Alvira melangkah gusar menuju kelasnya. Dengan bibir tak henti merapalkan makian untuk Adreno. Memangnya siapa dia sampai berani mengancamnya? Hanya sekadar ketua OSIS kan?
Kepalanya nyaris berasap saat bayangan wajah menyebalkan cowok itu berputar-putar. Alvira benar-benar benci makhluk sejenis Adreno. Cowok modal tampang yang mengira bisa dapat semua yang dia mau tanpa susah payah.
Menggertakan gigi, Alvira menendang pintu kelasnya hingga terbuka lebar. Beberapa siswa yang berada di dalam tersentak kaget, bahkan ada yang memaki terang-terangan. Untung saja di kelas ini enggak ada yang punya riwayat penyakit jantung. Jadi aman.
"Apaan sih lo Vir! Ngagetin tau gak! Biasa aja kali."
Ana yang pertama kali membuka suara, dengan isyarat mata meninta Alvira mendekatinya.
Suasana kelas masih terlihat sepi karena bel masuk baru berbunyi lima menit yang lalu.
Alvira segera menghampiri Ana dan duduk dengan kasar di bangku sebelahnya. Ia berdecak kesal sebelum menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan.
"Kenapa lagi sih? Adreno?" Ana menyenggol lengan Alvira pelan, meminta atensi.
Alvira sedikit menggeser lengannya,kemudian menepelkan pipi kanannya pada meja seraya mendengus jengkel. "Tuan sok sempurna itu ngancem gue. Pengen gue tendang sampe black hole! Biar ngilang aja sekalian dari bumi."
Ana terkekeh, menepuk-nepuk puncak kepala Alvira. "Gak boleh ngomong gitu Vir. Lagian lo juga sih pake nyebar berita aneh segala. Udah tahu rumornya si Adreno itu kayak gimana."
"Pokoknya gue benci banget sama dia An! Cowok sok sempurna, sok berkuasa. Lagaknya udah kayak dewa yang enggak punya dosa! Apa coba. Sok ngatur. Mentang-mentang ketua OSIS! Dia pikir gue takut?"
Ana tertawa lagi. "Lo masih dendam ya sama dia? Gara-gara Adreno kan lo kena skors kemarin?"
Alvira menggeram. "Bodo lah!"
"Anaaaaaa!!!"
Teriakan melengking dari arah pintu membuat Ana mengalihkan fokus. Griya datang dengan muka ditekuk, bibir maju lima senti dan kening benjol.
Ana memutar bola mata. Menyenderkan punggung sambil bersedekap. "Apasih."
"Ana, gue keseeeeel."
Suara Griya terdengar seperti rengekan. Cewek itu merangsek duduk di bangku depan Ana. Maniknya menatap wajah sahabatnya memelas, meminta dikasihani.
Di antara mereka bertiga, memang sifat Griya yang paling kekanakan dan manja. Dirinya tak segan-segan merengek-bahkan menangis di hadapan kedua sahabatnya. Tetapi dibalik semua sikapnya itu, Griya adalah tipe gadis yang pantang menyerah dan lembut. Dan dia... Terlalu baik hingga mudah dibodohi.
Ana memutuskan untuk menutup novelnya. Ditatapnya Griya dengan malas. "Lo juga, kenapa? Raja lagi? Hidup kalian ribet banget sih."
Griya hanya mengangguk pelan, "Bantuin gue please..." maniknya menyorot memohon, pun dengan kedua tangannya yang menangkup ke depan.
Ana menghela napas pasrah, "Gue gak ada pilihan lain kan?"
Memang tidak pernah ada pilihan untuk menolak permintaan Griya. Sikap manja dan keras kepalanya itu sudah terbiasa untuk dituruti. Tipikal Griya. Tidak akan menyerah sebelum keinginannya dituruti.
Ana menyenderkan punggungnya lelah, sedangkan Griya sudah berteriak kegirangan. Tangannya refleks menggoyangkan lengan Alvira yang tergeletak di meja.
"Lepasin tangan lo kalau gak mau gue bacok!"
Griya berjingkat kaget. Menatap Alvira dengan sorot horor. "Sensi amat sih sama gue Vir? Gak seneng ya liat gue bahagia?"
Perkataan Griya hanya dijawab gumaman dari Alvira. Membuat cewek itu semakin menekuk wajahnya.
Sedetik kemudian, suara gaduh mengalihkan perhatian Griya. Ia menolehkan wajah dan mendapati gerombolan anak cowok baru saja masuk kelas setelah puas makan di kantin.
Tubuh gemuk Dika keluar lebih dulu dari kerumunan, kemudian ia berteriak lantang. "Guru-guru ada rapat hari ini! Pulang cepet woy!"
Seluruh penghuni kelas XI IPS 1 langsung bersorak riang, beberapa di antara mereka langsung bergegas membereskan alat tulis di mejanya masing-masing. Sedangkan Alvira yang mendengar itu segera berjingkat dari posisinya. Langsung sigap mengambil tas.
"Gue mau langsung ke SMA Bima kalau gitu." Alvira berdiri cepat, hendak melangkah sebelum suara Ana menginterupsi.
"Tawuran lagi?" Ana mengangkat alis, "gak kapok ya? Udah pernah koma juga kan?"
Griya mengangguk menyetujui perkataan Ana, matanya menyipit tajam ke arah Alvira. "Tau nih! Emang lo gak sayang sama wajah lo? Ntar bonyok-bonyok lagi. Mendingan kita ke mall aja. Gue traktir deh," katanya dengan senyum lebar.
Alvira memutar bola mata, "Mau lo beliin emas sekarung juga gue gak bakalan sudi ke mall. Mending gue ke kandang macan deh."
Griya melotot sambil mendengus."Dasar jelmaan preman."
Alvia hanya terkekeh sambil mengacungkan jarinya membentuk huruf 'v'. Segera berlari keluar kelas dengan tas punggung yang ia sampirkan ke bahu.
Ana menatap kepergian Alvira sambil menghela napas. Cewek itu memang keras kepala. Entah sudah berapa kali Ana sudah mengingatkan, tapi kata-katanya cuma dianggap angin lalu.
**"
Adreno melangkah santai menuju parkiran. Di sana sudah terlihat sepi, pasalnya bel pulang sekolah telah berbunyi sekitar dua jam yang lalu. Dan dirinya terpaksa pulang paling akhir karena rapat OSIS mingguan yang harus ia pimpin.
Saat hendak menuju motornya di sudut parkiran, manik kelabunya tanpa sengaja menangkap sebuah bayangan dari balik tembok. Mengendap. Tampak mencurigakan. Cowok itu segera memelankan langkah, mendekat dengan langkah seringan bulu.
Suara gemerisik dan benda jatuh langsung mengalihkan fokus Adreno. Ia segera berbalik dan mendapati tubuh seseorang sudah tergeletak di samping semak-semak. Mata Adreno menyipit tajam. Ia mengalihkan pandangan lagi ke balik tembok dan tidak menemukan apapun. Bayang-bayang itu sudah pergi. Sialan.
Mendesah, Adreno berbalik lagi. Seorang yang baru saja jatuh itu sudah berdiri, agak sempoyongan dengan penampilan acak-acakan. Sebelah alis Adreno terangkat saat menyadari sesuatu. Ia menggelengkan kepala, tersenyum geli. Refleks mengambil ponsel dari saku celananya dan memotret sosok itu--Alvira Anindya yang masih tampak kebingungan. Dia masih belum sadar dengan kehadiran Adreno rupanya.
Adreno menaruh kembali ponselnya, bersandar pada tiang listrik di sampingnya. "Abis tawuran lagi, hmm?"
Alvira tersadar dari keterpakuannya, berkedip beberapa kali. Mengangkat wajah, ada Adreno yang sedang menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Bola mata Alvira melebar terkejut. "Kenapa lo bisa ada di sini?"
"Harusnya saya yang nanya itu."
Alvira berdecak. Memutar bola mata. Whatever. "Bukan urusan lo"
"Ini jadi urusan saya karena saya punya tanggung jawab di sini."
Alvira memicingkan mata, bibirnya tersungging mengejek. "Bukannya lo cuma ketua OSIS ya? Bukan kepala sekolah atau waka kesiswaan kan? Lo juga bukan guru BK. Punya hak apa lo ngatur gue?"
Ada kilat kemarahan di mata cowok itu. Hanya sedetik, karena Adreno berhasil mengendalikan diri dengan cepat. Ia segera menarik lengan Alvira, membawanya ke belakang parkiran yang lebih sepi. Alvira berontak, tentu saja. Tapi tenaga Adreno lebih kuat darinya.
Alvira meringis ketika punggungnya menyentuh tembok. Belum sempat ia berontak, kedua lengan cowok itu sudah memagari tubuhnya. Alvira mendesis marah. "Apaan sih lo! Lepasin nggak."
"Tidak sebelum kamu dengerin saya bicara."
Dalam posisi sedekat ini, Adreno bisa melihat manik sehitam arang itu lebih jelas. Ada kilat penolakan di sana, berbalut kemarahan dan rasa frustrasi. Kenapa cewek ini terlihat membencinya?
"Udah ngeliatin mata gue?"
Adreno tersadar dari lamunan. Ia mengulum senyum. "Mata kamu cantik."
Hah?
Alvira tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ini cowok gila, ya?
"Ternyata, selain belagu, lo juga tukang gombal ya? Sayang banget. Tapi gak ngaruh tuh ke gue."
Adreno terkekeh. Ia melepaskan kukungan tangannya dengan manik menyorot geli. Hanya sedetik karena setelahnya, kening cowok itu berkerut saat mendapati sesuatu di pelipis Alvira. Ia segera mengulurkan tangan, menyingkirkan anak rambut cewek itu dan mendapati pelipisnya terluka.
"Kamu berdarah."
Alvira menepis tangan Adreno yang masih menggantung. "Bukan urusan lo!"
"Minggir," desisnya mematikan.
Adreno menggeleng seraya tersenyum tipis, "Nggak. Saya harus obatin luka kamu."
Alvira menggertakkan giginya geram,"Gue gak butuh itu! Gak usah sok care sama gue," kemudian tangannya menunjuk wajah cowok itu. "Dan berhenti senyum palsu di depan gue."
Alvira mendorong bahu Adreno kasar, kali ini tidak ada penolakan. Dirinya segera pergi dengan langkah gusar. Tapi suara tenang Adreno menghentikan langkahnya yang hendak menyentuh lahan parkir.
"Kamu tahu Alvira..." Adeno berkata tenang, "saya sudah mengambil foto terburukmu tadi. Jadi... datanglah lebih pagi untuk melihat mading."
Setelah mengatakan itu, Adreno berjalan melewati Alvira yang mematung di tempatnya dengan tangan mengepal. Saat punggung Reno tepat berada di depan Vira, gadis itu langsung melayangkan pukulan. Tetapi bukan Adreno namanya jika tidak bisa menebak pergerakan Alvira dan memutar posisi mereka.
Adreno menyeringai, sedang tangannya telah mengunci pergerakan Alvira, membuat cewek itu menggeram marah.
"Lepasin gue!" Alvira mendesis, sedang tubuhnya berontak melepaskan diri.
Adreno makin mengeratkan cengkramannya. "Saya bisa bersikap baik jika saya mau, tapi jika kamu menolak dan menyerang saya..." ia mendekatkan bibirnya pada telinga Alvira, kemudian berbisik pelan,
"Saya bisa berbuat lebih kejam dari ini."
Setelah mengatakan itu, Adreno melepaskan cengkramannya seraya tersnyum manis. Kemudian menepuk puncak kepala cewek itu pelan. "Jangan lupa untuk mengobati lukamu."
Adreno kembali tersenyum sebelum berbalik dan meninggalkan Alvira yang mengumpat marah sambil mengusap pergelangan tangannya yang memerah.
"Sialan."
***