BAB 8 - Pesta

1014 Kata
Tata dan Arga sibuk membantu papa dan mama memasukkan barang ke dalam bagasi mobil. Arga yang masih mengantuk sesekali menguap lebar. Rambutnya terlihat kusut. Sisa air liur mengering di samping bibirnya. Tata sempat tertawa melihat wajah Arga. Namun sedetik kemudian tawa itu hilang setelah Arga membelalakkan matanya. “Jadi hari ini Mama sama Papa bakalan pergi ke rumah Tante kamu ... dan sepertinya kami akan menginap di sana,” ucap mama Arga sambil merapikan pakaiannya. “Kalian nggak apa-apa kan, tinggal berdua di rumah?” tanya sang papa. Tata dan Arga saling pandang lalu tersenyum canggung. “Justru itu bagus buat mereka, Pa.” mama mengedipkan matanya pada Tata dan Arga.  “Ya sudah, kami berangkat dulu ya,” ucap mama. “Iya, Ma, hati-hati di jalan.” Tata melambaikan tangannya pelan.  Selepas kedua orang tuanya pergi, Arga langsung bergegas mengambil kunci mobil dan juga segera pergi keluar rumah. Kini tinggallah Tata sendirian di rumah yang cukup besar itu. Untuk mengusir rasa bosan, Tata mulai membereskan rumah. Dia sibuk menyapu lantai, menyeka debu, dan juga menata ulang letak perabotan yang menurutnya belum pas. Setelah itu Tata beralih pada sebuah lemari khusus yang berisi piala serta piagam penghargaan milik Arga. “Hebat juga dia ternyata.” Tata memuji sambil mencibir.  Tata menatap deretan piala itu. Rata-rata tropi kemenangan itu berasal dari bidang kepenulisan dan juga bidang olah raga. Tata mengernyitkan dahinya, seingatnya dia tidak pernah melihat Arga memegang sebuah buku ataupun berolah raga. Bukankah memenangkan lomba menulis menandakan bahwa dia juga rajin membaca? Tata iseng mengeluarkan sebuah piala yang terletak  di paling sudut. Anehnya piala itu paling berdebu di banding dengan yang lainnya. Debu tebal yang melekat itu bahkan langsung membuat jemari Tata menghitam. Ketika meraba bagian dalam piala yang berbentuk mangkuk itu, Tata menemukan selembar foto yang sudah usang.  “Siapa ini?” Tata berbisik pelan. Terlihat potret Arga dengan seorang gadis yang mengenakan kostum olah raga senada dengannya. Keduanya tersenyum lebar sambil mengangkat medali mereka masing-masing. Tata tidak mengenal siapa gadis itu. Namun yang jelas, potret Arga di foto itu benar-benar terlihat sangat bahagia.  “Apa gadis ini pacarnya?” bisik Tata lagi.  ***  Waktu beranjak siang. Tata sudah kelelahan karena membersihkan setiap sudut rumah. Dia merebahkan tubuhnya di sofa untuk beristirahat sejenak. Tata menyalakan televisi, mencari channel yang dianggap menarik, lalu mulai fokus menatap layar kaca. Lama kelamaan matanya semakin sayu. Sesekali mata itu menutup lalu terbuka lagi. Hingga akhirnya remote TV yang berada di genggamannya lengser ke lantai. Tata pun terlelap dengan wajah letih dan suara dengkuran yang terdengar keras.  “Hey bangun!” Arga mendorong bahu Tata dengan jari telunjuknya.  “Bangun woi! Bangun!” Arga bersuara lebih keras.  “Eh, iya ada apa?” Tata terbangun sambil menyeka sisa air liurnya. “Temen-temen aku bakalan datang malam ini,” ucap Arga. “Terus hubungannya sama aku?” tanya Tata. “Kamu mau dikunci di kamar atau pergi keluar?” Arga menatapnya santai. Tata berpikir sebentar sambil mengucek matanya.  “Ya udah nanti aku pergi ke rumah Helena aja.” Tata kembali merebahkan tubuhnya. “Ngapain tidur lagi, ayo pergi sekarang!” bentak Arga. “Sekarang kan, masih siang,” dengus Tata.  “Liat jam sana.” tunjuk Arga kesal. Tata menajamkan matanya melihat jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 sore. Tata terkejut dan segera membuka tirai jendela. Benar saja, langit di luar sana sudah mulai menghitam. Tata segera bangun dan menatap Arga sambil tersenyum kecut. “Cepetan pergi! Sebentar lagi mereka semua nyampe!” teriak Arga lagi. *** Tata mengusap-ngusap lengannya sendiri untuk mengusir hawa dingin yang menyerang. Dia baru saja sampai di rumah Helena. Namun ternyata Helena sedang tidak ada di rumah. Menurut keterangan tetangganya, Helena sedang pergi merayakan pesta ulang tahun salah seorang temannya.  Tata menghela napas dengan lesu. Padahal dia sudah jauh-jauh berjalan kaki ke rumah Helena. Raut kecewa jelas tergambar di wajahnya. Tata kembali melangkah menembus pekatnya malam. Dia menatap langit malam ini yang terlihat kosong tanpa bintang maupun bulan.    Tata tersenyum kecut. Dia merasa sangat bodoh saat ini. Kenapa dia harus mengalah demi Arga? Kenapa dia meski takut jika status hubungan mereka di ketahui oleh teman-teman Arga? Toh, mereka melakukan pernikahan secara baik dan dengan kondisi yang baik-baik pula.  Langkah Tata berhenti di sebuah halte untuk beristirahat sebentar. Setelah itu dia mulai mengotak atik handphonenya dengan seulas senyum yang mengembang. Tata teringat pada Windi dan langsung mencoba menghubunginya. Namun senyum itu perlahan kembali surut. Nomor telepon Windi ternyata juga tidak bisa di hubungi. Tata menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan. Dia benar-benar bingung harus pergi ke mana sekarang. Dia tidak mempunyai teman selain Helena dan Windi. Dia juga tidak tahu tempat-tempat nongkrong yang bisa di tuju. Tata menggerutu sambil menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Wajahnya begitu kuyu. Namun kemudian dia langsung berdiri dengan keduan tangan mengepal. “Aku akan pulang ke rumah,” ucapnya mantap. ***  Tata melongo kaget begitu sampai di depan rumah Arga. Terlihat deretan mobil-mobil mewah berjejer rapi di halaman. Suara dentuman musik juga terdengar keras. Riuh sorak-sorai dari dalam sana terdengar heboh. Beberapa orang tampak berdiri di depan rumah dengan segelas bir di tangan mereka.  Tata menelan ludah. Keberaniannya menciut sudah. Dia tidak mungkin tiba-tiba masuk ke sana dengan keadaan seperti itu. Tata melirik pakaian yang kini dikenakannya. Setelan celana training dengan baju kaos yang kebesaran itu tentu akan langsung menarik perhatian semua orang. Tata kembali balik badan. Dia melangkah gontai keluar dari pekarangan rumah Arga. Ketika sampai di persimpangan jalan, Tata melihat sebuah mobil melaju menuju rumah Arga. Namun tidak berapa lama setelah berpapasan, mobil itu mendadak berhenti. “Kenapa dia berhenti?” tanya Tata. Mobil itu perlahan kembali mundur. Tata langsung membelalak kaget dan mempercepat langkahnya. Entah kenapa dia langsung parno dan dilanda rasa cemas. Tata jadi teringat adegan-adegan penculikan yang sering dilihatnya di televisi.  Tiit... Tiit...  Kali ini mobil itu mengklaksonnya pelan. Langkah Tata terhenti dengan jantung yang terpompa kuat. Perlahan kaca jendela itu mulai terbuka. Tata berusaha mengatur napas. Sesaat setelah itu dia memberanikan diri untuk menoleh dengan pelan. Tata tersentak kaget, jemarinya terangkat menunjuk sosok yang kini tersenyum padanya itu. “Hamdi ...!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN