1. Tumpukan baju
Laras menjerit saat memilah tumpukan pakaian yang ia taruh di samping ranjang kamarnya, serangga yang amat ia takuti bersemayam di sana.
"Kenapa ada kecoa disini sih." Laras menggerutu, menatap kemeja warna merah kesayangannya dengan malang. Kemeja itu nampak kusut, butuh disetrika dan di cuci karena Laras yang hanya menyimpannya begitu saja di lantai.
Perempuan tersebut amat sangat kelewat santai dengan hidupnya. Padahal ini adalah kali pertama ia masuk kerja, setelah melalui interview yang berhasil di terima. Bersyukurnya Laras dapat bekerja di perusahaan Candra group, perusahaan yang sangat terkemuka di kota tempatnya tinggal. Laras jelas membusungkan dadanya saat nanti para sepupu menanyakan status pekerjaannya.
Bagaimana Laras tak boleh sombong, walau hanya menjadi sekretaris di perusahaan tersebut tak ayal membuatnya senang dan bangga. Setidaknya ia bisa memiliki uang sendiri dan menabung untuk membeli tanah dan pamer kepada para sepupu yang selalu menyombongkan diri saat Laras hanya menjadi pelayan di toko.
Laras selesai memakai pakaiannya, walau sedikit kusut tak membuat penampilannya justru aneh. Laras adalah tipikal orang yang memakai baju apapun tetap cocok, lagi-lagi Laras harus bersyukur untuk itu. Setelahnya ia mencoba memoleskan bedak agar tak terlihat kusam, dan lipstik berwarna merah muda di bibirnya yang mungil. Merasa cukup, Laras meninggalkan alat-alat kecantikan tersebut di meja rias yang nampak berantakan.
Sebelum berangkat, mata hitam itu mengamati keadaan kamarnya yang cukup....memprihatinkan. Dimana seprai yang berantakan, selimut yang tak di lipat dan bantal yang kemana-mana belum lagi lantai yang penuh dengan pakaian kotor miliknya. Laras mendesah sebentar, lalu berlenggang meninggalkan kamar kosnya. Kakinya melangkah menuju motor matic hasil jerih payahnya, walau sedikit kotor dan berdebu karena tak pernah di cuci Laras tetap percaya diri menaikinya. Tak adapun niat untuk sekedar memanaskan mesin motor yang selalu menemaninya berjalan, perempuan itu langsung mengendarainya dan meninggalkan kosan tempat ia tinggali.
Jalanan seperti biasanya, ramai dan bising namun Laras tetap santai karena sudah menjadi makanan sehari-hari. Melewati rambu lalu lintas dengan tertib, Laras lalu melajukan motornya kembali. Namun sebelum motor itu sampai ke gedung yang menjulang di depannya, Laras melipir ke warung depan tempatnya bekerja. Pagi ini, ia berencana sarapan nasi goreng.
"Mas nasi gorengnya satu porsi ya?"
"Di makan di sini mbak?"
Laras mengangguk, "Ya, banyakin dikit porsinya mas."
Penjual tersebut mengangguk siap, lalu bersiap diri untuk membuatkan nasi goreng pesanan Laras. Sembari menunggu, Laras memperhatikan keadaan sekitar, ini adalah kali pertama ia makan di tempat kerja pertamanya. Laras berharap ia akan krasan bekerja di tempat itu.
Nasi goreng sudah dihidangkan, Laras tersenyum sumringah saat aroma nikmat memasuki Indra penciuman. Tak sabar tangannya, mengambil sendok dan menyuapkan nasi goreng yang masih mengepul di mulutnya. Lidah dan mulut Laras tahan panas, jadi tak perlu waktu lama untuk menunggu nasi itu dingin lagi pula ia hanya mempunyai waktu sepuluh menit untuk menghabiskan nasi itu sebelum berangkat ke kantor tempat ia kerja pertama kalinya.
Seperti biasa, nasi goreng khas Indonesia yang selalu membuat lidah Laras dimanjakan. Perempuan itu selalu menyukai nasi goreng, menurutnya makanan itu selain mudah juga mengenyangkan. Laras telah menandaskan nasi yang dipesan, setelah selesai membayar ia bergegas mengendarai motornya kembali. Sampailah motor maticnya di halaman gedung yang menjulang tinggi tersebut. Laras bahkan sempat menganga melihatnya. Ia turun dari motor, sebelum berjalan mencoba menyemangati diri sendiri, menghela napas dan melangkah pergi.
Ia melirik jam di pergelangan tangan, waktu yang tersisa lima menit. Akal Laras mengintrupsi untuk ia berlari matanya terus fokus ke jam tangan walau sesekali melihat jalan.
Bruk..
"Aduuuhh.." Laras terjatuh, bokongnya terasa nyeri susah payah Laras menyetabilkan posisi. Sampai telinganya mendengar teguran dari seorang pria
"Kamu punya mata gak sih?" Gerutu pria di depannya, Laras terdiam dalam hati ia menanyakan mungkin laki-laki di depannya buta tak melihat kedua telinga yang terpasang dengan rapi di kepalanya.
"Punya, maaf aku gak sengaja." Laras memilih mengalah, karena ia tak sempat berdebat
"Enak aja kamu bilang maaf, saya gak terima karena kamu jas saya jadi kotor."
Laras melirik jas hitam yang ditenteng pria itu, memang sedikit kotor sih tapi hanya seberapa, di usap sedikit saja kotoran itu sudah menghilang.
Bola mata itu berputar, "Maaf ya mas, sini saya bersihin lagian itu cuman dikit doang."
"Dikit darimana ini kotor banget, saya gak mau tau kamu harus ganti rugi atau paling tidak bikin jas saya bersih kembali." Oceh pria di depannya, Laras melotot sempurna sepertinya pria itu memang ingin mencari masalah dengannya. Laras tak peduli lagi dengan waktu yang perlahan menipis, ia sudah gatal ingin meladeni laki-laki sinting dihadapannya.
"Mas kalau gak punya duit itu bilang, jangan kayak gitu lagian bukan cuman aku yang salah, mas juga jalan gak lihat-lihat." Laras berkacak pinggang, menantang pria itu.
"Jangan sembarangan kamu ya, kalau kamu gak bisa ganti paling tidak saya meminta jaminan kartu KTP kamu sampai kamu bisa memberi ganti rugi."
Kini Laras menganga hebat, ia tak percaya di jaman sekarang ini masih ada orang seperti itu. Kalau dilihat dari penampilan pria tersebut cukup kaya dan modis, kenapa harus memalak Laras secara tragis sih?. Laras bergidik ngeri, karena tak ingin semakin panjang ia akhirnya merogoh KTP di tas selempangnya. Walau segan hati, tangan itu tetap menyodorkan kartu tanda penduduk miliknya yang diterima lelaki tersebut dengan senang hati.
"Ingat ya, kalau kamu tidak bisa ganti rugi KTP ini akan saya gunakan untuk hal yang mengerikan." Ancamnya
"Apa-apaan, pasti aku ganti." Jawab Laras, lalu memilih pergi. Ia melihat lagi jam di pergelangan, mendesah lelah kini ia sudah sangat terlambat. Dengan sedikit berlari perempuan itu masuk kedalam lift dan menekan tombol di mana lantai yang harus ia tuju.
Laras sampai di ruangan HRD, mengetuk pintu kayu sampai seseorang dari dalam mempersilahkannya masuk. Ia mendorong pintu tersebut, nampak seorang pria yang masih muda dengan rambut klimis dan pakaian rapi tengah duduk di kursi tahtanya.
"Maaf pak aku terlambat." Laras membungkuk sedikit, lelaki tersebut mengangguk mengerti lalu mempersilahkan Laras duduk di kursi
"Saya bisa memaklumi itu, mungkin kamu masih belum terbiasa tapi lain kali jangan seperti ini."
"Baik pak." Sahut Laras
"Ruangan kamu berada di lantai sepuluh ya, di sana juga ruangan pak Candra. Saya harap kamu jangan ceroboh, karena pak Candra adalah pria yang perfeksionis."
Laras menelan ludahnya, mendengar kalimat 'perfeksionis' membuatnya pucat pasi. Jelas itu semua berbanding terbalik dengan dirinya yang justru menggampangkan sesuatu.
"Baik pak." Tetapi Laras tetap mengangguk sopan, lalu berpamit untuk mencari ruangannya. Lagi-lagi ia harus berlari kecil di lorong-lorong, sampai-sampai beberapa pegawai mengamatinya dengan keheranan.
Melewati beberapa lift sampailah Laras di depan ruangan bos barunya. Bisa saja ia langsung memasuki ruangan yang nampak sepi dan tertutup tapi resikonya mungkin besok Laras harus siap menjadi pelayan toko kembali. Alhasil ia memilih duduk di kursi yang ada disana, dari pengamatan sepertinya kursi dan meja itu adalah tempatnya bekerja nanti. Laras mengamati kursi yang nampak unik dengan meja yang klasik menambah kenyamanan Laras bekerja disini. Semoga saja di hari pertamanya bekerja ia merasa kerasan dan memiliki banyak rekan.
Cukup sepuluh menit Laras menunggu, ruangan masih nampak sepi tak ada tanda-tanda sang pemilik akan muncul. Bahkan Laras sempat khawatir kalau ia salah ruangan, tetapi nama yang terukir indah di pintu kayu tersebut membuatnya yakin bahwa ia tak salah alamat.
Seharusnya pak Candra yang datang, tetapi seorang pria yang membuat Laras harus mengeluh. Ya, itu adalah pria yang ia temui di parkiran tadi, kenapa pria itu berada disini? Atau jangan-jangan pria itu bekerja disini juga?
Laras menutup mulutnya tak percaya. Lalu membuka suara saat pria itu hendak membuka pintu ruangan bos besar
"Eh.. eh.." Teriak Laras mengintrupsi lelaki itu.
"Ada apa?" Pria itu berhenti dan berbalik menatap Laras dengan kebingungan "Kamu kan wanita tadi, kenapa disini?"
"Kamu yang kenapa disini, ngikutin aku?" Tuduh Laras, pria itu bergidik jijik
"Jangan mimpi! Ini ruangan saya, justru saya yang harusnya bertanya kenapa kamu berada disitu?"
"Wait.., ini ruangan kamu?" Laras bertanya hati-hati, ia sudah mencium dugaan buruk. Jangan bilang.....
"Ya, saya Candra banyu Kusuma pemilik perusahaan ini. Kenapa?" Tanyanya penuh keangkuhan, Laras yang tadinya ingin terkejut berdecih tak suka, tetapi akhirnya ia berdehem untuk menyetabilkan suasana. Ia berjalan melewati meja lalu memisah jarak antara ia dengan Candra
"Aku Angelica Laras. Sekretaris baru disini pak." Laras menunduk sopan, kini nada bicaranya ia buat selembut mungkin. Candra mengamati sekretaris barunya, ia terkejut mengapa Yuda bisa merekrut karyawan baru seperti ini?
"Bagaimana bisa mereka menerimamu?"
Laras mendongak, alisnya terangkat mencoba memperjelas pertanyaan Candra
"Bagaimana bisa mereka menerima karyawan sepertimu, lihat saja baru saja masuk kamu sudah ceroboh." Gerutu Candra
Laras mengepalkan tangannya, ia berharap bos barunya itu tak melihat. Sesaat mungkin Laras meredam amarahnya, ia tidak mungkin memecatkan diri saat baru awal bekerja terlebih lagi ini adalah kesempatan emas yang tak mungkin ia sia-siakan, meski harus bertemu dengan setan berwujud manusia dihadapannya.
"Maaf pak, aku tidak sengaja tadi."
"Cara bicaramu saja tidak formal dan sopan."
Astaga.. Laras mendesah dalam hati, memang betul kata pak Yuda, lelaki di hadapannya sangat perfeksionis.
"Maaf pak, saya akan berusaha untuk lebih baik lagi."
"Seharusnya begitu. Untuk kejadian tadi saya tidak akan melupakan."
Laras menelan ludahnya susah payah. "Baik pak, saya akan mengganti secepatnya."
Candra menjentikkan jari, "bagus, memang harus seperti itu. Sekarang apa jadwal saya?"
"Hah?" Laras menganga, seperti orang bodoh
Candra menoleh kearah Laras, ia menaikkan alisnya keheranan. "Jadwal saya hari ini Angeli!" Geram Candra saat melihat sekretaris barunya terlihat begitu tidak cekatan
"Hah?" Laras terkejut saat Candra memanggilnya dengan nama Angeli
"Kamu ini, jangan bilang lupa membawanya! Atau lupa menyusunnya?"
Laras menggeleng kuat, ia ingat betul sudah menyusun jadwal yang di berikan oleh pak Yuda kemarin. Hanya saja ia lupa menaruhnya dimana. Matilah ia sekarang, hidupnya di ambang kenelangsaan. Susah payah Laras menelan ludahnya, kebingungan mencari kosa-kata yang baik agar bisa di terima oleh pria yang tengah mengamatinya tanpa kedip. Harus bagaimana Laras sekarang? Mencari di kosan serasa tidak mungkin, mengingat kosan tempat tinggalnya begitu berantakan. Lalu dimana ia menyimpan buku kecil itu. Astaga, ia benar-benar ceroboh..