Part 1. Perjanjian

1007 Kata
Part 1 Perjanjian "Jadi, kamu diam-diam menyimpan bunga baru mekar yang indah di rumahmu?" Sejak pertanyaan itu, Dihyan sudah merasakan gelisah. Nawang Nehan majikannya, sudah mengetahui bahwa dia memiliki seorang putri yang cantik jelita, usia remaja. Dengan langkah gontai, Dihyan keluar dari ruangan megah di rumah rumah itu. Ruangan yang selama ini selalu menjadi tempat ia dan majikannya bertemu, untuk membahas segala hal. Rasanya dia tidak percaya jika hal ini akan menimpa keluarganya. Dia tidak pernah menyangka, meminta putri tunggalnya datang ke rumah besar ini, merupakan kesalahan fatal, yang konsekwensinya akan diderita putri kesayangannya itu, di sepanjang kehidupannya kelak. Kemarin, putrinya menghubungi, meminta sejumlah uang yang harus ada saat itu juga. Ada tagihan mendadak dari kampus, katanya. Dan itu tidak bisa ditunda, harus langsung ada saat itu juga. Dihyan sedang bekerja pagi itu, sementara majikannya telah memberinya pesan, ia tidak boleh meninggalkan tempat, karena akan ada tamu istimewa yang datang. Dihyan tidak berani keluar, sehingga meminta putrinya datang ke rumah tuannya, ketika ia menelepon. Sayangnya, saat Dihyan sedang berbincang di depan gerbang dengan putrinya, Nawang Nehan muncul dengan kendaraan mewahnya. Pemilik perusahaan platform E-commerce terbesar di Asia tersebut, langsung melihat kehadiran putri tunggal Dihyan, yang berkulit putih dan mulus. Jiwa petualangnya langsung melesat menuju kediaman putra sulungnya. Arlo Raynar. Ide menyerahkan gadis belia itu ke Arlo, sepertinya tidak buruk, pikir Nawang. "Siapa gadis tadi?" tanya Nawang saat mereka hanya berdua di sebuah ruangan. Dihyan sedang mengantarkan kopi cappuccino kesukaan Nawang Nehan saat itu. "Dia..” Dihyan merasa ragu untuk melanjutkan. Lidahnya terasa kelu. Jika dia jujur, maka, masa depan mengerikan menanti putrinya. Dihyan menunduk. Nawang Nehan melihat dengan jelas, kegelisahan di wajah pelayan setianya itu. "Dia putri kalian? Bayi yang puluhan tahun lalu, kelahirannya kamu perjuangkan dengan mempertaruhkan kebebasan kalian, bukan?" Tidak ada pilihan, Dihyan mengangguk lemah, menjawab pertanyaan tersebut. Nawang Nehan menatapnya tajam, jemarinya mengetuk-ngetuk tangan kursi di sampingnya. Dia seperti sedang berpikir. Dihyan semakin merasa gelisah. Apalagi, Nawang Nehan tuannya, sudah menyinggung masa lalu mereka. Detik-detik di mana istri Dihyan akan melahirkan, Sembilan belas tahun lalu. Riwayat penyakit yang dialami Gayatri, membuatnya tidak memungkinkan untuk bisa melahirkan secara normal. Jika dia memaksa, maka resiko kematian di depannya. Mengetahui hal itu Dihyan tidak bisa tinggal diam. Dia tidak mungkin menyaksikan istri yang teramat dia cintai meregang nyawa karena melahirnya anak pertama mereka. Maka Dihyan pun bersumpah di depan dokter, apa pun caranya dia akan perjuangkan. Dia akan mendapatkan biayanya jika anak dan istrinya bisa selamat. Lalu atas rekomendasi temannya, Dihyan mendatangi orang terkaya di kampung tetangga. Yaitu, rumah Nawang Nehan. Pemilik banyak perusahaan online dan offline yang sukses. "Saya membutuhkan uang tiga puluh juta, Tuan." "Seratus juta jika mau," balas pria di depannya. "Tolong saya, Tuan." "Aku membutuhkan tambahan tenaga untuk bekerja di rumah ini. Silakan kamu putuskan, jika kamu siap dengan tawaranku, maka uang 100 juta akan kalian dapatkan." Usai mengatakan itu, Nawang langsung bangkit dari duduknya. Membetulkan pakaiannya, lalu bergerak. "Tuan, mohon jangan pergi dulu, saya mohon padamu!" Dengan merangkak menggunakan kedua lututnya, Dihyan mengejar Nawang Nehan, dan berusaha menghalangi langkah pria itu. Bruntung, Nawang Nehan mau berhenti dan kembali mendengarkan Dihyan. "Saya siap dengan tawaran, Anda!" Seru Dihyan. Dengan berat hati, ia akhirnya menyetujui. Anak dan istrinya harus selamat. Mereka sudah menantikan selama sepuluh tahun, dan itu adalah kesempatan bagi keduanya untuk memeluk takdir yang telah mereka pinta selama itu. Kehadiran si buah hati. "Baik, akan dikirimkan kepadamu uang dan surat perjanjian segera." Nawang Nehan kembali melanjutkan langkahnya. Kini, setelah perjanjian sembilan belas tahun lalu disepakati, Dihyan kembali dihadapkan dengan satu pilihan. Menyerahkan putri tunggalnya kepada Nawang Nehan untuk dinikahkan dengan putra sulungnya yang terkenal dingin, dan sadis terhadap perempuan. Tidak, bukan menikah, karena putra sulung Nawang sepertinya tidak berniat menikah. Tetapi hanya menjadikannya sebagai pelayan seumur hidup di kamarnya. Membayangkan semua itu, hati Dihyan terasa perih. Dihyan tidak rela itu terjadi kepada putrinya. Menjadi mahasiswi sebuah universitas terkenal, dengan jejak prestasi yang bagus, putri tunggal Dihyan dan Gayatri bisa memiliki masa depan yang cerah. Apa jadinya jika dia harus menjadi pelayan seumur hidup, putra sulung Nawang Nehan? Akan sia-sia semua perjuangannya mewujudkan mimpi putri tersayangnya selama ini. *** Malam terasa berat dilalui kedua manusia yang sedang gelisah itu. Gayatri terus-menerus terjaga. Semakin berusaha memejamkan mata, semakin menyeramkan bayangan nasib masa depan putrinya. "Kita harus mencari cara," bisiknya. "Tetapi Pak Nawang bukan orang yang mudah kita kelabui," balas Dihyan. "Bapak yakin, bakal diberikan kepada putra sulungnya?" "Iya, Bu." "Kenapa kita tidak coba menawar, dengan putra bungsunya saja, Pak? Den Cashel sepertinya lumayan baik." "Kamu ini gimana to, Bu. Putra kedua dan ketiga Pak Nawang tidak pernah kesulitan mendapatkan wanita. Mereka setiap hari bisa menggandeng wanita baru ke rumah.” “Sebab itu Pak Nawang mencarikan jodoh buat putra sulungnya?” gumam Gayatri. Dihyan menggeleng getir. Bukan jodoh yang dicari, tetapi hanya pelayan. Putra sulung Pak Nawang Nehan, sepertinya sama sekali tidak tertarik kepada wanita. Pelayan yang dibutuhkan, adalah yang bisa menundukkan hasrat pria itu. Jika tidak berhasil maka, nasibnya tidak akan diketahui lagi, entah dibunuh atau disiksa sepanjang hidupnya di kediaman Arlo. Dihyan mengusap wajahnya. Tidak. Dia tidak akan sanggup melihat putrinya mengalami nasib seburuk itu. Namun bagaimana? "Den Arlo juga jarang sekali keluar kamar. Dia juga tidak pernah tersenyum setiap kali berpapasan dengan orang. Apakah dia normal, Pak?" "Entah lah, Bu. Bapak juga tidak paham sama dia. Pak Nawang ingin ada perempuan yang menemani di kamarnya, karena dia malu di lingkungan bisnisnya disebut-sebut memiliki anak yang tidak berfungsi kelelakiannya. Sepertinya dia hanya ingin membuktikan kepada koleganya, bahwa semua putranya adalah jantan." Gayatri memejamkan mata. Tiba-tiba terlintas seulas wajah ceria yang selama ini menghiasi rumahnya. "Pak," panggilnya. Dihyan menatap wajah istrinya yang tiba-tiba ada binar ceria di sana. "Saya punya ide" katanya antusias. Dihyan penasaran. "Apa, Bu?" Gayatri kembali melempar kepalanya ke bantal, menatap langit-langit kamar yang sudah puluhan tahun mereka tempati. Kemudian ia mendesah. “Tetapi saya juga tidak tahu, apakah ini akan berhasil atau tidak.” Gayatri bimbang. “Kita coba saja, Bu. Katakanlah.” ________________ Hai, Kakak semua! Terima kasih sudah membaca karyaku. Bantu like, komen, dan subscribe yaa. Makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN