Bab 6 : Ardita

1139 Kata
Fahry bangun dengan rasa sakit di semua bagian tubuh. Seumur hidup, dia tak pernah tidur di sofa hotel seperti sekarang ini. "Nasib aku gini amat, punya istri, badan pegal bukan karena abis ngerjain istri, ini malah habis dikerjain istri. Dasar gadis tidak waras. Awas aja. Aku bales nanti," gerutu Fahry sambil melakukan peregangan untuk mengurangi sakit di tubuh. "Pagi-pagi udah menggerutu aja, Pak," ejek Alea yang baru saja keluar dari kamar mandi. Fahry menoleh pada sang gadis. Matanya membulat seketika. Ya Tuhan, kenapa dia pakai baju kurang bahan begitu? batin Fahry. Baru kali ini ia melihat Alea memakai pakaian terbuka. Biasanya, gadis itu selalu membungkus sempurna tubuh dengan pakaian yang menurut Fahry kebesaran. "Kenapa kamu pakai baju kurang bahan kayak gitu? Tipis lagi," tanya Fahry. Matanya memindai sang gadis dari atas kepala hingga ujung kaki. Ya Tuhan, aku bisa ikut tidak waras kalau begini, batinnya lagi. "Di lemari adanya ini, Pak. Masa habis mandi saya harus pakai baju bekas pakai, sih?! Bapak 'kan yang minta saya naro baju kurang bahan ini di lemari hotel, katanya buat persiapan bulan madu sama Ardita," jelas Alea dengan santai. Dia tidak berpikir terlalu jauh pada awalnya. Tapi, "Kenapa? Ada yang salah? Bapak gak nafsu 'kan lihat saya?" lanjut Alea, seraya menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. "Jangan mimpi! Saya gak mungkin nafsu lihat kamu. Selera saya bukan triplek berjalan seperti kamu," ketus Fahry sembari membuang muka ke arah lain. "Baguslah kalau kayak gitu. Tapi masih mending, 'kan? Triplek berjalan ini setidaknya tidak kabur meninggalkan tanggung jawab," sindir Alea sambil melenggang santai menuju tempat tidur. Tanpa ia tahu, Fahry menatap gadis itu tak berkedip. Tidak berniat menanggapi ejekan sang istri, pria itu segera berjalan masuk ke kamar mandi. Dia harus segera mendinginkan otaknya yang mulai panas. "Dih, cowok aneh, bangun tidur ngomong sendiri. Diajak ngomong malah kabur. Dasar bos gadungan." Kali ini suara Alea yang merutuk di pagi hari. Gadis itu kemudian kembali bergelung di bawah selimut setelah melaksanakan kewajiban. Masih terlalu pagi untuk bangun. Lagipula, selama satu minggu ke depan dia cuti kerja, begitu pun dengan Fahry. Dan semua itu adalah ulah Ranti. Tapi Alea senang, setidaknya dia bisa istirahat setelah hampir dua bulan lelah mengurus pernikahan sang bos, yang berakhir jadi pernikahannya juga. Gadis itu menghela napas panjang. "Nasib aku malah nikah sama bos absurd." Ia berkata lirih. Mata indah milik Alea akhirnya tertutup rapat. Tak lama, Fahry keluar dari kamar mandi, ia pun segera menunaikan kewajiban. Setelah itu, ia berdiri di samping tempat tidur sambil memandangi Alea yang terlihat menikmati tidurnya. "Enak banget ini orang tidur di kasur empuk." Wajah Fahry begitu sendu. Ia pun ingin tidur nyaman setelah lelah seharian. Sang pria tersenyum saat sebuah ide jahil tiba-tiba muncul di otaknya. Dia mengendap-endap lalu dengan perlahan naik ke sisi tempat tidur yang kosong dan merebahkannya tubuhnya di samping Alea kala gadis itu masih tidur nyenyak. Biarlah, apa yang akan terjadi nanti jika Alea bangun, Fahry tak mau memikirkannya sekarang. Ia hanya ingin mengistirahatkan tubuh di tempat yang nyaman. Badannya terasa rontok saat ini, membuat dia malas jika harus kembali tidur di sofa. Alea yang merasa terusik pun, mulai membuka mata. Karena merasa ada sesuatu, ia menoleh ke samping kanan. "Aaa ...!" lengkingan panjang gadis itu terdengar memenuhi kamar, ia bangkit dari posisi tidur dan duduk dengan tangan memegang selimut di dadanya. "Bapak ngapain tidur di sini?" tanyanya, tapi tidak ada tanggapan dari orang yang ia tanyai. "Bapak! Bangun. Kenapa tidur di sini sih?" Alea menusuk-nusuk telunjuk pada lengan Fahry. Tapi pria itu tetap tidak bergerak. Masih tidur nyenyak dengan telentang dan tangan terlipat di dadanya. "Pak ... bangun, Pak!" "Woy ... bangun, woy!" teriak Alea pada akhirnya karena kesal Fahry tak juga menanggapi. "Ish, ini orang diteriakin bukannya bangun," gerutu Alea. "Pak ... Bapak. Bangun, Pak!" "Dasar kebo!" Gadis itu memindahkan guling dan meletakkan benda itu di antara dia dan Fahry. Lalu ia pun kembali merebahkan tubuh dan menarik selimut. "Lebih baik aku tidur, daripada buang waktu buat bangunin kebo," gumam Alea. Gadis itu tidur membelakangi Fahry yang tersenyum dengan mata tertutup. *** Mata Alea membola saat terbuka dan mendapati Fahry ada di depannya, mereka bukan cuma tidur berhadapan, tapi Fahry pun tidur memeluknya. Alea berusaha melepaskan tangan pria itu tapi tidak berhasil. "Dingin ...." Suara Fahry terdengar bergetar. Alea tertegun sejenak. Lalu meraba kening sang suami. "Tidak panas," gumamnya dengan dahi berkerut. Dia kembali menempelkan punggung tangan di kening suaminya, mamastikan sekali lagi. "Dingin." Suara bergetar milik Fahry terdengar lagi. Kali ini pria itu mengeratkan pelukan, membuat wajah alea mendarat mulus di depan dadanya. "Eh? Pak? Ngapain woy? Pakai nyosor-nyosor?" Sekuat tenaga Alea berusaha mendorong tubuh Fahry. Tapi tentu saja gagal. "Dingin ... tolong saya, Alea,'" gumam Fahry. Alea pun bingung. Dia berpikir keras. Apa dia meriang, ya? batinnya. "Tapi gak panas," gumamnya sambil kembali mendaratkan tangan di atas dahi sang suami. Ya sudahlah. Mungkin dia memang meriang, putus Alea pada akhirnya. Dia membiarkan Fahry tidur memeluknya. Kapan lagi 'kan tidur di peluk suami ganteng. Ya Tuhan, Alea, kondisikan otak woy! rutuk Alea dalam hati, pada dirinya sendiri. Tak lama, ia pun kembali terlelap. Antara sadar dan tidak, Alea merasakan ada yang mengecup keningnya. Dia juga merasakan belaian lembut di wajahnya. Tapi rasa kantuk mengalahkan kesadaran. Dia pikir, itu hanya mimpi. Jadi biarkan saja. Sementara Fahry, tersenyum seraya menatap setiap inci wajah cantik gadis itu. Kamu tahu? Aku hampir putus asa karena kamu begitu tidak pintar untuk mengenali siapa aku, batin Fahry sembari membelai pipi Alea. "Aku bersyukur karena Ardita pergi dan kamu yang jadi istriku. Aku tak akan melepaskan kamu sampai kapan pun," gumam pria itu pelan seraya mengecup lembut kening Alea yang masih tertidur. Tentu saja Fahry tidak mungkin melakukannya saat gadis itu bangun. Dia bisa ditelan hidup-hidup oleh gadis bar-bar itu. Sementara di tempat lain, berkilo-kilo mil jauhnya, seorang gadis sedang asik keluar masuk dari satu toko ke toko yang lain, di sebuah pusat perbelanjaan. Ia menenteng begitu banyak barang yang baru saja dia beli. Gadis itu berjalan ke tempat parkir dan menaiki sebuah mobil. Setelah memasukkan semua barang belanjaan yang dia borong. Ia melajukan mobil ke apartemen mewah yang ada di kota itu. "Coba dari dulu si Tua itu ngasih aku uang banyak. Gak perlu aku susah payah pura-pura cinta pada si cupu Fahry," ucap sang gadis, sesampainya dia di unit apartemen. Satu per satu ia rentangkan pakaian yang baru saja ia beli. "Dia kira aku cinta sama laki-laki itu? Dih, gak banget, deh. Kalau bukan karena uangnya, males aku." Gadis itu mengoceh, bicara sendiri. "Kalau gini 'kan enak, bisa beli mobil mewah, apartemen mewah, baju mahal dan tas branded. Aku bisa bersenang-senang, aku bisa membeli apa pun yang aku mau dengan uang yang aku dapatkan dari si Tua itu," ujarnya lagi sambil memeluk barang-barang mewah yang berserakan di atas tempat tidur. "Ardita kamu memang pintar," gumamnya lagi dengan bangga, masih bicara pada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN