Malam sudah semakin larut. Tetapi, Arga masih belum bisa memejamkan matanya. Dia masih memikirkan apa yang terjadi antara Tata dan sahabatnya Hamdi. Dia mencoba menghiraukan hal itu dan kembali mencoba menutup mata. Namun sedetik kemudian matanya kembali terbuka lebar. Jawaban Hamdi tadi siang semakin mengganggu pikirannya.
“Aku dan dia sepertinya sudah ditakdirkan untuk bertemu.”
Jawaban Hamdi itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Arga mendesah pendek sambil menutupi matanya dengan pergelangan tangan. Tidak lama kemudian dia menggeser badannya ke pinggir ranjang untuk mengintip Tata yang tidur di bawah sana. Ternyata Tata juga belum tertidur. Dia menerawang menatap langit-langit kamar sambil sesekali mengulum senyum.
Tata juga tengah memikirkan sosok Hamdi. Dia kembali terbayang saat pertama kali bertemu Hamdi saat hujan di sore itu. Senyumnya yang hangat, tatapan matanya yang teduh, tutur katanya yang lemah lembut, Tata teringat itu semua. Sepertinya sosok Hamdi kini memenuhi semua ruang hati dan pikirannya. Tata tersipu malu mengingat saat Hamdi memasangkan gelangnya. Tata terus tersenyum sampai akhirnya dia sadar bahwa Arga sedang menatapnya sambil bertopang dagu di atas sana.
Senyum di wajah Tata langsung surut. Dia hanya menatap sekilas lalu berbalik memunggungi Arga. Tiba-tiba saja hatinya yang tadi terasa berbunga-bunga kembali tandus. Tata mendengus kesal sambil memejamkan matanya. Sementara Arga pun menarik badannya ke tempatnya semula. Dia tertegun menatap langit-langit kamar dengan perasaan bimbang.
“Bagaimana kamu bisa kenal sama dia?” Arga tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak bertanya.
Tata kembali membuka mata mendengar pertanyaan itu. Tata perlahan berbalik dan juga menatap langit-langit kamar yang hampa. Tarikan suara napasnya terdengar berat. Tata tidak tahu harus mulai dari mana untuk bercerita. Sementara Arga masih menunggu dengan sejuta tanya di benaknya.
“Udahlah lupain aja,” ucap Arga kemudian.
“Aku ketemu sama dia di sore itu,” jawab Tata.
Arga kembali melongokkan wajahnya setelah mendengar jawaban itu. Tata pun mulai menceritakan semuanya dari awal. Arga mendengarkan cerita Tata dengan seksama dan sesekali mengangguk pelan. Memang selalu ada hari langka seperti saat ini. Hari di mana keduanya bisa saling bercerita. Saat dimana mereka menepi sejenak dari kebencian yang menyesakkan d**a.
“Jadi dia yang beliin baju tidur kekanak-kanakkan itu?” tanya Arga.
“Iya,” jawab Tata.
“Dasar konyol.” raut wajah Arga kembali beringas.
Tata menghela napas. Dia mengerti bahwa sudah saatnya untuk berhenti. Perubahan sikap yang tiba-tiba itu sudah menjadi kode bagi Tata untuk membaca situasi. Inilah batasnya, inilah limitnya untuk berbincang dengan sosok Arga yang ‘baik’ di hari ini.
“Udah ah, aku mau tidur. Mana punggung aku terasa sakit lagi,” keluh Tata.
Tata segera menyembunyikan wajahnya di balik selimut. Sementara Arga masih mencerna kalimat Tata barusan.
“Hei!” Arga kembali memanggil Tata.
Tata tidak menjawab dan berpura-pura sudah tidur. Arga terus mencoba membangunkannya. Sampai akhirnya dia membangunkan Tata dengan kakinya. Terpancing emosi, akhirnya Tata bangun dan membuka selimutnya kembali.
“Apa lagi sih, Ga?” tanya Tata dengan ketus.
“Tidur di atas sana!” ucap Arga sambil meringsek menggeser Tata.
“Apa-apaan sih?” tata menatap Heran lalu bangun dari tempatnya.
“Kasurnya nggak enak,” ucap Arga sambil memejamkan matanya.
***
Sudah tiga hari berlalu, namun kehebohan perihal Hamdi masih belum juga mereda. Seluruh kampus masih saja membicarakan sosok kontroversial itu. Drama baru yang terjadi hari ini adalah ketika Hamdi tiba-tiba saja memanggil Helena untuk berbicara berdua. Tindakan Hamdi itu lagi-lagi memancing para biang gosip untuk menyebarkan berbagai opininya.
“Mereka ngomongin apaan sih?” tanya windi.
Tata mengangkat bahunya.
“Kita bisa telat nonton filmnya,” keluh Windi.
“Kamu kenapa sih, Win? Apa jangan-jangan kamu cemburu?” Tata mencoba menggoda Windi.
“Apaan sih, Ta,” wajah Windi langsung memerah mendengar pertanyaan itu.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya mereka melihat Helena yang datang dengan wajah serius. Dia melangkah gusar dan langsung menatap ke arah Tata dengan tajam. Setelah itu Helena berkeliling melihat setiap sisi tubuh Tata. Tentu saja aksinya itu membuat Tata dan Windi menjadi kebingungan.
“Ngapain sih, Len?” tanya Windi.
“Jadi di mana?” tanya Helena pada Tata
Tata menatap bingung. “Di mana apanya?”
“Jujur deh, kamu masang susuk di mana?” Helena masih sibuk mencari.
Pertanyaan itu sontak membuat Windi dan Tata saling pandang lalu tertawa keras.
“Kamu apa-apaan sih, Len,” ucap Tata sambil menyeka matanya yang berair menahan tawa.
“Dasar dungu! eh tapi bener sih, Tata barusan aja make 3 susuk sekaligus. Sate susuk, pentol susuk sama bakso susuk.” Windi menimpali sambil tertawa.
“Udah, ah! Aku bete,” ucap Helena.
“Emangnya kenapa?” tanya Windi.
“Tau nggak apa alasan si Hamdi itu mau ngomong sama aku?”
“Apa emangnya?” tanya Windi.
“Dia mau minta nomor handphone-nya cecunguk ini,” jawab Helena sambil mencubit kedua pipi Tata.
“Beneran Len?” Windi kembali bereaksi berlebihan.
“Wah, Ta, sekarang aku juga curiga sama kamu. Jujur deh, kamu masang susuk di mana?” kali ini Windi ikut menginterogasi Tata.
“Kalian apa-apaan sih,” ucap Tata.
“Sekarang aku ngerti, kalo cinta itu bener-bener buta,” ucap Helena dengan ekspresi sok bijak.
“Kenapa?” tanya Windi.
“Buktinya pria sekece Hamdi tertariknya sama cewek cupu seperti Tata,” jawab Helena.
“the another story of Cinderella begins,” komentar Windi.
“Handsome and the beast,” sambung Helena.
“Jaka Tarub dan Dayang Sumbi,” tambah Windi.
“Itu beda dodol!” Helena langsung memukul kepala Windi dengan tinjunya.
“Udah ah, ayuk kita pergi nonton!” Tata langsung menghentikan aksi keduanya.
Tata segera merangkul mereka berdua lalu menyeretnya pergi. Sembari melangkah Helena dan Windi tidak henti-henti menggoda Tata. Gelak tawa mereka terdengar nyaring. Sungguh sebuah persahabatan yang hangat di pandang mata.
***
Tata tidak berkonsentrasi menatap layar bioskop di depannya. Dia terus gelisah menatap layar handphonenya. Tata melirik ke arah Helena dan Windi lalu tersenyum. Keduanya kini sudah bersimbah air mata. Pemandangan itu terlihat begitu menggelitik. Keduanya menangis sesegukan dengan mulut penuh berisi popcorn. Ketika sedang asyik menonton kelucuan itu, tiba-tiba ada sebuah pesan masuk ke w******p Tata
Hey...
Mata Tata membelalak membaca pesan itu. Dia segera melihat foto profil pengirim pesan itu dan dugaannya benar, itu adalah Hamdi. Tata langsung berdiri saking kagetnya. Setelah sadar semua mata penonton kini melihat padanya, Tata pun kembali duduk dengan perlahan. Tata kemudian mulai mengetik pesan balasan. Namun kemudian dia menghapusnya kembali.
Aku Hamdi...
Maaf sebelumnya karena aku meminta kontak kamu melalui Helena. Aku pikir kamu pasti nggak nyaman kalau aku memintanya secara langsung. Kamu nggak marah, kan?
Nggak apa-apa kok.
Kamu tipikal pendiam, ya Ta?
Nggak kok.
Aku boleh ngomong sesuatu sama kamu?
Apa?
Aku nggak tau apa yang terjadi sama kamu. Tapi, aku harap kamu jangan menangis sendirian lagi. Kamu bisa menelepon aku jika butuh seseorang untuk bercerita...
Tata tertegun membaca pesan itu. Senyumnya yang tadi merekah seketika surut. Bagaimana bisa Hamdi berkata seperti itu? Kenapa dia bersikap seperti sudah mengenal Tata sejak lama. Tata membaca pesan itu berulang-ulang dengan tanda tanya besar di hatinya.
***