6 – Pengintaian Pertama

2030 Kata
Seno hampir kehilangan konsentrasi saat mengendarai mobilnya untuk pulang ke apartemen. Mendadak saja bola mata menawan milik Anya melintas di benaknya, juga kilau rambut cokelatnya, bahkan aroma manis dari parfum yang dikenakan gadis itu mendadak familiar dan menempel begitu kuat dalam ingatan Seno. Pria itu mendadak kacau, padahal sebelumnya ia tak pernah mengenal gadis bernama Revanya Yeslyn itu sama sekali. "Kenapa familiar sekali, siapa sebenarnya Reva ini?" lagi-lagi Seno bergumam pada dirinya sendiri. Sampai di apartemen, pikiran Seno masih berkutat dengan rasa penasarannya pada gadis penguntit yang baru saja ia temui. Mencoba menggali berbagai macam ingatan yang bisa saja terlewatkan begitu saja yang terkait dengan sosok Anya. Begitu membuka pintu apartemen, Seno dikejutkan dengan keberadaan sang mama yang tengah merebahkan tubuh dengan santai sambil terkikik saat melihat tayangan televisi favoritnya. Melihat sang mama yang sudah mengenakan daster gamis bercorak batik kegemarannya, Seno bisa menebak dengan pasti kalau mamanya itu akan menginap di apartmentnya. Hal yang memang sering dilakukan Hanami sejak dulu, terutama jika Seno mulai sibuk dan jarang meluangkan waktu untuk pulang ke rumah orang tuanya. "Mama," "Eh, Mas Seno. Lama banget deh nungguin kamu dari tadi." Hanami bangkit lantas memeluk putra sulungnya yang mendekat. "Mama juga nggak ngabarin dulu kalau mau mampir ke sini," balas Seno sedikit membungkuk saat membalas pelukan sang mama. “Sama siapa? masa sendirian?” "Dadakan aja soalnya, tadi abis ikut papamu makan malam sama rekan bisnis barunya. Papamu masih lanjut basa-basi, ya udah mama tinggal ke sini aja, capek. Pengen lihat drama favorit mama juga tuh," keluh Hanami kembali duduk sambil meluruskan kedua kaki dan sepasang netra terfokus pada layar datar di depannya.. "Tapi Mama sehat kan?" Seno ikut duduk di sebelah sang mama lantas menepuk-nepuk punggung tangan Hanami. "Sehat doong, tuh buktinya barusan mama sempat masakin kamu salad buah dan sayur special resep baru dari Chef Marlon, biar kamu nggak makan junk food terus.." Hanami melirik ke arah dapur mewah milik putranya. "Iya deh percaya, percaya... " kekeh Seno ikut melirik ke arah dapurnya. "Mama tadi ke sini juga mau ngenalin bodyguard barumu loh, Mas. Si Hanif." sambung Hanami lagi. “Berhubung kamu nggak dateng-dateng, ya udah dia mama suruh pulang dulu. Balik lagi ke sini besok pagi.” "Pasti kerjaan papa nih? atau opa?" Seno berdecak sekali, tak terlalu suka dengan ide pengawal pribadi yang selalu diterapkan dalam keluarga besarnya. "Papamu lah," balas Hanami dengan gelak samar. "Aku ini pria dewasa lho, Ma. Udah gede, kuat, jago bela diri pula. Nggak perlulah pengawal-pengawal pribadi macam anak TK gitu. Nggak kepake juga kan, kaya kemarin itu." Seno teringat dengan Danu, pengawal pribadi pertamanya yang memilih mengundurkan diri karena desakan dari Seno. “Eh, jangan salah. Kalau yang ini kamu pasti setuju, ini tuh di Hanif anaknya Om Ragil itu loh, temen deketmu sendiri.” timpal Hanami lagi mengingatkan putranya. “Hanif? serius Hanif anaknya Om Ragil yang itu?” Seno mendadak mengerjap antusias. Hanif yang dimaksud Hanami adalah putra pertama dari tangan kanan suaminya, Ragil Ahmad. Ragil terpaksa pensiun dini dari pekerjaannya sebagai orang kepercayaan Adiyatma lantaran salah satu kakinya terpaksa diamputasi setelah kecelakaan bersama atasannya. Hanif sendiri adalah teman sepermainan Seno saat kecil hingga remaja lantaran jarak usia keduanya yang terpaut tak terlalu jauh. “Iya yang itu. Paket komplit kan dia, udah pinter, cekatan, bisa bela diri juga plus udah akrab juga sama kamu.” “Bukannya dia masih jadi relawan di perbatasan Papua?” Seingat Seno setelah menyelesaikan sarjananya lewat jalur beasiswa di universitas ternama, Hanif sering menghabiskan waktunya untuk pergi ke pelosok-pelosok negeri guna mengabdiakn diri sebagai relawan. Terutama yang berkaitan dengan pendidikan di desa tertinggal atau kesehatan masyarakat yang sangat kurang. “Sudah balik dari dua bulan yang lalu kali. Ya disuruh sama orang tuanya sih, mereka terlalu khawatir karena Hanif hampir bertahun-tahun tinggal jauh dari mereka. Karena itu papamu sekalian saja menawarkan posisi pada Hanif untuk jadi tangan kananmu. Rasanya juga cocok kan sama kerjaan kamu di rumah sakitnya opa,” jelas Hanami panjang lebar. “Gimana?” “Emang Hanif mau?” "Ya jelas mau lah, lha wong tadi dia ikut ke sini karena mau kasih kejutan sama kamu. Ehh lha kok kamunya nggak ada. Wes talah, kamu manut aja sama Papa. Mama sama adik-adikmu kan juga pakai asisten pribadi dan pengawal. Biarin aja mereka kerja dalam senyap dari kejauhan, papa cuma khawatir aja sama kejadian dulu yang pernah dialami Arya pas kecil terulang lagi." Seno hanya menghembuskan napas panjang karena tak menemukan alasan untuk menolak titah dari sang ayah. Papanya yang terkenal berperangai tenang dan ramah itu memang selalu tegas perihal keselamatan istri dan anak-anaknya. Apalagi sejak insiden pernah hilangnya Arya- adik bungsu Seno ketika baru berusia enam tahun. Kerajaan bisnis Adiyatma Dwisastro yang saat itu baru saja melesat saat itu membuat beberapa pesaingnya menggunakan cara-cara kotor untuk memukul mundur mental Adiyatma. Salah satunya dengan mengancam keselamatan istri juga ketiga buah hatinya. Beruntung saat itu tak terjadi hal yang buruk terhadap adik bungsunya. "Papa sama Mama lupa kali kalau aku juga punya ini buat jaga diri. Tapi kali ini aku mau karena itu Hanif orangnya, dia bisa bantu handle kerjaanku di Rumah sakit juga gerai kopi. Bukan untuk jadi tukang jagal." Seno terkekeh pelan saat mengeluarkan pistol G2 premium dari saku belakang celananya. "Haduuuh kamu tuh, Mas. Ngapain sih barang kayak ginian kamu bawa keluyuran, kalau nggak sengaja kesenggol terus nembak p****t kamu gimana? Serem tau!" pekik Hanami seraya mengacak rambut pendeknya. Bukannya tersentuh dengan kekhawatiran sang mama, Seno justru terbahak kencang dengan teori dari sang mama barusan. "Nggak lah, Ma. Kejauhan Mama kalau bayangin. Mana mungkin aku nembak diriku sendiri sih?" sahut Seno masih belum menghentikan gelak tawanya. "Ya tetep aja, serem. Kayak mafia aja deh kamu, kemana-mana bawa pistol." "Cocok kan sama mukaku kalau jadi mafia?" Seno menggerak-gerakkan kedua alisnya bersamaan. "Nggak cocok sama sekali, mana ada mafia mukanya ganteng mulus kayak kamu, Mas. Kamu cocoknya jadi aktor aja, gantiin Tom Cruise atau Leonardo Dicaprio gitu." "Haduuh, Mama yang makin kejauhan halunya." Seno mengibaskan satu tangannya ke udara karena tak habis pikir dengan jawaban Hanami. "Heh, Mas. Bye the way, kamu dari mana sih malem-malem gini? Nggak mungkin kan pergi pacaran sama Yosa sambil bawa pistol segala?" "Senjatanya selalu aku bawa kemanapun kok, sekalipun itu lagi hang out sama Yosa." Seno mengendikkan dagu ke arah pistolnya yang mengkilap di atas meja. "Ckk, kamu mah, nggak ada romantis-romantisnya sama sekali ya jadi cowok?" decih Hanami meledek putranya. "Lho jangan salah, Ma. Meski nggak romantis gini banyak cewek yang yang rela berderet ngantri sepanjang tol cipularang buat dapetin perhatianku, kan?" Hanami mencubit pinggang Seno hingga pria tampan itu meringis kesakitan. "Pede banget deh kamu, Mas." "Lho harus," Seno merebahkan punggungnya ke sandaran sofa setelah tawanya reda. “Kan gen turunan dari Mama,” sambung pria itu menaikturunkan alisnya. "Eh, Mas," panggil sang mama membuat Seno melirik waspada. "Soal dugaan Yosa yang masuk akun gosip lambe-lambean itu gimana? Kamu udah cari tau belum? Atau sudah tanya langsung ke Yosa?" Benar tebakannya. Selain sekedar mampir karena kangen putranya, Hanami pasti punya tujuan lain untuk berkunjung ke tempat Seno. Yaitu mencari tahu tentang kebeneran gosip yang terlanjur beredar tentang Yosa, kekasihnya. “Sabar dulu, Mama,” jawab Seno setelah mendesah panjang. “Masih aku cari tau, ini barusan aku keluar juga buat ketemuan sama orang yang aku kasih tugas buat nyelidikin bener atau nggaknya berita di akun itu.” “Tapi harus cepet, Mas!” desak Hanami ikut menegakkan punggung. “Rencana pertunangan kalian berdua kurang dari tiga bulan lagi lho, jangan sampai terjadi hal-hal yang nggak diinginkan sebelum semuanya terlambat. Tau sendiri lah kamu gimana dunia selebriti, makin digosok makin sip. Jangan sampai kamu atau bisnis keluarga kita kena getahnya!” Seno menunduk diam dengan rahang terkatup rapat. Sangat paham dengan kekhawatiran sang mama. Apalagi di kolom komentar sosial media, sudah banyak warganet yang berspekulasi segala macam tentang Yosa yang memang diduga kuat ada di berita itu. Lantas selang lima detik kemudian pria itu mengangguk mantap. “Mama tenang saja, sebelum tiga bulan aku pasti dapatkan berita yang sebenarnya.” *** Anya bukanlah orang yang suka menunda-nunda pekerjaan. Jadi setelah pertemuan semalam dengan Seno ia pun bergerak cepat untuk mendatangi tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh Yosa selain apartmentnya sendiri tentu saja. Semua data tersebut ia dapatkan dari email terbaru dari Seno yang melampirkan jadwal pekerjaan Yosa selama satu bulan ke depan, lengkap dengan tempat kerja dan waktunya. Berhubung hari ini Anya memang tidak sedang bertugas sebagai pembawa acara di Bliss Wedding, gadis itu memutuskan untuk mulai menyelidiki Yosa mulai pagi-pagi sekali. Bahkan mulai satu jam yang lalu, Anya sudah bersiap di balik kemudi mobilnya dengan kamera di kedua tangan. Sengaja memarkirkan kendaraannya di basement apartment Yosa agar lebih mudah mengenali model ternama itu. Barulah sekitar pukul setengah sembilan atau satu jam sejak Anya bersiap di persembunyiannya, akhirnya ia melihat Anya keluar dari lift basement. Tampil menawan dengan celana jins ketat dipadukan blouse satin bermotif anyelir, juga tak lupa kacamata hitam yang bertengger di pundak hidung mancungnya. Melangkah anggun dengan tas kecil di tangan kirinya, juga rambut panjang hitam legam yang dibiarkan tergerai ditiup angin, Anya memang mengakui pesona bintang seorang Yosa yang bisa membuat gadis itu menjadi kesayangan warganet seantero nusantara. Getaran ponsel di atas dashboard membuat Anya terkesiap sejenak namun tak hilang fokus saat mulai menyalakan mesin mobilnya. Melirik sekilas ke layar gawai, nampak nama sang mama berkedip berkali-kali di sana. “Iya, Ma?” sapa Anya setelah saling mengucap salam. “Kamu pergi keburu-buru banget sih tadi? bekalnya sampe ketinggalan lho. Kan kamu sendiri yang minta dibikinin bubur Manado, An,” omel Endang, ibunya tercinta. “Iya, Ma, maaf. Tadi tuh udah keburu banget, sampe lupa bawa kotak bekal yang udah mama siapain,” sesal Anya kemudian. Terdengar ibunya berdecak sekali. Meski tanpa bertatapan langsung, Anya sudah bisa membayangan bagaimana wajah sang ibu yang berlipat-lipat karena ulahnya tadi pagi. “Nanti kalau kelar urusan, aku bakal cepat pulang dan makan buburnya, Ma.” “Keburu dingin, Nduk.” Terdengar hembusan napas Endang dari ujung sana. “Nanti aku panasin di microwave, Ma. Tenang aja ya.” “Ya sudahlah, mama masukin kulkas aja ini. Kamu jangan lupa sarapan loh ya, meski sibuk di kampus.” Anya menggigit bibir bagian bawahnya sesaat. Sedikit menyesal karena tadi ia sempat berbohong pada sang ibu dengan mengatakan sedang banyak kegiatan di kampus terkait persiapan sidang skripsinya yang tinggal sebentar lagi. Namun pada kenyataannya, Anya justru berada di tempat lain. Sedang membuntuti target dari tugasnya sebagai stalker saat ini. “Iya, Ma. Tadi kan aku udah sarapan roti, masih belum laper kok sekarang.” Masih menyalakan loud speaker di ponsel, Anya terus membuntuti mobil Yosa dari jarak aman ketika model itu mengarah keluar gedung apartment dan mulai berjibaku dengan keramaian jalanan ibu kota. “Ya wes lah ya, mama tutup dulu kalau gitu. Kamu jangan capek-capek, kalau nggak ada kerjaan lagi nanti langsung pulang aja. Musim hujan angin, Nak.” Endang mengingatkan lagi putri tunggalnya. Anya mematikan ponselnya setelah layar kembali gelap. Mulai fokus lagi pada targetnya yang kini melajukan mobilnya ke arah pusat kota. Setelah bermenit-menit memecah kemacetan, Anya menghentikan mobilnya lagi di jarak aman sambil sigap mengangkat kamera di tangannya. Karena saat ini Anya sudah sampai di halaman depan Future Star, agensi di mana Yosa bernaung selama ini. Melihat Yosa keluar dari mobilnya, Anya semakin memfokuskan netra pada lensa kamera. Bukannya langsung masuk ke dalam gedung tiga lantai itu, Yosa justru berjalan ke samping kiri di mana terparkir beberapa mobil mewah milik petinggi agensi tersebut. Model cantik kesayangan masyarakat itu, menghentikan langkah saat sudah berada di samping salah satu mobil yang sangat dikenal oleh Anya. Tak hanya sekedar mendekat, Yosa bahkan melengkungkan senyum cantik saat mengetukkan jemari di kaca samping sebelah kemudi. Begitu kaca gelap tersebut turun perlahan, Yosa semakin melebarkan senyum lantas sedikit membungkuk dan memasukkan kepalanya. Anya memajukan sedikit mobilnya, begitu mendapatkan tempat yang pas, ia mengarahkan kamera agar bisa menangkap apa yang sedang dilakukan Yosa dengan sosok yang ada di balik pintu mobil itu. Bukan hanya karena tugasnya memata-matai Yosa, tapi juga karena ia penasaran karena Anya begitu mengenal pemilik mobil itu. Ruben Subrata, ayah kandungnya sendiri. “Papa?” Kening Anya berkerut saat tanpa sadar bermonolog dengan dirinya sendiri. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN