Deri sedang sibuk di Galeri miliknya menyiapkan pameran yang akan digelar 2 bulan lagi. Ia tampak percaya diri dengan berbagai produk ciptaannya yang berbau batik.
Semua berkat Ambar sang ART yang sukses memberikan sumbangan ide kreatifnya. Dibalik kepolosan Ambar tersimpan banyak bakat seni bukan hanya pandai membatik ia juga memiliki ide-ide yang cemerlang dalam menciptakan sebuah karya seni yang bernilai tinggi jauh dari perkiraan Deri sebelumnya. Dirinya yang sekolah di jurusan seni rupa dan sudah melanglang benua Eropa pun sepertinya kalah.
Semua itu membuat Deri terkagum-kagum. Ambar merupakan gadis istimewa bagi Deri. Seandainya gadis yang berprofesi sebagai ART itu menimba ilmu di kota besar dan mengasah bakat seninya mungkin ia akan menjadi seorang seniman besar.
Ada sederetan gadis cantik yang pernah berlabuh di hatinya. Namun semua tak terlalu istimewa. Berbeda dengan Ambar yang menurutnya unik. Entah apa yang ia rasakan, setiap saat ia selalu merindukan Ambar.
"Eh Der pagi-pagi lo udah senyum-senyum. Ada apaan?" Gio yang baru datang ke galeri lukisan milik Deri menatap sahabatnya heran. Akhir-akhir ini Deri selalu menampilkan wajah cerahnya dengan senyuman yang menawan. Hari-harinya dilalui dengan perasaan gembira. Jauh berbeda dengan Deri beberapa bulan yang lalu.
"He..he...gua lagi ngebayangin pameran kali ini akan sukses besar," jawabnya penuh dusta. Padahal bukan hal itu yang membuatnya sumringah. Ada alasan lain yang dirahasiakannya.
"Amin," ucap Gio. Ia pun berharap demikian.
"Gio, gua pergi dulu ya sebentar." Tiba-tiba Deri pamit.
"Kemana?" tanya Gio kepo. Akhir-akhir ini sikap sahabatnya cukup aneh.
"Ada urusan penting," jawab Deri. Ia tidak ingin Gio tahu padahal selama ini tak pernah ada rahasia diantara mereka.
Deri meninggalkan Gio yang masih berdiri keheranan dengan sikap dan tingkah Deri.
Pemuda tampan itu lalu mengendarai mobil merci jadulnya. Mobil keluaran tahun 80an yang dimodifikasi sedemikian rupa. Pria tampan dengan brewoknya itu menuju sebuah mall di pusat kota.
Deri sengaja mengunjungi sebuah toko perhiasan yang terletak di pusat perbelanjaan itu.
Di sana ia langsung disambut oleh para pelayan. Setelah sepuluh menit berada di depan etalase Deri langsung memilih sebuah kalung dengan liontin bentuk hati.
"Mbak yang ini ya," ucap Deri seraya menunjukkan ke arah perhiasan yang dipilihnya.
Sepertinya ini bagus. Deri tersenyum puas.
***
Di kediaman Hadiwijaya tampak seorang ART muda memegang bungkusan kado. Perasaannya bercampur aduk antara senang dan bingung.
Senang lantaran mendapatkan hadiah dari orang yang dikaguminya. Bingung karena pemberian itu terlalu berlebihan. Meskipun demikian Ambar terus tersenyum.
"Ambar, ngapain senyum-senyum sendiri?" tanya Sri kepada Ambar. Sedari tadi teman seprofesi Ambar itu memperhatikan rekannya.
"Mbak Sri lihat nih mas Deri ngasih aku hadiah!" seru Ambar dengan senyuman yang mengembang.
Tadi sore sebelum Deri keluar rumah, pria itu memanggilnya dan memberikan bingkisan itu.
"Hadiah? Dari siapa?Emang kamu ulang tahun?" Sri menatap Ambar.
"Dari Mas Deri," jawab Ambar jujur.
"Mas Deri?" Sri setengah tak percaya. Dirinya yang sudah 3 tahun bekerja tak pernah mendapat hadiah dari anak-anak Bu Ratih.
"Katanya sih ucapan terimakasih karena aku sudah membantu mas Deri," jawab Ambar masih dengan senyuman.
"Oh..." Sri mengangguk paham. Tentu saja ia tahu betul belakangan Ambar sibuk membantu Deri.
"Buka dong, aku kepingin tahu isinya apa." Sri penasaran.
"Stt...jangan di sini, kita ke kamar. Aku juga penasaran apa isinya," bisik Ambar. Ia tak mau jika Bi Titi ART lain di rumah itu yang merupakan tangan kanan Bu Ratih mengetahuinya.
Kedua wanita muda yang berprofesi sebagai ART itu pun segera menuju kamar Ambar. Menutup pintu rapat-rapat.
"Mbak tolong bukain dong. Aku deg..deg..an!" Ambar malah meyerahkan bingkisan yang dipegangnya.
"Kamu saja yang buka. Itu kan hak milik kamu." Sri menolak.
"Buruan tunggu apa lagi. Ga usah takut, ga mungkin bom isinya," ucap Sri.
Dengan ragu dan penuh kehati-hatian Ambar membuka bungkus kado. Di dalamnya terdapat sebuah kotak.
"Buka Mbar!" perintah Sri.
Ambar langsung membuka kotak itu.
"Kalung....!!" seru Ambar dan Sri barengan.
Wow, mas Deri ngasih hadiah kalung." Sri membelalakan matanya. Kalung dengan liontin berbentuk hati.
"Ini harganya kan mahal," gumam Ambar. Seumur hidup belum pernah dirinya mendapatkan hadiah kalung emas apalagi dari seorang lelaki.
"Sepertinya ada sesuatu deh. Tidak mungkin banget seorang pria memberikan hadiah mahal kepada wanita jika ga ada apa-apa," ucap Sri penuh kecurigaan.
Ambar hanya diam kebingungan.
***
Pagi ini tampak cerah secerah hati Deri. Pria muda itu langsung turun ke lantai bawah. Menuju bagian belakang rumah. Suasana rumah tampak sepi karena sang Mami dan Papi sudah meninggalkan rumah sejak satu jam yang lalu.
Ia sengaja hendak menemui ARTnya. Di teras belakang ia langsung menemukan orang yang dicarinya. Ambar baru selesai mengepel lantai.
"Hmm, Gimana kamu suka hadiahnya?" tanya Deri sambil tersenyum manis ke arah Ambar. Ambar berusaha menstabilkan detak jantungnya. Deri terlalu tampan untuk dirinya dan perasaannya selalu aneh jika berdekatan dengan Deri.
"Suka mas, terima kasih banyak ya. Tapi sepertinya saya ga bisa menerimanya," ucap Ambar. Dia lalu merogoh saku roknya, ia keluarkan kotak berisi kalung pemberian Deri.
"Lho kenapa? Aku iklas kok. Kamu pake ya..." ucap Deri. Pemuda itu sedikit kecewa karena Ambar tidak memakai kalung pemberiannya.
"Saya rasa itu berlebihan, Mas. Saya tidak pantas. " Ambar menyerahkan kotak berisi kalung pemberian Deri kemarin.
"Berlebihan gimana maksudnya?" Atanya Deri pura-pura tak paham.
"Hadiah ini terlalu berharga buat saya." Ambar memaksa tangan Deri menerima kotak itu.
Kotak itu sekarang berpindah ke tangan Deri. Pria bersweater abu-abu itu menatap Ambar lalu tersenyum.
"Biar aku pakaikan." Deri membuka kotak perhiasan itu. Dengan gerakan cepat membalikan tubuh Ambar hingga membelakangi dirinya.
Ambar tidak bisa mengelak. Kurang dari satu menit kalung itu sudah terpasang di leher Ambar.
"Cantik," ucap Deri yang terdengar jelas oleh Ambar. Tubuh Ambar menegang dengan detak jantung semakin kencang. Ia tidak mampu berkata-kata.
Seumur hidupnya belum pernah ada yang menyebut kata "cantik". Apakah mata Deri sudah rabun, entahlah.
"Terima kasih Mas." Hanys kalimat itu yang mampu diucapkan oleh Ambar.
"Kamu pakai, ingat jangan pernah dibuka!" ucap Deri seolah memerintah. Pria itu lalu pergi meninggalkan Ambar.
Usai kepergian Deri, Ambar langsung berlari ke kamarnya. Mengunci diri di dalam Ua butuh menenangkan dirinya
Ambar meraba dadanya. Detak jantungnya tidak beraturan. Sejak bersama dengan Deri perasaannya jadi aneh, cintakah ia kepada pria bernama Deri itu?
Kini Ia duduk di depan meja rias kamarnya sambil menatap dirinya. Ia sadar dirinya tak secantik teman-teman Deri yang pernah ke rumah. Jika dibandingkan dengan Sri pun Ambar merasa Sri lebih cantik.
Tangannya meraba ke arah lehernya. Kembali memperhatikan kalung pemberian Deri yang tadi sengaja dipasangkan oleh pria yang berstatus anak majikannya.
Mas Deri....apakah aku jatuh cinta sama mas Deri.
***
TBC