"Alvira Anindya, apa yang sudah kamu lakukan?"
Alvira menghentikan perdebatannya dengan Radit saat suara dingin Adreno terdengar. Berbalik, ia menyeringai sambil berkacak pinggang saat melihat sang ketua OSIS. Dengan langkah santai ia berjalan ke arah cowok itu, mengangkat dagu seolah menantang.
"Ya lo liat aja sendiri. Punya mata kan?" balasnya mencemooh.
Alis Adreno menukik tajam--hampir menyatu. Ia menaruh kedua tangannya ke saku celana sambil menggelengkan kepala, "Tingkah kamu kekanakan."
Di depan sana, tepat di tengah lapangan basket indoor, terlihat si dingin Raja dan Radit yang sedang memegang kening lelah. Raut wajah frustrasi tergambar jelas di sana. Ah, dan jangan lupakan Alvira yang berdiri angkuh. Sedang di sekeliling mereka terlihat kacau dengan spanduk, banner, dan papan-papan yang berceceran di lantai.
Dalam rangka menyambut diesnatalis SMA Pandhawa yang ke 52 tahun, pihak sekolah menyelenggarakan event basket antar SMA yang akan dimulai besok pagi. Acara itu merupakan acara tahunan untuk iring-iringan sebelum menuju acara puncak dua minggu lagi. Dan Adreno, selaku ketua OSIS, diberi wewenang penuh atas terselenggaranya acara tahunan ini.
Adreno bersama pengurus OSIS lain telah susah payah menyusun dan mempersiapkannya sebulan penuh agar event ini bisa terselenggara dan terlihat layak.
Tapi hanya dengan waktu beberapa jam saja, usaha mereka berubah sia-sia. Semuanya telah hancur gara-gara cewek bermanik arang itu. Dan jika keadaan lapangan kacau seperti ini, bagaimana dengan acara besok pagi?
Alvira berdecih. Bibirnya tersungging mengejek. "Kekanakan lo bilang? Punya kaca nggak sih di rumah? Lo yang mulai duluan, b**o! Kalo nama gue makin tercemar gara-gara tingkah lo, gue juga bisa dong bikin wibawa lo ancur di depan dewan guru?"
Adreno terkekeh, maniknya bersinar geli. "Oh ya? Kalau saya bilang ke dewan guru kalau kamu yang ngehancurin tempat ini, mereka percaya nggak ya?" ia mengeluarkan ponsel, bersiap memotret. Tapi Alvira lebih dulu menyambar ponsel itu dari tangan Adreno.
"Dasar tukang ngadu!" Alvira tersenyum sinis. "Lo keliatan kayak balita tau nggak. Bisanya cuma ngadu sambil ngrengek; Mama, dia ngerusakin mainan aku."
Alvira bahkan enggak peduli dengan aura Adreno yang berubah dingin. Yang penting, apa yang dirinya inginkan sudah tercapai.
Alvira hendak melewati cowok itu sebelum tangannya dicengkeram erat, persis pada lukanya yang belum mengering. Suara tajam cowok itu terdengar kemudian,
"Kamu harus tanggung jawab, Nona. Event basket besok pagi itu bukan acara main-main. Kalo kamu enggak mau tanggung jawab, saya enggak bakal segan bikin kamu dikeluarin dari sekolah."
Alvira meringis saat luka ditangannya ditekan kuat. "Sakit b**o! Lepasin!"
"Tidak sebelum kamu bertanggung jawab," balas Adreno tegas. Ia segera menyeret tangan cewek itu agar segera mengikutinya.
Alvira berontak. Telapaknya berdenyut-denyut. "Sakiiit! Lepasin gue bilang!"
Adreno melepaskan cengkraman tangannya saat merasakan cairan merembes dari balik perban di tangan Alvira menyentuh jemarinya. Sudut bibir Adreno terangkat, menyeringai.
"Saya bisa melakukan hal lebih buruk dari ini," cowok itu tersenyum manis, memiringkan kepala dan berkedip sekali. Ia mengamati ekspresi marah cewek itu sebelum melanjutkan, "dan...apa kamu tidak sadar jika kamu hanya sendirian di sini?"
Alvira mengerjab. Tubuhnya mematung. Bahkan luka di tangannya pun seolah kebas. Seharusnya dia segera pergi setelah mengacaukan semuanya. Dengan begitu, Adreno tidak perlu tahu apa yang terjadi di gedung olahraga sehingga acara pertandingan besok akan kacau dan Adreno yang disalahkan. Bukannya tetap berdiri di sini dan menunggu cowok itu untuk menantangnya dan menunjukkan jika Alvira bisa membalas perbuatannya.
"Lo gak akan berani ngapa-ngapain gue, Adreno. Gak akan!" Alvira berkata marah, meyakinkan diri sendiri. Ia hendak menampar cowok itu sebelum tangannya lebih dulu tertahan oleh jemari Adreno.
Dengan isyarat matanya, Adreno meminta Radit menuju pintu dan menutup akses keluar dari gedung olahraga dan ditanggapi dengan anggukan singkat sebelum cowok itu melangkah pergi.
Setelah memastikan Radit melaksanakan perintahnya, ia kembali menatap Alvira tenang. "Oh ya? Saya enggak sebaik itu," Adreno menggeleng sebelum melanjutkan,
"asal kamu mau bertanggung jawab dan berkompromi, saya akan dengan senang hati membantu kamu menyelesaikan kekacauan ini. Tapi kalau tidak... kamu tahu pasti apa yang akan saya lakukan."
Setelah mengucapkan itu dengan nada datar dan mengintimidasi, Adreno melepaskan pegangannya, lagi-lagi tersenyum manis. Mengabaikan tubuh Alvira yang membeku di tempatnya.
"Jadi, bagaimana?" katanya dengan nada manis.
Alvira berkedip dua kali. Kenapa sikap cowok dihadapannya ini tidak bisa tertebak? Dia baru saja menekan luka Alvira hingga berdarah, lalu mengancamnya. Tapi sedetik kemudian, dia bisa tersenyum semanis itu, seolah tak pernah terjadi apapun.
Salah apa Alvira di masa lalu sampai harus berhadapan dengan makhluk manipulatif semacam Adreno?
Alvira menghela napas, bahunya merosot. "Gak ada pilihan lain kan? Percuma. Gue juga gak bisa keluar dari sini."
Setelah itu, dirinya berjalan gontai menyusul Raja yang sudah lebih dulu membenahi keadaan.
****
Alvira menggerutu sambil sesekali mengumpat. Harusnya sore ini ia sudah berada di lapangan skateboard dan berkumpul dengan kawan-kawan komunitasnya, bukannya tertahan di sini dan menyelesaikan kekacauan yang ia buat.
Alvira bisa saja berontak dan memaksa keluar. Tapi si ketua OSIS sok sempurna itu lebih licik dari dugaannya. Ia sudah mengunci gedung dan membuat Alvira terjebak di sini. Mau tidak mau, ia harus menyelesaikan kekacauan ini jika ingin segera pulang.
Alvira memasang bendera berlambang SMA Pandhawa pada tiang setinggi dua meter di depannya. Sesekali berjinjit karena tubuh mungilnya tidak cukup tinggi untuk menjangkaunya.
Alvira mengelap keringat yang menetes di pelipisnya kasar sebelum menatap marah pada sang ketua OSIS yang sedang duduk santai di bangku beton memanjang sambil meneguk air mineral.
"Katanya mau bantuin?"
Adreno mengangguk singkat sebelum kembali meninum air mineralnya.
Alvira yang melihat itu semakin geram. Sudah sejak satu jam yang lalu cowok hanya diam di sana, sesekali memainkan ponsel dan minum. Sedangkan Alvira sudah menyelesaikan hampir seperempat pekerjaannya--dibantu oleh Raja dan Radit, tentu saja. Walaupun seringkali Alvira mendengar keluhan dan cacian Radit padanya.
Alvira mendengus kesal, kemudian kembali berjinjit dan memasang bendera itu pada tiangnya. Sedikit lagi! Ya, sedikit lagi sebelum sebuah tangan kokoh mendahuluinya dan mengikat tali bendera itu dengan mudah.
Alvira mematung saat mencium aroma perpaduan antara mint dan pinus itu melingkupi indra penciumannya. Tanpa sadar, ia menahan napas. Alvira sadar siapa sosok yang sedang berdiri di belakangnya dengan jarak teramat dekat. Tentu saja Adreno Yudhistira!
Alvira segera berontak dan keluar dari kukungan cowok itu. Lalu memalingkan wajah saat merasakan pipinya memanas.
"Jangan memaksa jika kamu tidak bisa, kamu bisa meminta bantuan saya."
Alvira hanya melambaikan tangannya tak acuh menanggapi perkataan sang ketua OSIS, tidak berani menoleh dan mendapati Adreno menyeringai karena melihat pipinya memerah. Sialan. Kenapa dirinya bisa bereaksi se-norak ini?
Ia menggerutu sambil berjalan cepat menghampiri Raditya yang terlihat kesusahan dengan banner yang melorot di samping kiri lapangan.
Alvira menepuk bahu Radit keras. "Gitu aja gak bisa,"
Banner yang hampir terpasang itu kembali jatuh. Raditya menghela napas jengkel, lalu menatap cewek berambut pendek dibelakangnya sebal.
Alvira tergelak.
"Lo udah gue bantuin, malah bikin kacau kerjaan gue. Mau lo tuh apa sih Nyet?"
Alvira mengehentikan tawanya. "Gak usah sinis gitu kali. Gue mau bantuin lo masang banner," balasnya cepat.
Radit menggeleng. "Gue bisa sendiri Nyet. Mending lo apus mahakarya menjijikan lo di papan skor," jawab cowok itu sinis.
Alvira tertawa kencang sambil memegangi perutnya. Ia tahu betul apa yang dimaksud Radit. Tadinya Alvira hanya sedang bosan menunggu kedatangan Adreno dan mencoret-coret papan skor dengan tulisan alay dan gambar tiga cowok itu sedang menari sambil membawa bunga. Menggelikan.
Alvira menghentikan tawanya saat Radit memilih diam dan melanjutkan pekerjaannya.
"Gak usah ngambek sih, gitu aja marah." Alvira memutar bola matanya sebelum beranjak dan membersihkan papan skor.
***
Pukul 21.00 malam.
Pekerjaan mereka sudah selesai.
Wajah Alvira sudah terlihat kumal dengan sisa keringat yang mulai mengering, sedang rambut pendeknya sudah lecek tak berbentuk. Sangat berbanding terbalik dengan Adreno yang walaupun berkeringat, tapi masih terlihat tampan dan wangi. Rambutnya yang acak-acakan malah membuatnya semakin seksi.
Dunia memang kadang enggak adil.
Dan Alvira hanya bisa melotot ketika Adreno mendorongnya untuk duduk di kursi beton. Cowok itu menyodorkan air mineralnya yang masih tersisa setengah. "Minum, Alvira."
Alvira memandang Adreno skeptis. "Bekas lo? Enggak deh, makasih!" didorongnya botol itu agar menjauh.
Sebelah alis cowok itu terangkat. "Saya enggak punya penyakit menular."
"Gue gak nanya," balasnya sinis. Memalingkan muka sambil melipat tamgan ke depan d**a.
"Udah, minum aja kenapa sih Vir? Gak usah jaim gitu please."
Suara bernada jahil itu terdengar dari belakang. Alvira segera menoleh dan mendapati Raditya tengah menatapnya dengan sorot jenaka.
"Lo bisa diem gak Nyet?"
Radit tergelak. "Lagian, lo sok nolak rejeki. Muka lo udah pucet gitu. Gue aja gak ditawarin loh," balasnya sambil menaikkan alis menyerigai.
"Mau lo apa sih?"
"Godain lo. Tau aja lo terpesona sama gue."
Alvira mendesis sinis, "Sampe badak beranak curut juga gue gak bakalan terpesona sama lo Nyet! Ngaca dulu sana."
Raditya hanya terkekeh di tempatnya. Kemudian menoleh saat merasa pundaknya tertepuk dan mendapati Raja dengan tatapan datarnya.
"Ayo balik." ajak Raja.
Cowok berambut cepak itu mengangguk. Lalu menatap Alvira sinis, "Lo gak ada mau bilang makasih sama kita? Udah kita bantuin loh," sindirnya tajam.
Alvira memutar bola matanya. "Ya deh. Makasih ya Bang Radit dan Bang Raja yang imoeeet, loechoe dan baek hatiiiih," balasnya tak kalah sinis.
Raditya melotot, hendak menghampiri cewek itu sebelum Raja menahan bahunya.
"Udah. Kita duluan Ren." setelah mengucapkan itu, Raja segera menarik Radit agar mengikutinya. Sedang Adreno hanya mengangguk simgkat sebagai jawaban.
Setelah kedua cowok itu pergi, Alvira juga hendak menyusul, tapi lengannya di tahan oleh Adreno. Ia menoleh dan mendapati cowok itu sedang berkutat dengan luka di telapak tangan Alvira yang sudah terbuka perbannya.
Alvira sendiri tidak sadar, entah sejak kapan di sebelah cowok bernetra kelabu itu sudah tersedia kotak P3K.
Alvira menjauhkan tangannya. "Gak usah. Gue bisa sendiri, biar gue obatin lagi di rumah."
Adreno menggeleng tegas. "Tidak. Saya harus bertanggung jawab, saya yang menyebabkan lukamu semakin parah." kemudian menarik kembali tangan Alvira.
Ternyata, selain sikapnya yang sering berubah, Adreno juga orang yang keras kepala dan tidak menerima penolakan. Alvira mendengus.
Adreno... entah kenapa terlihat seperti kilau di ujung samudera. Orang-orang tidak akan tahu kilau itu berasal dari benda apa jika belum melihatnya dari dekat. Hanya bisa menebak dan menerka-nerka dengan pikirannya masing-masing.
Adreno perlu untuk dipahami. Bukan dipuja atau di agung-agungkan dari jauh.
Tanpa sadar, perban ditelapak tangan Alvira telah diganti dengan yang baru. Adreno membereskan peralatan dengan cekatan.
Alvira menghela napas sebelum mengambil tasnya yang tergeletak di bawah bangku, kemudian bangkit dari duduknya.
"Kamu pulang sendiri?"
Alvira menoleh. Cowok itu tengah menatapnya datar sambil meyampirkan tas punggungnya di bahu.
Alvira menggeleng. "Gue udah sms pak Agus buat jemput. Lo gak usah sok peduli sama gue."
Setelah mengatakan itu, Alvira segera beranjak dan meninggalkan Adreno yang kemudian menyusulnya dari belakang.
***
Sepi.
Sekolah nampak gelap dengan pencahayaaan yang minim.
Adreno menatap awas sekitar, sesekali mengecek ponselnya yang menerima pesan baru. Ancaman-ancaman itu semakin sering datang dan mengacaukan fokus Adreno.
Cowok itu bisa saja langsung mendatangi sang pengancam dan memberinya pelajaran yang tidak akan pernah si pelaku lupakan seumur hidupnya. Adreno sudah tahu siapa orangnya, tentu saja.
Tapi sepertinya... Adreno ingin bermain-main dulu sebelum menerkam buruannya. Lagipula, kesibukan OSIS beberapa minggu ini cukup menguras tenaga dan membatasi ruang geraknya.
Adreno menatap punggung Alvira yang mulai menjauh. Gadis mungil itu terlalu berani untuk ukuran anak SMA. Sudah banyak cerita tentang gadis itu yang sudah ia dengar. Dan yah, Adreno merasa sedikit...penasaran. Sebab mungkin, baru kali ini dirinya menemukan cewek unik semacam Alvira.
Dia itu~ benar-benar keras kepala. Tidak pernah bisa menerima kekalahan dan seringkali bersikap semaunya. Ah, dan jangan lupakan satu hal juga. Ceroboh.
Adreno nyaris menyemburkan tawa ketika cewek itu nyaris terjatuh karena tersandung kerikil. Makian dalam berbagai bahasa aneh langsung keluar dari mulutnya kemudian.
Astaga...
Adreno benar-benar enggak menyangka jika bertemu cewek itu membuat dirinya terhibur. Ya, setidaknya Adreno punya seseorang yang bisa ia jadikan pengusir bosan.
****