Part 8. Hukuman Pertama

1042 Kata
“Kemarilah,” panggil Arlo. Pria itu sudah duduk di sofa dengan menyelonjorkan kedua kaki di atasnya. Bersandar dengan nyaman, kedua mata terpejam. Pelan Ayara mendekatinya. “Kamu bisa memijat?” Deg! Jantung Ayara terasa mau lompat dari rongga dadanya. “Saya belum pernah melakukannya, Tuan,” jawabnya. “Lakukan sekarang,” perintah Arlo. Ayara terdiam. Kakinya terasa sangat berat untuk dibawa melangkah memenuhi perintah itu. Bukan kah seharusnya dia belum resmi menjadi pelayannya? Bukan kah seharusnya dia masih bisa berontak atau mundur? Bahkan dia masih bisa menolak perintah pria di depannya itu? Sekian detik berlalu, Arlo belum juga merasakan sentuhan yang dia pinta. Pria itu membuka matanya. “Tunggu apa? Kamu tahu apa hukuman bagi pelayan yang tidak patuh?” gertak Arlo. “Saya akan lakukan, Tuan.” Buru-buru Ayara mendekati Arlo. “Sekarang!” bentak Arlo, “Aku tidak mau ada yang lamban di rumahku! Paham?” Pria itu membuka kancing atas bajunya, Ayara melotot. Namum kemudian merasa lega, karena Arlo tidak benar-benar melepaskan pakaianya. Hanya menurunkan sedikit bajunya, sehingga hanya sedikit pundaknya yang terlihat. Dengan tangan gemetar, Ayara menyentuh pundak pria itu dan memulai memijat. “Kenapa kamu ingin menjadi pelayanku?” tanya Arlo. Dia tidak bisa kembali memejamkan kedua matanya, pijatan yang ia rasakan sungguh tidak nyaman. Ditambah kuku-kuku Ayara terasa menancap di pundaknya. “Saya membutuhkan perlindungan, saya merasa akan aman jika berada bersama Tuan Muda Arlo.” Ayara berbohong. Padahal ingin rasanya ia menarik pisau kecil yang sudah ia selipkan di rambutnya, dan menancapkan benda itu di leher Arlo. Sayangnya dia masih belum berani melakukan itu. Tenaganya tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan tenaga pria di depannya itu. “Kamu tahu kan resikonya menjadi pelayan di kamarku?” Ayara mengangguk “Termasuk melayani urusan ranjangku. Kamu siap?” Arlo dapat merasakan gerakan tangan Ayara yang berhenti. Tanpa dilihat oleh Ayara, bibir pria itu tersenyum sinis. “Buatkan aku teh.” kata Arlo kemudian. Ia bangkit dari tidurnya, memutar tubuhnya menghadap dinding di seberang meja, lalu kembali memasang kancing kemejanya. “Di sana.” Ia menunjuk arah pojok kanan di mana kitchen set terlihat. Ayara mengikuti dengan pandangannya, kemudian mengangguk paham. Ia berjalan ke arah yang ditunjuk Arlo. Dengan pelan tangan Ayara mengambil panci yang pertama terlihat olehnya. Mengisi air dan menaruhnya di atas kompor. Ia menyalakan apinya. Kemudian berjalan ke rak gelas dan teko. Meracik teh tradisional yang ada di sana. Mestinya aku membawa racun sebelum masuk kemari, batin Ayara. Sepuluh menit kemudian, Ayara sudah menyuguhkan teh di depan Arlo. Pria itu langsung menuang segelas kecil, dan menghidu harumnya. "Ini oke," batin Arlo. Namun ia kembali meletakkan teh di tangannya ke meja, lalu kembali menatap Ayara, dari ujung kaki hingga kepala. Ayara menatapnya tanpa ekspresi. "Kamu sepertinya sudah terbiasa membuat teh." Kata Arlo, Ayara tidak tahu apakah itu pertanyaan atau pujian. "Saya membuat untuk paman dan bibi saya di rumah," balas Ayara. "Orang tuamu?" "Merekalah orang tuaku." "Di mana ayah ibumu?" "Meninggal. Hmmm banyak hal menarik yang bisa digali dari gadis ini, batin Arlo. "Di pojok sana, adalah kamar mandi, pergilah dan pilih satu pakaian yang cocok untukmu, ganti dan berhiaslah untukku." Perintah Arlo. Ayara mengangguk patuh. "Berhias untukku?" Hati Ayara kembali berkecamuk, membayangkan hal mengerikan yang akan terjadi. Tuhan lindungi aku. Di kamar mandi, Ayara dibuat takjub dengan fasilitas dan suasananya. Ini kamar mandi atau keraton? Gumamnya. Ruangannya sangat luas. Banyak sisa tempat yang sia-sia menurutnya, yang jika di rumahnya, itu bisa menjadi dua kamar lagi. Ada kabinet tinggi menempel di tembok sebelah kiri, dengan lebar sepanjang setengah ruangan. Di sampingnya sebuah kaca besar menempel di dinding dengan westafel yang mengkilap bersih, bersebelahan dengan kotak berwarnah putih, dengan hiasan sulur berwarna perak di tengahnya. Di dalam kotak ada empat gulung handuk berwarna putih bersih. Ayara mencoba membuka kabinet, mencari pakaian yang dimaksud Arlo. Ia menemukan banyak pakaian wanita, dari yang mini dress dengan warma terang yang mencolok, hingga warna yang lembut. Juga pakaian panjang yang menutup seluruh tubuh kecuali kepala, ujung tangan dan kaki. Ayara mengambil salah satu dari baju tersebut. Saat berjalan ke tempat mandi, Ayara melihat satu bathtub besar dengan dinding kaca transparan di sebelah kirinya. Sehingga pemandangan berupa pegunungan di luar, terlihat dengan jelas. Jika seseorang berendam di bathtub, lurus ke depannya, di dinding pojok atas, ada sebuah televisi. Tidak jauh dari bathtub, sebuah handuk kimono menempel di tubuh manekin. Di sampingnya ada keranjang terbuat dari stainless yang mengkilap, dengan empat kaki-kaki kokohnya. Di sebelahnya lagi, adalah satu ruangan full kaca yang terdapat shower dan keran air di dalamnya. Bulu kuduk Ayara meremang, ketika ia membayangkan harus mandi di ruangan kaca seperti itu. Bagaimana jika dia sedang mandi lalu seseorang masuk? Ayara kembali ke pintu. Memastikan bahwa pintu kamar mandi sudah benar-benar ia kunci. Di tengah ruangan ada tempat duduk empuk berbentuk bulat berwarna coklat s**u. Ada dua gulung handuk berwarna putih di atasnya. Ayara mengambil salah satu handuk tersebut. Lalu masuk ke ruangan kaca. Selama melucuti pakaian hingga mengguyur badan, kedua mata Ayara lurus ke depan, menatap kabinet kecil penuh ukiran yang ada di belakang ruangan tersebut. Di atas kabinet terdapat standing lamp dengan linier hitam di atas dan bawahnya. Ada kotak-kotak kecil di atas kabinet. "Ini bukan kamar mandi pelayan, mengapa Arlo menyuruhku mandi di sini?" gumamnya. *** Arlo menatap Ayara yang berdiri di depannya. Buku di tangannya ia letakkan di meja, tangannya bersedekap. "Satu jam di kamar mandi, hanya ini hasilnya?" tanya Arlo. "Tuan ingin saya bagaimana?" Ayara balik bertanya. "Ada banyak pakaian seksi di sana. Ada kosmetik lengkap juga. Kamu tidak tahu cara menggunakannya?" "Saya tidak membutuhkannya." "Lalu bagaimana denganku? Kamu pelayanku," "Saya belum resmi menjadi pelayan Anda, saya rasa," "Hmm sungguh berani." Arlo menyandarkan badannya. Matanya masih tajam menatap Ayara. Lalu di memijit tombol kecil yang menempel di tembok. Mereka saling diam beberapa saat. Sebuah ketukan dan suara seorang pria terdengar di luar pintu. "Masuk!" perintah Arlo. Ayara mengenali pria tersebut. Itu pria yang sama, yang tadi mengantarnya ke sini. "Siapkan dua cambuk terkuat di tempat olah raga, dan bawa dia ke sana!" Perintah Arlo lagi. Mendengar itu, hati Ayara menjadi ciut. Tuhan begitu sadis kah dia akan menghukum seorang gadis? _____________ Karya kak Ida Raihan Lainnya: 1. Mas Iparku, Musibahku (tamat) 2. Saat Mantan Istri Suamiku, Selalu Ingin Bertemu (tamat) 3. Ahli Waria Keluarga D (tamat)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN