BAB 2 - Bahagia?

1468 Kata
Mereka yang saling menyukai dan ditakdirkan bersama tentu akan bahagia. Mereka yang saling menyukai namun ditakdirkan berpisah pasti akan terluka. Lantas bagaimana dengan mereka yang saling membenci tapi ditakdirkan untuk bersama?   Tata meregangkan kedua tangannya ke atas dengan wajah mengerut. Sesekali matanya terbuka pelan lalu menutup lagi. Helaan napasnya terdengar berat. Kedua kelopak matanya masih belum terbuka dengan sempurna. Tubuhnya bagai terpaku di tempat tidur. Sesaat kemudian  Tata melirik pada jam dinding. Matanya menatap sayu ke arah jarum jam dan dia kembali membenamkan wajahnya kebantal. “Hah...!”  tiba-tiba wajah Tata terangkat dengan mata terbuka lebar. “Ya ampun udah jam setengah delapan!” pekiknya. Tata langsung menghambur masuk ke kamar mandi. Suara air berdesis nyaring. Tidak lama setelah itu Tata keluar sambil membetulkan posisi handuknya. Tetesan air mengiringi langkah kakinya. Dia baru saja menyelesaikan prosesi mandi secara kilat. Begitu menatap ke arah cermin, Tata terdiam. Dia mendesah lemah melihat rambutnya yang masih dipenuhi busa sampo yang belum dibilas. Dengan langkah kesal Tata pun kembali masuk ke kamar mandi.  “Kenapa kamu telat bangunnya, Ta?” mama Arga segera mengambilkan sebuah piring untuk Tata. “Oh, nggak kok Ma. Tadi aku nyempetin buat bikin tugas kuliah dulu begitu bangun,” jawab Tata.  “Mata kamu terlihat bengkak, kamu begadang semalam?” Papa Arga ikut berkomentar. Tata menjadi salah tingkah. Sudah jelas bahwa matanya bengkak karena menangis semalaman. Tata mendadak gagap dan tidak kunjung menjawab pertanyaan itu. Dia beralih menatap Arga. Namun, Arga hanya cuek dan terus menyuap makanannya.  “I-iya Pa, semalam aku juga begadang ngerjain tugas,” jawab Tata kemudian.  “Emangnya tugas kuliah kamu sebanyak itu ya? Harusnya kamu bisa minta bantuan Arga. Toh, kalian juga sejurusan. Harusnya bisa saling bantu,” ujar sang mama.  “Tugas kuliah itu bersifat individual Ma,” jawab Tata. “Kalian itu kaku sekali. Okelah kalau di kampus kalian berdua berstatus mahasiswa, tetapi di rumah kalian itu berstatus suami istri.” papa tertawa kecil sambil menatap Arga dan Tata bergantian. Tata hanya tersenyum tipis lalu menyuap sarapannya. Sesekali dia melirik Arga yang sibuk dengan handphone-nya. Tata hanya bisa menahan semua yang dia rasakan. Semua upayanya untuk melunakkan hati Arga tidak membuahkan hasil. Segala usahanya untuk mengambil perhatian pria itu hanya berakhir kecewa. Seluruh bentuk tindakannya hanya di pandang sebelah mata.  “Oh iya, bagaimana tanggapan teman-teman kampus kalian begitu tahu kalian sudah menikah?”  Pertanyaan mama Arga membuat Tata tersedak. Dia segera meminum segelas air sambil memukul-mukul dadanya pelan. Sudut matanya melirik Arga seakan meminta bantuannya. Dengan raut wajah kesal, Arga pun meletakkan handphone-nya dan beralih menatap sang mama. “Biasa aja Ma,” jawabnya singkat.  Alis sang mama bertaut. “Biasanya kalau ada pasangan yang menikah di kampus itu bakalan jadi berita heboh lho.”  “Cuma sehari dua hari kok, Ma. Habis itu semua kembali seperti biasa.” Tata menjawab dengan suara yang masih parau karena tersedak.  Arga meneguk segelas air kemudian bangkit dari duduknya. “Ayo berangkat! udah telat nih.” Tata langsung bergegas menyuap sarapannya yang masih tersisa. Setelah itu dia segera mengejar Arga dengan kedua pipi mengembung berisi makanan. Tata memasang sepatunya sambil terus melangkah. Sementara itu, di depan sana Arga sudah membunyikan klaksonnya berulang-ulang.  “Hati-hati di jalan!” teriak sang mama dari dalam rumah.  “Sepertinya mereka berdua masih canggung ya, Ma?” tanya papa setelah mobil Arga melaju pergi.  “Namanya juga masih dalam suasana pengantin baru, Pa.” “Waktu kecil dulu mereka sering bertengkar. Tapi, siapa sangka sekarang mereka menikah.” Papa tertawa pelan. *** Mobil terus melaju menembus jalanan yang lumayan sepi. Rentetan suara klakson yang ditekan Arga terdengar bersahutan. Sepanjang perjalanan Tata hanya bisa memegang erat sabuk pengamannya. Sesekali dia juga memejamkan mata karena takut. Arga terus saja memacu mobilnya dengan sangat kencang. Suara musik yang diputar keras juga membuat jantung Tata ikut menggema.  Tata mencoba untuk tetap tenang. Tapi, lama kelamaan kesabarannya pun habis. Tata mengecilkan volume musik itu dengan gusar. Arga pun menatap tajam dan menaikkan volume itu lebih keras dari sebelumnya. Tak mau kalah, Tata mengecilkan volume musik itu kembali. “Kamu apa-apaan sih, Ga!” Tata berteriak gusar karena Arga tiba-tiba saja menginjak rem secara mendadak. Arga tidak menjawab dan hanya menatapnya tajam. Dia kembali menginjak pedal gas dan menepikan mobilnya. “Jadi semalam kamu ke mana?” tanya Arga. “Aku pergi sama Helena,” jawab Tata.  “Ke diskotik?” Napas Tata langsung tertahan di tenggorokan. “B-bagaimana kamu bisa tahu?”  Arga tersenyum, lalu menyulut sebatang rokok dengan wajah sedikit miring. Tata pun masih menunggu jawabannya dengan gelisah. Setelah satu hisapan yang panjang, Arga pun menatap Tata sambil mengembuskan asap rokoknya.  “Turun sana!” “A-apa?” Tata masih belum yakin dengan pendengarannya. Arga mendelik. “Turun...!”  “T-tapi Ga—” “Aku bilang turun... SEKARANG!”  Hardikan itu membuat Tata terdiam. Dia tidak berani lagi berucap. Sementara Arga masih menatapnya dingin dengan rahang yang mengatup kuat. Arga mengibaskan tangannya mengisyaratkan agar Tata segera turun. Sambil menghela napas panjang, Tata pun langsung keluar. Dia membanting pintu mobil itu dengan kesal. Secepat itu juga Arga langsung memacu mobilnya dan meninggalkan Tata. “Dasar manusia nggak punya hati,” umpat Tata. Dia menatap mobil Arga dengan bola mata yang memerah. Tata merasa semua ini tidak adil baginya. Dia tidak pernah mempermasalahkan saat Arga pulang terlambat atau bahkan tidak pulang sama sekali. Dia juga mengikuti keinginan Arga untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Tetapi, kenapa sekarang dia malah bersikap seperti itu?  Tata melangkah gontai sambil menunggu angkot yang lewat. Tapi kemudian, dia menyadari ada sesuatu yang hilang. Tata segera merogoh semua kantong celana levisnya, dia juga memeriksa isi tasnya. Raut wajahnya pun berubah panik. Tata memijit-mijit keningnya untuk mengingat.  “Pasti ketinggalan di mobil,” bisiknya lirih. Tubuh Tata melemas. Bagaimana bisa dia pergi ke kampus tanpa dompetnya? Dia melangkah gontai sambil menyeret tasnya yang dibiarkan menyentuh jalanan. Pagi ini sudah terasa begitu melelahkan bagi perempuan bertubuh mungil itu. Hangatnya matahari pagi tidak mampu menghangatkan hatinya yang redup. Semua terasa menjemukan. Tata terus melangkah dengan tatapan kosong. Hingga kemudian, dia dikejutkan karena suara dering handphone-nya. Seulas senyum terbit di wajah Tata begitu melihat nama yang tertera di layar. Dia pun langsung menjawab panggilan itu “Halo... Ibuk! Ada apa, Buk, pagi-pagi sudah nelpon?”  “Ibuk cuma pengen denger suara kamu,” jawab sang ibu di seberang sana. Seketika pandangan Tata memburam mendengar perkataan ibunya itu. Dia langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan untuk meredam suara yang mungkin tidak ingin didengar ibunya.   “Ibuk pasti kangen ya, sama aku?” tanya Tata setelah cukup lama terdiam.  “Orang tua mana yang nggak kangen sama anaknya,” jawab sang ibu.  “Apa Ibuk nggak apa-apa sendirian di rumah?” tanya Tata lagi. “Kamu nggak usah khawatirin Ibuk.”  “Hmm ... Ibuk kalau ada apa-apa langsung kabarin aku ya! nanti kalau aku udah wisuda dan dapat kerja, aku bakalan bawa Ibuk ke sini,” ucap Tata. “Woalaah, kamu ngapain bawa Ibuk ke sana? Ibuk itu lebih senang di sini. Tiap hari bisa melihat pepohonan yang hijau, udaranya segar, tetangganya juga ramah-ramah,” jawab sang ibu.  “Tapi Buk—” “Udah ...! Kamu itu sekarang sudah memiliki kehidupan sendiri. Kamu itu sudah menikah. Kamu nggak perlu khawatirin Ibuk. Mereka baik kan, sama kamu?” “I-iya Buk, Pak Setyo sama Bu Mala baik kok sama aku,” jawab Tata. “Arga ...?”  Tata terdiam sejenak. Dia menggigit bibir dan meremas handphone itu lebih erat. Tata berusaha menahan perasaannya yang bergejolak. Ingin rasanya dia mengadukan semuanya. Ingin rasanya dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi, Tata sadar bahwa semua itu hanya akan membuat ibunya terluka. “Arga tentu aja baik sama aku Buk ... dia itu perhatian dan selalu ngejagain aku. Pokoknya aku bener-bener bahagia sama dia. Ibuk nggak usah khawatir tentang hal itu.”   “Syukurlah Nak ... Ibuk selalu berdoa semoga kamu selalu bahagia sama Arga. Ibuk bahagia sekali melihat kalian menikah. Bahkan jika sekarang ini Tuhan mengambil nyawa Ibuk ... Ibuk sudah ikhlas. Ibuk bisa pergi dengan tenang, karena sudah ada sosok Arga yang akan menjaga kamu.” “Ibuk nggak boleh ngomong seperti itu,” sanggah Tata.  “Iya-iya ... ya sudah, kamu kuliah kan, hari ini?”  “Iya Buk, ini aku mau masuk ke kelas.” “Ya sudah, Ibuk tutup teleponnya ya.” “Iya...” Panggilan telepon itu sudah terputus, namun Tata masih membeku di tempatnya. Handphone itu masih dipeluknya erat di d**a. Perlahan bahunya bergetar menahan tangis. Tak lama kemudian suara isak itu mulai terdengar. Runtuh sudah pertahanan Tata. Dia menangis dengan mata yang kini terpejam menatap langit. Tata terus menangis dan tidak sadar bahwa ada seseorang yang kini berdiri di belakangnya.  Sosok itu juga terpekur di tempatnya. Dia terdiam menatap Tata, dengan sebuah dompet berwarna merah jambu di tangannya.  ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN