Emily Pov.
Sampainya di kantor, aku langsung duduk di kursi kerjaku dan mulai menyalakan laptop. Aku tak sengaja melihat ke atas. Aishh ... aku melihat pria sombong itu, pagiku harus seperti ini karena lagi-lagi melihatnya, entah mengapa rasanya aneh saja ketika aku harus bertatap muka dengan pria sombong itu.
Pria yang memintaku menikah dengannya demi putranya. Saat ini dia sedang menatapku dari atas sana.
Apa aku harus menerimannya? Aku begitu bingung bagaimana nantinya jika aku menyakiti putranya. Pria sombong itu memberikanku isyarat agar aku ke sana dan menemuinya
Apa harus? Setiap pagi dan setiap waktu harus bertemu dengannya?
Tapi, jika tak ku terima, bagaimana dengan Mommy? Dengan perasaan yang penuh dengan kebingungan aku pun menaiki tangga.
Tentu saja semua orang melihatku dan ada pula yang saling berbisik. Aku mendengar mereka berbicara seenaknya tapi itu hak mereka untuk menilaiku.
Bukankah penilaian selalu datang dari orang lain?
"Mau apa wanita kampung itu ke ruangan CEO?" Aku mulai mendengar semuanya saling berbisik.
"Tentu saja mau buat masalah atau buat malu, mengemis atau yang lain-lain."
"Tidak tau diri sekali, ya."
"Kalau dari kampung 'kan memang begitu kelakukannya."
"Tidak punya sopan santun."
"Kita lihat saja nanti, wanita itu pasti di pecat dan di tendang keluar dari kantor ini."
"Ha ha ... aku tidak sabar untuk melihat hal itu."
Semua orang pun menertawakanku. Aku masuk kedalam ruangan pria sombong itu dimana ada bodyguard didepan ruangannya yang selalu setia menjaganya.
Aku duduk di sofa.
"Bagaimana? Kau sudah memutuskan?" Pertanyaan itu kembali membuat kepalaku seakan mau pecah saja. Pertanyaan itu sangat membebaniku.
Aku bingung,
Apa yang harus aku putuskan?
"Kenapa tak kau jawab?" tanya pria menyebalkan ini.
"Baiklah, aku setuju tapi aku juga harus mengajukan syarat padamu."
"Apa?"
"Aku punya dua syarat."
"Sebutkan saja. Uang? Harta? Akan ku berikan." Dia memang sombong.
"Pertama, kau tak boleh memberitahukan kepada ibuku jika pernikahan ini sandiwara."
"Oke. Kedua?"
"Kedua, aku harus tetap bekerja."
"Tidak boleh. Kau harus berada di dekat Jean setiap waktu." Dia menatapku penuh amarah. Matanya terlalu tajam dan menakutkan.
"Lantas ... aku harus berhenti bekerja, begitu?"
"Iya harus."
"Aku tidak mau, aku ke sini dengan tujuan bekerja, bukan menikah." Aku menegaskan.
"Kau wanita yang aneh!" tekan pria sombong ini.
"Aneh bagaimana maksudmu?" tanyaku.
"Ya sudah. Aku izinkan kau bekerja, ada lagi?"
Aku pun menggeleng.
Ya ini hanya kesepakatan, jadi aku harus mengatakan apa yang ku inginkan.
Tak lama kemudian seorang pria yang ku kenal masuk kedalam ruangan pria menyebalkan ini, siapa lagi pria yang ku kenal di kota ini? Kalau bukan Jake. Dia pria baik, sangat baik. Jadi selama ini Jake bekerja di sini?
Jake sudah tahu aku bekerja di sini, namun dia tak pernah mengatakannya jika dia tau perusahaan ini dan dia bekerja di sini juga.
"Emily?" tanyanya.
Apalagi yang harus ku sembunyikan dia sudah melihatku berada di sini dan sebentar lagi aku akan menikah dengan sepupunya. Lebih cepat ia tau lebih baik jika ia mengetahuinya.
"Jake, kamu-- "
"Iya. Aku bekerja di sini, kamu disini?"
Aku sudah tau jika dia bekerja di sini, itu terlihat dengan dokumen yang ia bawa ditangannya.
"Kamu 'kan tau aku bekerja di sini."
"Maksudku kenapa kau berada di ruangan ini? Apa kau mengenal Dylan?" Pertanyaannya membutaku bingung dan tidak tahu harus menjawab apa.
Pria menyebalkan itu langsung menatapku dan memberikanku kode. Aku tak tau apa maksud dari lirikan matanya.
"Di'dia--"
Aduh ... aku tak bisa bicara.
"Dia siapa, Emily?"
"Ma'maksudku--"
"Kau mengenal, Emily? Dia 'kan calon istriku," sambung pria menyebalkan itu.
"Apa? Calon istri? " Jake sepertinya tak percaya dan langsung meliat ke arahku.
Apa yang bisa ku lakukan jika tak menunduk, Jake semalam mengajakku dinner weekend nanti. Tapi karena kesepakatan ini semuanya gagal.
"Iya. Dia calon istriku, Ibu pengganti buat Jean," jawabnya kembali sembari melihat ke arahku.
"Kau membayar Emily untuk menjadi Ibu pengganti buat Jean?"
"Iya. Dia menerima kesepakatan yang ku buat, aku harus bagaimana? Mom menyuruhku menikah dan memberikan Ibu buat Jean."
"Tapi kenapa harus Emily?"
"Karena kami saling membutuhkan," jawab pria sombong ini, sungguh membuatku ingin memakannya hidu-hidup.
Karena itu hanya akan membuatku terlihat sangat murahan,
"Jadi, calon istri yang kamu maksud sewaktu makan malam keluarga, Emily?" tanya Jake, meyakinkan apa yang ia dengar barusan.
"Iya. Tapi ... kau kenal Emily, dari mana?" tanya pria menyebalkan. Bodohnya aku, ketika dia menyebutkan namaku, jantungku rasanya berhenti.
"Aku mengenalnya semenjak dia pertama kali di Los Angeles, tapi bagaimana bisa?"
"Dia 'kan juga salah satu karyawan kita, dan akan menjadi keluarga."
Sangat-sangat pintar bersandiwara, seharusnya pria menyebalkan ini jadi selebriti saja daripada harus jadi pebisnis dan pengusaha. Ya, aku akui dia sangat tampan.
Very handsome, dia juga bijaksana, berpendidikan, siapa sih wanita yang menolak bersamanya? Aku salah satu wanita yang beruntung walaupun hanya sekedar menjadi istri kontraknya. Dia pria idaman semua wanita tapi tidak untukku.
***
Author POV.
Hari ini adalah hari minggu, Emily bersiap ke rumah sebelah di mana Dylan sedang menunggunya, karena hari ini adalah hari dimana Emily harus bertemu orang tua Dylan. Emily belum memberitahukan kepada Ibunya jika ia akan menikah, bukan karena ingin merahasiakan tapi ia harus mencari waktu yang tepat untuk memberitahu Ibunya.
Ketika hendak meninggalkan rumah,
Langkah Emily terhenti karena mendengar beberapa rekan kerjanya menyinggungnya. Termaksud Kelly teman sekamarnya.
"Wanita kampung itu sepertinya akan melakukan tugasnya," kata Kelly.
"Tugas? Tugas apa?"
"Pekerjaan sampingan."
"Pekerjaan sampingan? Seperti apa?"
"Dia 'kan jalang alias p*****r, tak ada seorang karyawan kantoran pulang larut malam setiap hari."
"Apa? Murahan sekali, pantasan tidak pernah makan di rumah, pria itu saja yang bodoh kalau menjadikan wanita kampung itu sebagai pelacur."
Mereka pun tertawa bersamaan. Emily hanya bisa menelan ludahnya seraya mengikat sepatu sneakernya. Meski ia marah tapi ia tak ingin membuat masalah. Bukan tak pernah makan di rumah tapi selalu saja ia tak kebagian makanan.
Itulah rekan kerjanya yang selalu membuatnya tak nyaman di mess.
BERSAMBUNG.