"Kamu percaya cinta pandangan pertama? Mungkin itu terdengar seperti magis, mampu membuatmu tak bisa berpaling dalam beberapa detik yang mendebarkan. Tapi, bagi Alvira, variabel-variabel di atas cuma menunjukkan satu peristiwa; kagum. Baginya, cinta hanya bisa timbul karena terbiasa. Sebab, dia sudah merasakannya sendiri."
***
Malam semakin beranjak. Sang rembulan memancar gagah dari balik kabut hitam tipis. Sedang, hawa dingin berembus, menusuk tulang. Membuat orang-orang memilih untuk bergelung dibalik selimut dari pada keluar rumah.
Jalanan tampak lengang, dengan kabut tipis yang menghalangi pandangan.
Sosok dalam kegelapan itu berjalan mengendap, di antara lorong-lorong, bersembunyi di balik bayangan, tampak menyaru dengan pakaian serba hitam dan kepala tertutup tudung jaket.
Langkahnya begitu pelan, teratur, sekaligus penuh perhitungan. Dalam otaknya sudah tersusun rencana-rencana cermat, penuh kalkulasi. Tidak akan ada satu hal pun yang akan menghentikan langkahnya. Meski itu hanya seekor tikus got yang tidak sengaja lewat.
Sosok itu hampir sampai pada tujuan sebelum siluet yang berjalan dalam kabut itu mengehentikan langkahnya. Cepat, ia bersembunyi di balik tong, menanti siluet itu mendekat, waspada. Dan, apa yang ia temukan kemudian membuatnya terperangah.
Itu hanya seorang gadis kecil yang sedang menenteng skateboard di tangan kirinya, dengan jari larinnya memegang es krim. Langkahnya santai dan mantap. Sesekali juga terdengar senandung kecil keluar dari bibir mungilnya, mengikuti alunan musik dari headset yang tersumpal di telinganya.
Terlalu cuek dan tidak mempedulikan sekitar. Dia bahkan tidak menyadari bahaya apa yang sedang menunggunya di balik bayang-bayang. Bersiap menerkam, menyingkirkan tikus kecil yang menghalangi jalannya.
Sosok dalam kegelapan itu menyeringai.
Hanya sedetik.
Karena setelahnya, raut itu berubah terkejut saat menyadari siapa gadis itu. Bibirnya mendesis, suaranya tertelan malam.
"Alvira?"
***