri memang memiliki keturunan Jepang yang membuat ketampanannya semakin bersinar, mata yang sipit, kulit yang putih dan tipe ideal semua wanita menurut ukurannya. *** Banyak yang mereka lalui, setelah Fahri mengatakan di depan para mahasiswa, jika Luvina adalah calon istrinya. Setiap hari Luvina harus menghadapi makian para fans Fahri. Luvina tidak terlalu peduli, yang ada di kepalanya hanya secepatnya menyelesaikan tesis, sidang, dan ikut wisuda tahun ini. Bulan depan tepatnya! . Dia akan resmi mengambil gelar strata dua yang dijalani hampir dua tahun lamanya. Lika-Liku hidup yang kian mendekatkannya dengan Fahri. Hari ini dia menunggu, karena Fahri berjanji akan datang untuk memberikan ucapan selamat atas kelulusannya. Sudah ada sang mama, Aldo dan Prita yang hadir mendampinginya. Dia berharap Fahri juga ada di sana sebagai dosen, juga calon suami. "Kenapa, Nak?" tanya Mama Lussie, yang ternyata sejak tadi sudah melihat keresahannya. "Luvi nggak kenapa-napa, Ma." "Nunggu calon suaminya, Ma," sambung Prita menggoda. "Oh, Nak Fahri? Apa kamu sudah menghubunginya?" "Sudah, Ma. Katanya lagi di jalan." "Ya, sudah, tunggu saja kalau begitu." "Nggak sabaran banget sih, Dek," sambung Aldo. Di menit kemudian, Fahri sudah berada di depannya, memberi seikat bunga mawar putih. "Selamat atas gelarmu," ujar Fahri, membuatnya bersemangat. "Makasih, Mas." "Ayo foto bareng Fahri," ajak Aldo. "Tentu saja." Fahri berdiri di samping Luvina. Dia tersenyum, meskipun perasaan itu belum jelas. Mereka hanya mencoba bersikap layaknya seperti pasangan yang lain, seperti yang Mama Lussie dan Mami Rana harapkan. *** Ketika akhirnya sampai di rumah, Luvina duduk di ruang tamu dengan helaan napas. Benar-benar melelahkan. Dia mencoba mengatur napas dengan memejamkan mata, tetapi terpaksa membuka lagi matanya saat merasakan angin sepoi yang pelan menghampiri. Fahri ternyata mengipasinya dengan buku tipis. Luvina tersenyum simpul dan malu-malu. "Kamu terlalu berlebihan, Mas," katanya. "Nggak berlebihan lah," balas Fahri. Luvina merasa tersanjung dengan perlakuan lembut dan manis Fahri. Inilah yang setiap hari membuatnya nyaman berada di dekat calon suaminya itu. "Apa yang ingin kamu lakukan selanjutnya?" tanya Fahri, membuatnya sedikit bingung. "Aku belum memikirkannya, nanti saja." "Setelah menikah, mau ikut denganku ke New York?" "Ke New York?" "Tapi--" "Kita bisa bicarakan baik-baik ke mama kamu," bujuk Fahri. "Baiklah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN