Jantung cowok itu berpacu cepat seiring dengan langkahnya yang semakin lebar. Di belakangnya sekelompok pria dewasa berseragam hitam tengah mengerjarnya tanpa ampun.
Adreno dijebak.
Cowok itu sedikit lengah karena kesibukannya mengurus acara dies natalis sekolah. Seharusnya ia tidak gegebah dan menuruti keinginan pria misterius itu tanpa pikir panjang.
Ancaman itu semakin sering datang hingga membuatnya sedikit kewalahan. Penjahat-penjahat itu seolah tidak pernah berhenti untuk mengincarnya. Adreno pikir, dirinya bisa sedikit bermain-main dengan mereka. Tapi dugaannya meleset, telalu menyepelekan malah membuatnya terlena dan mengendorkan kewaspadaan.
Manik kelabunya mengedar liar, mencari celah dan kesempatan untuk menghindar. Adreno hanya sendirian dan mereka bersepuluh, sangat kecil kemungkinannya Adreno akan menang melawan mereka. Saat melihat gang sempit di ujung jalan, ia menyeringai.
Di tengah langkahnya yang semakin cepat, Adreno mengambil ponsel dari saku jaketnya dan memencet tombol 1. Sedetik kemudian, seseorang dari balik sana sudah menjawab. Ia melirik papan kecil yang menggantung di tembok kanan sebelum membelokkan langkahnya.
"Gang Rahwana, dekat gedung PMI," ujarnya cepat dengan napas memburu.
Kabut tipis langsung menyapa Adreno pertama kali. Ia memasukkan ponselnya cepat saat menyadari ada seseorang di ujung gang. Sosok itu berhenti saat melihatnya dengan kedua tangan menggenggam skateboard erat-erat.
Adreno menggeram saat menyadari sosok itu, Alvira Anindya. Bentuk tubuh mungil dan rambut pendeknya yang khas membuat Adreno langsung mengenalinya.
Apa yang cewek itu lakukan di gang sempit seperti ini?
Sebelum Alvira berhasil lari menjauh, Adreno dengan sigap menangkap tubuhnya dan menarik cewek itu ke belakang kardus dan tong sampah untuk bersembunyi.
Adreno melonggarkan pelukannya, kemudian berbisik mengancam saat Alvira mulai memberontak. "Ini saya, Adreno. Kamu harus mau kerjasama jika masih ingin hidup."
Hening.
Tidak ada yang berkata setelahnya. Hanya suara detak jantung dan napas memburu keduanya yang terdengar. Bau busuk dari tong sampah di samping mereka mulai menguar dan berpadu dengan aroma parfum Adreno yang samar tercium,membuat mereka menyerit tidak suka.
Detik berikutnya, suara derap langkah mulai terdengar. Disusul dengan u*****n.
Saat melewati tong sampah dan tumpukan kardus, langkah mereka terdengar memelan. Seperti hendak menggeledah tumpukan itu dan mencari seseorang yang berada di baliknya.
Degup jantung kedua insan yang saling merapatkan tubuh itu semakin cepat, harap-harap cemas, menanti dengan waspada. Pikiran-pikiran buruk mulai datang, tubuh kedua insan itu menegang.
'Brak!'
Suara tumpukan kardus jatuh membuat keduanya refleks semakin merapat, benar-benar tanpa jarak. Adreno mengintip dari celah kardus dan mendapati salah satu dari mereka menendang tumpukan kardus di seberangnya bersembunyi.
Adreno mendekatkan mulutnya pada telinga Alvira untuk berbisik, "Nanti jika ketahuan, kamu harus lari sekencang mungkin. Dan saya akan menahan mereka. Mengerti?"
Alvira menggeleng kaku. "Gue bisa bantu lo kok. Lo sendirian Ren, lo mau mati sia-sia?" cicitnya balas berbisik.
"Ini masalah saya. Kamu tidak usah ikut campur bisa? Saya tidak suka dilindungi oleh perempuan."
Adreno ini kenapa keras kepala sekali? Alvira jago bela diri, sudah banyak medali yang ia peroleh dari pertandingan taekwondo. Dan Adreno pikir Alvira selemah apa?
"Gue gak lemah," ujarnya menyeruakan protes.
"Jangan bodoh! Kamu harus lari saat ada kesempatan," desisnya marah. Adreno tidak suka jika cewek di dekapannya ini terlalu ikut campur.
Adreno hanya... tidak mau cewek itu terluka karenanya.
Bersamaan dengan ucapan terakhir Adreno, tumpukan kardus di hadapan mereka berhamburan ke segala arah, menampakkan wajah-wajah garang ala penjahat dengan pakaian serba hitam. Mereka tersenyum menyeriagai, senang karena berhasil menangkap buruan.
Adreno segera mendorong tubuh Alvira menjauh. "Lari!"
Tubuh cewek itu terhuyung ke depan. Ia menatap jengkel pada Adreno yang mulai melayangkan pukulan pada para penjahat di depannya. Cowok itu kewalahan, satu banding sepuluh. Tidak seimbang.
Alvira menaruh tas dan papan skatenya asal. Ia mulai mendekat dan melayangkan pukulan pada pria berambut botak yang hampir menyerang Adreno dari belakang. Jantungnya berpacu cepat, pun dengan aliran darahnya yang mengalir deras. Alvira menyukai sensasi seperti ini, membuatnya semakin tertantang.
"Lari! Alvira! Kamu ini tuli atau apa?" Adreno menggeram kesal melihat tingkah Alvira yang seenaknya. Gadis itu mau cari mati ya?
Alvira menghiraukan bentakan Adreno dan tetap fokus pada kegiatannya meninju pria berjenggot lebat. Ia tesenyum culas saat melihat darah mulai keluar dari bibir buruannya. Ah, menyenangkan sekali. Alvira sudah lama tidak melampiaskan bakat terpendamnya.
Lima orang sudah mulai tumbang. Tenaga mereka sudah terkuras habis. Lengan Alvira memar karena ia sedikit lengah.
"Alvira! Awas!" teriakan Adreno menggema dalam gang sesempit ini. Cewek itu segera menoleh. Terlalu cepat, kepalanya nyaris bocor jika saja Adreno tidak dengan sigap menendang pisau yang digunakan si kepala botak untuk melukainya.
"AWAS DI BELAKANG LO!" Alvira menjerit saat melihat Adreno hampir mendapat tusukan pada bahunya. Adreno refleks menghindar, tapi Terlambat. Pisau itu berhasil menggores lengannya dan membuat darah merembes dari sana.
Adreno mengumpat tanpa suara. Ia menyerit dan memegangi lengannya. Bersamaan dengan itu, suara deru mobil terdengar. Adreno tahu siapa yang datang. Dengan sigap ia menendang pria yang telah menyerangnya hingga terjatuh.
Ia berlari ke arah Alvira, lalu menyambar lengan cewek itu dengan tangannya yang sehat dan segera menariknya berlari ke ujung gang.
Dan di depan sana, sebuah mercedes sudah menanti mereka dengan pintu yang terbuka lebar. Di kursi kemudi yang jendelanya terbuka, Alvira bisa melihat Raja dengan raut cemasnya.
****
Alvira menyandarkan tubuh pada jok mobil, mengatur debaran jantungnya yang menggila. Sedangkan Raja langsung memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Yang tadi itu benar-benar~ menegangkan. Seumur hidup, baru kali ino saja Alvira mengahadapi situasi seperti tadi. Dengan cowok semacam Adreno pula!
Alvira cuma bisa geleng-geleng kepala.
Setelah berhasil menguasai diri, ia menoleh. Ada Adreno yang masih memegangi lengannya yang berdarah. Cepat, Alvira mengeluarkan sapu tangan dari ranselnya dan menyerahkan benda itu pada Adreno. "Lukanya di bebat dulu aja sama ini. Takutnya lo keburu mati karena pendarahan."
Sebelah alis Adreno terangkat. Sudut bibirnya berkedut menahan tawa. "Sebentar."
Adreno melepaskan jaket kulitnya dan melempar benda itu ke jok belakang, menyisakan kaus polo yang mencetak tubuhnya. Kini, luka itu terlihat jelas. Tidak terlalu panjang, tapi dalam, karena darahnya tidak berhenti mengucur.
Alvira meringis di tempatnya duduk. Tanpa meminta izin, ia segera membebat luka itu dengan sapu tangan miliknya. Mungkin memang tidak terlalu membantu, tapi cukup untuk meredakan pendarahannya sementara. Untung saja Adreno tidak menolak dan membuat mereka berujung dengan perdebatan tidak berguna.
"Kamu lucu." tawa kecil Adreno terdengar, membuat Alvira mengangkat wajah dengan tatapan bingung.
Cowok di depannya ini gila, ya? Bukannya merasa kesakitan, dia justru tertawa! Astaga...
Alvira melipat tangannya di depan d**a. Tatapannya menyelidik, "Apanya yang lucu coba?"
"Wajah kamu."
Cewek itu langsung memalingkan muka. Menghembuskan napas kesal. Dasar cowok aneh.
"Jadi gue cuma dijadiin supir nih?" suara Raja terdengar dari kursi depan.
Adreno terkekeh kecil. "Anter cewek ini pulang dulu. Habis itu kita ke rumah sakit."
Bibir Alvira mengerucut kesal. Kakinya langsung menendang betis Adreno kasar. "Nama gue Alvira! Bukan cewek ini."
Tawa Adreno terdengar lagi. "Oke. Maaf, Alvira."
Dan kenapa ketika Adreno menyebut namanya terdengar begitu manis? Ah, sialan.
"Jadi, rumah lo di mana?"
Alvira mengalihkan tatapannya ke depan. "Rumah gue udah kelewat jauh. Lagian lo juga salah jalan."
Raja berdecak. "Terus, gue harus puter balik?"
"Lo bisa turunin gue di sini kalo enggak mau!" nada suara Alvira terdengar jengkel. Dia sudah sangat kesal hari ini, ditambah lagi pertemuan tak terduganya dengan Adreno yang nyaris membuat mereka celaka.
Sebenarnya, Alvira penasaran kenapa Adreno bisa dikejar penjahat seperti tadi. Ia ingin bertanya, sungguh. Tapi egonya melarang. Lagipula, mereka enggak sedekat itu sampai harus menanyakan masalah pribadi.
"Nggak usah nyolot gitu kali. Yaudah. Kita ke rumah sakit dulu yang deket dari sini." lagi, Raja berujar dengan nada datar. Ia hendak berbelok ke arah rumah sakit sebelum suara Adreno menginterupsi,
"Putar balik, Raja. Kita antar Alvira pulang dulu."
"Tapi--" ucapan Raja kembali tertelan ke ketika melihat sorot tegas Adreno dari pantulan kaca gantung di atasnya. Ya, Raja tahu. Mendebat seorang Adreno tidak ada gunanya sekarang.
Sementara itu, Alvira berkedip-kedip. Ia memandang Adreno heran. "Gue masih bisa nunggu kok. Ke rumah sakit aja dulu. Kasihan lengan lo butuh pertolongan."
"Saya enggak minta pendapat kamu, Alvira." Adreno berujar datar, menyenderkan punggungnya dan memejamkan mata.
Dan, mulut Alvira membulat tak percaya. Cowok ini benar-benar~
Sialan.
****