Semua pandangan Mengarah kepadaku dan di depan semua rekan kerjaku ada pria berpostur tubuh kekar.
Tampan, sangat tampan. Apa mungkin pria itu Bos besar ?
Aku memang sudah terlambat dan terlambat beberapa menit saja tapi kenapa aku harus memulai hariku dengan tatapan semua orang.
Pegie memberiku isyarat dan menunjuk Bos besar itu. Aku tau maksud Pegie. Dia pasti menyuruhku menghadap langsung.
Tanpa rencana apa pun, aku langsung menghampiri Bos besarku itu, semoga saja dia pria yang baik hatinya.
"Pak, maafkan saya, saya terlambat, karena berhubung hari ini adalah hari keduaku di Los Angeles jadi aku harus mencari alamat ini dulu dan membutuhkan waktu yang lama," kataku mencoba menjelaskan.
Aku menunduk.
Bukan menundukkan kepala karena alasan lain tapi karena rasa hormatku kepada Bos besar ini. Bos besar itu membalikkan tubuhnya dan kini menatapku.
"Perusahaanku tak membutuhkan karyawan seperti dirimu," kata Bos besar itu.
Semua karyawan masih menatapku.
Aku sungguh malu.
Aku menggenggam lengan bos besar ini berharap ia mau memaafkanku..
Ku angkat wajahku dan kutatap dirinya penuh rasa kasihan di wajahku. Tapi, apa yang ku lihat ?
Bos besar ini adalah pria--
Pria sombong dan menyebalkan kemarin.
OMG!
A-apa ini?
Kami saling menatap. Ia menatapku dengan tatapan mengintimidasi.
Tersenyum sinis.
Jantungku berdetak kencang, apa yang akan di lakukan pria menyebalkan ini ? Yang juga adalah bos besarku.
Kami masih saling menatap---
Oh..
Tatapannya bagai malaikat pencabut nyawa.
Apa yang harus ku lakukan?
Apa yang harus ku katakan?
Kenapa bisa pria sombong ini adalah bos besarku?
Kenapa?
Pertanyaan itu berkecamuk di dalam pikranku sendiri.
Tatapan pria ini begitu sangat dingin. Semua karyawan melihat ke arahku...
Apa ini?
Kenapa dia tak mengatakan apa pun? Apa dia memiliki rencana? Ada apa dengan tatapannya?
"Kau harus keluar dari kantorku!" kata pria sombong itu sembari menunjuk lift.
Akhirnya dia mengatakan sesuatu juga. Walau perkataannya sedikit menyakitkan.
"Tapi, Pak, saya mohon jangan pecat saya," kataku.
Dia mengabaikan perkataanku serta permintaanku dan berjalan menaiki tangga.
Apa yang harus ku lakukan?
Berpikirlah Emily.
Semua karyawan menertawakanku sembari geleng-geleng, mungkin karena sikapku yang seperti anak-anak yang meminta uang jajan, namun tidak dikasih.
Aku sungguh malu.
Hari pertamaku kerja saja aku sudah di pecat.
Bagaimana ini?
Oh tuhan ... beri aku petunjuk.
"Apa yang kau lakukan? Pergi dari sini!" kata wanita yang tadi menumpahkan minuman di bajuku,
Yang juga sudah berani membuatku terlambat dan mendapatkan hari pertama yang sangat buruk.
"Kau--- " ingin rasanya aku mencabik-cabik wanita itu tapi Pegie memberikanku kode agar tak melakukan hal yang akan membuatku menyesal.
Apa yang akan ku katakan kepada Mommy? Belum saja aku mulai bekerja tapi aku sudah di pecat.
Aku tak akan menyerah.
Aku melangkah menaiki tangga berjalan itu entah apa namanya dan menuju ke ruangan pria sombong dan menyebalkan itu
Beberapa orang mencoba menghentikanku tapi aku tak menyerah dan pada akhirnya aku berhasil naik ke ruangannya yang di jaga 2 Bodyguard.
Aku tak akan mau kalah begitu saja. Aku tau ini adalah perusahaan miliknya tapi kesalahanku hanya satu dan itu membuatku harus keluar? Tidak adil.
Di mana perasaan pria menyebalkan itu. Kedua bodyguard itu membekukku.
Memegang kedua tanganku dan menghalangi jalanku.
"Jangan pecat saya, saya tau kesalahan saya kemarin, jadi saya mohon jangan pecat saya."
Pria menyebalkan itu hanya diam saja dan memilih membelakangiku.
"Saya akan melakukan apa pun asalkan jangan memecat saya, jika kau menyuruhku membersihkan seluruh kantor ini, saya akan melakukannya," kataku. Lagi-lagi pria itu hanya diam saja.
Aishh menyebalkan.
Tak lama kemudian dia melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada kedua bodyguard nya agar melepaskanku. Ia pun beranjak dari duduknya dan menghampiriku.
Aku mundur selangkah karena pria itu sudah sangat dekat, tapi ia tak menghentikan langkahnya.
Aku kembali mundur beberapa langkah dengan wajah yang tegap dan terjebak di rak buku miliknya.
Aku memejamkan mataku karena takut.
"Wanita kampung." Kata singkat yang cukup membuat jantungku hampir copot.
"Aku akan melakukan apa pun asalkan jangan memecatku, aku tidak mungkin pulang ke kampung tanpa membawa uang sepersen pun."
Aku mengulang perkataanku berharap ada sedikit cela untukku.
"Bawa dia keluar!" perintah pria menyebalkan itu.
Kedua bodyguard kembali memegang kedua tanganku dan berusaha membawaku keluar dari ruangan pria menyebalkan itu. Tapi aku tetap tak mau kalah.
"Kau menyebalkan, aku tau ini perusahaan milikmu tapi kau sudah membuat dirimu terlihat dan terdengar kesepian karena kau sudah membuang waktumu yang berharga itu dengan berurusan dengan wanita sepertiku yang kau bilang wanita kampung," kataku.
Perkataan itu cukup membuatnya menghentikan langkahnya.
Haha.
Aku suka dengan perkataanku. Perkataan yang tak ku rencanakan.
Aku tau yang ku lakukan adalah kesalahan tapi walau aku harus keluar dari perusahaan ini tapi aku harus keluar secara terhormat.
Pria itu menghampiriku.
Aku berusaha tak menundukkan kepala dan masih mendongak.
Ia semakin dekat dan hentakkan kakinya begitu mengeluarkan bunyi khas dari sepatunya.
Hentakkan itu semakin mengintimidasiku. Siapa pun yang mendengarnya dapat mengenalinya.
"Berlutut."
Aku mengangkat kepala karena aku terkejut dengan permintaan Bos besar ini.
"Apa maksudmu?"
"Berlutut."
"Apa?"
"Keluar!"
Aku langsung membayangkan bagaimana aku dan mommy dipermalukan dan bagaimana bangganya ketika mommy ketika tau aku akan bekerja di kota besar ini.
Jika aku harus berlutut akan aku lakukan agar pekerjaan ini tak hilang dari hadapanku.
"Keluar!" Pria menyebalkan itu mengulang perkataannya.
Dengan berat hati ... aku berlutut. Perasaan ini begitu teriris untuk pertama kalinya dalam hidupku harga diriku jatuh di tangan pria angkuh ini.
"Ini 'kan yang kau inginkan?" tanyaku masih dengan nada keras.
"Bawa dia keluar!" Perintah pria angkuh itu kepada kedua bodyguardnya.
"Baik, Tuan."
Aku lalu kembali di bekuk oleh kedua bodyguardnya.
"Kau 'kan menyuruhku untuk berlutut, aku sudah melakukannya," kataku.
Pria angkuh itu tak perduli.
"Bagaimana dengan pekerjaanku?" tanyaku lagi.
Pria angkuh itu memberikan isyarat agar kedua bodyguardnya melepaskanku dan memberi isyarat kepadaku agar keluar dari ruangannya.
Sebenarnya siapa pria ini? Kenapa dia begitu meremehkan aku?
Aku tau aku bukan wanita kaya dan bukan dari keluarga yang berada tapi aku juga punya harga diri.
Walaupun harus jatuh di hadapan pria menyebalkan ini.
"Apa aku sudah bisa bekerja?" tanyaku berusaha lembut.
Lagi-lagi dia hanya memberi isyarat agar aku keluar dari ruangannya.
Apa sebenarnya keinginan pria ini?
Aku dengan berat hati berlutut di hadapannya, tapi pria menyebalkan ini hanya terus menyuruhku keluar.
Aku keluar dari ruangannya. Berusaha menenangkan perasaanku. Perasaan yang ia hancurkan dalam sekejap.
Ketika aku berjalan menuju lift seseorang memanggilku.
"Nona Emily," panggil suara seorang wanita.
"Iya?"
"Meja kerjamu ada di sana, kamu bisa mulai bekerja," kata wanita yang belum ku ketahui namanya.
"Benarkah?" Aku sangat senang mendengar hal itu.
Pandanganku menuju ke atas, pria menyebalkan itu sedang menatapku dari atas sana. Dia tampan sangat tampan apalagi ia berdiri tegap dengan memasukkan kedua tangannya di saku celananya seperti itu.
Bak malaikat yang akan datang menolongku. Tapi sikapnya tak lebih dari seorang Iblis, yang hanya mengandalkan kekuasaannya demi apa pun yang ia inginkan.
Aku langsung duduk di samping Pegie yang kini menatapku
"Hai, jam istirahat nanti kita ngobrol, ya," kata Pegie.
Aku hanya bisa mengangguk
Walaupun Pegie sudah meninggalkanku sampai aku seperti ini, namun hanya dia satu-satunya temanku di kantor ini yang juga sedikit baik padaku.
Jadi tak ada pilihan lain selain melupakan semua yang terjadi.
BERSAMBUNG.