Part 3. Pertemuan Berikutnya
Tidak memerlukan waktu lama buat Ayara mencerna apa yang baru saja disampaikan oleh Dihyan. Balas budi. Dua kalimat yang tidak bisa Ayara bantah, karena keduanya tidak bisa lunas hanya dengan hukuman cambuk rotan.
Berkali-kali Ayara menarik napas berat. Sebagai gadis jelang sembilan belas tahun, yang jiwa mudanya masih menggebu, dan menginginkan impiannya sendiri terwujud, Ayara sangat keberatan atas permintaan Dihyan dan Gayatri.
Seharusnya dia meraung saat ini. Menolak dengan keras permintaan mereka. Orang yang telah membesarkannya itu. Namun Ayara tidak melakukannya. Pantang baginya menangis di depan orang, seperti wanita pada umumnya.
"Katakan sesuatu, Ayara," pinta Dihyan.
“Ayara, kamu bersedia kan, Nak?” Gayatri menimpali dengan nada cemas. Mereka sangat tahu karakter Ayara. Sejak kecil, jika dia tidak mau melakukan sesuatu, dia akan berontak dan lebih memilih dicambuk lima sampai sepuluh kali di bawah pohon jambu air, di belakang rumah, hingga kedua kakinya lebam oleh bekas cambukan. Tanpa menangis.
Berbeda sekali dengan kakaknya, Kyra Arundati, yang selalu patuh kepada kedua orang tuanya. Kyra bahkan bisa menangis ketika melihat Ayara sedang dihukum.
“Apa aku ada pilihan?” Ayara balas bertanya. Kepalanya terangkat, kedua matanya tajam menatap dua orang di depannya. Dihyan mendesah.
“Ayara, kami tidak bermaksud memaksamu, tetapi kamu tahu kan, Kyra masih ingin mengejar mimpinya.” Gayatri hendak menyentuh tangan Ayara saat mengatakan itu. Namun Ayara langsung menarik, menjauhkan tangannya dari jangkauan Gayatri. Kemudian ia berdiri.
Ayara tidak mau mendengar kalimat Gayatri selanjutnya, karena dia yakin, itu pasti kalimat-kalimat pujian untuk Kyra. Anak yang cerdas, rajin, masa depannya cerah., dan sebagainya.
“Bawa aku bertemu Tuan Nawang besok,” kata Ayara kemudian. Usai berkata begitu, ia langsung mendorong kursinya menjauh ke belakang tubuhnya., dan bermaksud pergi meninggalkan Dihyan dan Gayatri.
“Apa yang akan kamu lakukan?” Ayara kembali berhenti.
“Menerima tawarannya.” Usai berkata begitu, Ayara langsung melangkah dengan cepat. Dihyan dan Gayatri saling pandang.
***
Pagi sekali, sebelum Dihyan dan Gayatri bangun, Ayara menyelinap keluar rumah. Menyusuri jalan setapak, yang akan menuju jalan besar ke tempat pelatihan bela diri. Hari ini kelompoknya akan diperkenalkan dengan pelatih baru. Ayara tidak boleh tertinggal. Dengan langkah cepat, ia berjalan melintasi gedung kosong yang semalam hampir membuatnya celaka.
Ayara mempercepat langkahnya, pandangannya tidak lepas dari sisi-sisi bangunan, khawatir pengejarnya semalam mengintainya di tempat tersebut. Hingga dia tidak menyadari, di depannya ada sosok lain yang sedang berdiri dengan santai.
"Hati-hati, Nona!"
"Ouch.." Ayara menabrak. Tepat berbarengan kakinya yang menginjak sepatu pria tersebut. Pria itu tersenyum.
"Sepagi ini, kamu hendak ke mana?" tanyanya.
"Jalan raya."
"Jalanan masih sangat sepi, Nona. Mungkin kita bisa bareng, mobilku sebentar lagi datang,"
"Siapa yang akan mempercayaimu? Kamu bisa saja akan menculikku," balas Ayara datar. Pria itu tersenyum. Mengimbangi langkah kaki Ayara.
"Jangan mengikutiku," tegas Ayara. Sekilas dia melihat wajah pria di depannya mirip pria yang semalam ia jatuhkan.
"Aku mengkhawatirkanmu," balas pria itu. Ayara menatap ujung kaki hingga ujung kepala pria itu.
"Aku lebih khawatir dengan keberadaanmu!" ketus Ayara. Pria itu tergelak. Ayara berlari meninggalkannya.
"Hmm, gadis yang lucu,"
Tiiiin!
Suara klakson mobil memecah keheningan pagi. Pria itu terkejut. Sebuah mobil Porsche warna merah berhenti tepat di depannya.
"Gila kamu, pagi-pagi di tempat gelap, pakai baju gelap, di tengah jalan, ngelamun pulak!" kata pengendara mobil. Pria itu tergelak, lalu melompat masuk ke dalam mobil.
"Ada yang lebih gila di depan, ayo jalan," katanya. Mobil kembali bergerak.
"Arlo, apa pendapatmu jika kanan kiri jalan ini diubah menjadi taman yang indah?" ucap pria itu setelah duduk di samping pengemudi mobil.
"Sejak kapan kamu peduli?"
"Yah, setidaknya, biar tidak terlalu menyeramkan, jika ada orang lewat sendirian, di pagi buta begini. Kebun karet juga membuat penciuman tidak nyaman jika musim berbunga."
"Kebun karet menghasilkan uang, taman tidak," balas pria yang dipanggil Arlo. Matanya tetap fokus menyetir, dan sedang tahap menambah kecepatan.
"Arlo berhenti!" Tiba-tiba pria itu berteriak. Arlo langsung mengerem.
"Sialan kamu, Cashel!" umpatnya, pada pria di sebelahnya.
"Lihat di depan!" Pria yang dipanggil Cashel menunjuk. Di depan mereka, jarak beberapa meter, seorang perempuan muda sedang berusaha menghindari pukulan tiga pria yang menyerangnya.
Hmm, gadis itu, Arlo membatin.
"Kita harus menolongnya," kata Chasel.
"Kalau kamu mau, kamu boleh menolongnya, aku ada urusan yang lebih penting," sahut Arlo seraya kembali menggerakkan mobilnya.
"Dasar b******n tidak manusiawi, kamu tega melihat seorang gadis tewas dikeroyok tiga pria?" Arlo tidak menjawab, sebagai gantinya dia melajukan mobilnya semakin cepat, membelah kabut pagi yang mulai memudar ditelan cahaya, yang perlahan mulai muncul.
***
Bug!
Sebuah pukulan telak mendarat di punggung Ayara. Gadis itu tersungkur di tanah. Dia lengah karena memperhatikan mobil yang sempat berhenti tadi.
"Menyerahlah, Nona," kata pria yang tadi memukulnya.
"Tidak akan!" balas Ayara, seketika bangkit, dan langsung membuat gerakan yang tidak disangka-sangka oleh ketiga pengeroyoknya. Dalam waktu yang singkat, Ayara berhasil melumpuhkan ketiga lawannya.
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Ayara.
"Tidak ada," balas salah satu pria berbadan gembul. Ayara memuntir tangan pria itu ke belakang, seraya menekan punggungnya semakin keras, dengan pipi menempel di jalan beraspal. Pria itu meringis kesakitan.
"Silakan mengaku, atau aku akan membiarkan kalian menjadi bulanan warga, dan tewas di tangan mereka."
"Ja, ja, jangan Nona. Kami, kami.. disuruh Nona Birdella." Kenapa Birdella ingin mencelakaiku? Ayara melepaskan pria tadi. Lalu mengeluarkan ponselnya, dan menelepon sebuah nomor.
Tidak lama kemudian mobil polisi datang.
***
Gedung empat lantai itu sudah tampak terang-benderang. Harusnya Ayara sudah sampai di sana sejak satu jam yang lalu, namun dia terlambat karena terpaksa harus berurusan dengan polisi.
Ayara melangkah memasuki halaman gedung. Security langsung menyambutnya. "Tumben kamu telat, Ayara!”
Ayara tersenyum. Lalu pamit masuk ruangan.
Menaiki tangga menuju lantai satu. Punggung dan kakinya terasa ngilu akibat pukulan tadi. Sekilas bayangan mobil porsche berwarna putih dengan dua pria di dalamnya kembali melintas di benaknya. Langkah kakinya berhenti.
"Ini semua ulah kalian," gumamnya, "aku akan mencari dan menghancurkan kalian." Usai berkata begitu, kaki Ayara kembali menaiki tangga dengan hati-hati.
"Siapa yang akan kamu hancurkan?"
"Hmmph" wajah Ayara membentur d**a seseorang yang sedang turun tangga. Ia mendongak.
"Kamu?" Pria itu tersenyum lebar. Ayara langsung mengenalinya. Pria yang tadi ia tabrak di jalan. Pria yang mengendarai mobil porsche putih. Ya, meskipun jalanan masih agak gelap, Ayara masih mampu mengenali wajah dan warna.
"Syukurlah kamu baik-baik saja, Nona. Siapa namamu?"
"Jika kita bertemu lagi dalam keadaan baik-baik saja, ke depannya, saat itu aku akan beritahu namaku." Ketus Ayara menyahut. Lalu menggeser tubuhnya dan kembali menaiki tangga.
"Hei." Pria itu ikut membalik badannya, berniat mengikuti Ayara.
Ayara hampir sampai di puncak tangga, saat satu pria lagi muncul. Langkah Ayara kembali terhenti. Sejenak mata keduanya saling pandang. Sekali lagi Ayara mengenali wajah itu. Pria yang ia jatuhkan di samping gedung tadi malam, sekaligus pria yang menyetir porsche tadi pagi.
Pria itu hanya melihat Ayara sekilas, kemudian, bersikap seolah-olah tidak melihat apa-apa. Ia justru berbiara kepada pria satunya.
"Chasel, aku memintamu mengambil file di mobil, sedang apa kamu di sini?" katanya. Ia mengabaikan Ayara.
"Siap laksanakan!" balas Chasel ceria. Lalu melangkah pergi. Pria itu kembali memutar tubuh, dan berjalan menuju ruangan. Ayara melakukan hal yang sama dengan gerakan lamban. Hatinya bertanya-tanya, mengapa keduanya ada di sini? Siapa mereka?