2 - Playboy Nggak Peka

1629 Kata
Senopati Rajata Dwisastro. Lelaki tampan nan rupawan yang lebih sering menyembunyikan nama belakang keluarganya. Hal itu karena ia lebih nyaman dikenal sebagai Senopati Rajata saja tanpa embel-embel nama besar sang ayah yang dikenal sebagai salah satu pengusaha sukses dan berpengaruh di tanah air. Bukan karena tak ingin mengakui diri sebagai keturunan Dwisastro, hanya saja Senopati merasa banyak orang yang mendekatinya bukan karena ketulusan, melainkan demi kepentingan bisnis semata. Pria yang baru saja lulus menyelesaikan pendidikan strata dua, Seno harus bersitegang dengan sang ayah lantaran dengan tegas ia menolak tawaran beliau untuk meneruskan jabatan di perusahaan yang dirintis pria paruh baya tersebut. Daripada bergelut dengan urusan bisnis property, Seno malah lebih memilih tawaran sang kakek untuk meneruskan misi menjabat sebagai direktur di rumah sakit yang didirikan kakeknya sejak puluhan tahun silam. Bukan dilatarbelakangi iming-iming jabatan tinggi atau bayaran, karena kalau menuruti keinginan akan materi tentu saja tawaran sang ayah jauh lebih menggiurkan dalam hal materi. Seno hanya merasa jabatan tinggi di Galeea Construction milik sang ayah tidaklah sesuai dengan passion-nya selama ini. Seno memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi, dan dengan menjadi direktur di rumah sakit sang kakek ia berharap bisa mewujudkan misinya membantu pengobatan orang-orang dari kalangan bawah yang belum terjamah dengan baik. Beruntungnya, perang dingin antara Seno dan Adiyatma- sang ayah, tak berlangsung lama. Dengan pertolongan sang kakek juga bujuk rayu dari sang mama yang begitu mencintainya, akhirnya Adiyatma bersedia mengalah dan tak memaksakan kehendak untuk menjadikan Seno sebagai penerus di Galeea Construction. Masih ada dua adik lelakinya yang bisa dipoles dan dipersiapkan secara matang untuk meneruskan bisnis keluarga tersebut. Itulah alasan yang selalu dikemukakan oleh Seno yang didukung penuh oleh sang mama. "Heleeh, kaget gue playboy cap tikus kejepit kayak lo punya misi kemanusiaan yang tinggi gitu." Komentar Rega, salah satu sahabat Seno ketika Seno mengutarakan alasannya di balik niatan menjadi Direktur di Rosemary Hospital. Karena Rega tahu betul bagaimana sepak terjang Seno di dunia asmara juga kalangan wanita pemujanya. Rasanya begitu berbanding terbalik dengan niat baiknya di balik misi sosial yang dicanangkannya. "Heh Reg, justru karena gue banyak dosa akibat jadi dedengkot playboy, setidaknya gue mau hidup gue seimbang dengan banyakin amal dan ngumpulin pahala. Maka dari itu gue lebih tertarik sama tawaran Opa buat ngurusin rumah sakit dari pada ngurusin proyek properti milyaran di perusahaan bokap, rentan korupsi woii..." jawab Seno lantas terkekeh pelan. Tangan kanan pria itu sedikit terangkat untuk sekedar melambai pada salah satu gadis pengunjung club yang sedari tadi memperhatikannya dari jauh. Seno sadar di manapun dia berada pasti akan ada banyak mata cantik jelita yang mengerjap terpesona akan auranya. Dan hal itu sengaja Seno manfaatkan untuk bersenang-senang dan mengambil keuntungan semata. "Heh mata tolong dikondisikan ya?!” Yudhis menjetikkan jemarinya di depan wajah Seno. “Sadar cuyy, udah punya cewek yang mau dijadiin tunangan, masih aja nanggepin cewek lain." Kali ini Yudhis menepis tangan kanan Seno yang dirasa mulai ganjen dan tebar pesona. "Amanlah, amaan. Yosa nggak bakalan tau juga. Santai Dis, lagian dia udah hapal sama tabiat gue yang kadang kumat-kumatan gini." Seno kembali mengangguk pelan dan melemparkan senyuman mautnya pada si gadis yang mulai tersipu salah tingkah. "Anjiir, elo serius nggak sih sama Yosa?" "Serius nggak serius lah, model papan atas molek bohai plus terkenal gitu, bisa naikin pamor gue kali. Lumayan kan buat bikin rumah sakit Rosemary makin terkenal dan mengundang banyak donatur datang." gelak Seno tanpa pikir panjang. "Ya nggak terkenal gara-gara skandal juga kali, Sen. Kasian si Yosa kalau elo mainin doang." decak Rega mulai jengah dengan sahabatnya. Mendengar kalimat terakhir Rega, Seno langsung menoleh tak terima. "Gue nggak mainin Yosa ya, gue udah kenal dia sejak lama. Yaa... meski gue gak bilang ini perasaan cinta, setidaknya gue nyaman sama Yosa yang selalu ngertiin sifat b******n gue," serunya memicingkan mata sambil mengangkat jari telunjuk. "Gue sama Yosa udah saling kenal lama, kami saling memahami, dan rasanya dia bisa jadi teman hidup gue yang pengertian." "Teman hidup doang tanpa cinta? Miris." potong Rega secara telak. "Kami bisa jadi sahabat seumur hidup." "Sahabat matamuuu, Seno! Elo serius gak sih mau nikahin Yosa?" "Mamanya Yosa yang punya ide pertunangan kami, dan yah ... pendekatan kami selama dua tahun ini rasanya lancar-lancar saja kok. Jadi nggak ada salahnya kan melangkah ke jenjang yang lebih serius." "Otak sih pinter, ngakunya sih playboy, tapi kenapa elo nggak peka kalo lagi dimanfaatin Yosa dan keluarganya." sela Yudhis lantas terkekeh pelan. Ehh … dimanfaatin gimana maksudnya ya? "Maksud lo?" Seno dan Rega hampir bersamaan menoleh pada Yudhis yang tengah menggoyangkan gelas cocktail di tangannya. "Hmm, sorry ya Sen, gue bukan bermaksud campur tangan soal hubungan lo sama Yosa. Tapi omongan gue tadi ada alasannya, dan gue peduli gini karena kita udah sahabatan sejak lama." Yudhis meletakkan gelasnya lantas menatap Seno dengan tatapan serius. Membuat Seno yang tadinya hanya haha hihi ikut menatapnya serius juga. Menarik napas panjang, Seno lantas menyandarkan punggungnya. "To the point aja deh, gak usah muter-muter, Dis," dengkusnya tak melepaskan fokus dari Yudhis. Yudhis terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka suara. "Dua hari lalu gue liat Yosa check in di hotel Amaryss sama om-om borjuis gitu, yang dari bahasa tubuhnya... gue yakin itu bukan bapaknya." "Pardon?" Seno memicingkan mata pada salah satu sahabat dekatnya ini. "Ta- tapi dua hari lalu Yosa bilang kalau ada pemotretan salah satu brand baru di Bandung sama temen-temennya," sambung pria itu lirih. "Gue ngomong apa adanya Sen, kalau elo masih kurang yakin, elo bisa selidiki sendiri tentang kegiatan Yosa di belakang lo selama ini. Semua keputusan ada di tangan lo, gue cuma kasih saran dan kasih tau apa yang gue liat." Yudhis mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Hmmm, entah kenapa gue setuju sama Yudhis sih." Rega kembali bersuara. "Selidiki deh, mumpung belum kepalang basah jadi suami istri, bisa makin berabe kalau urusannya udah menyangkut dua keluarga besar." "Elo tau sesuatu juga Reg?" Seno melirik tajam pada Rega yang masih fokus dengan cheese ball di depannya. Jujur kali ini Seno mulai gusar, karena sebenarnya ini bukan kabar yang pertama kali ia dengar. Beberapa minggu sebelumnya ia juga pernah mendengar hal yang sama dari Ayu, sepupunya yang tinggal di Singapura. Tapi karena Ayu juga masih ragu-ragu, Seno tak lantas percaya begitu saja, dan menganggap berita itu hanya omong kosong tanpa bukti belaka. Lantas sekarang ia mendengar desas-desus yang sama dari Yudhis. Lelaki yang juga merupakan sahabat dekatnya sejak remaja. Pengusaha start up di bidang ticketing online itu tak mungkin membual untuk hal seserius ini. Karena itu Seno mendadak merasa tak nyaman dengan apa yang sudah didengarnya. "Awalnya gue ragu sih, tapi berhubung Yudhis juga pernah liat, gue jadi berpikiran sama. Karena sekitar satu bulan yang lalu gue lihat Yosa dijemput om-om gitu pas keluar dari agensi. Gue liat pas lagi jemput Elvin habis ketemu narasumbernya." Rega menyugar rambutnya kasar begitu selesai menjawab pertanyaan dari Seno. Elvin yang tadi disebutkan Rega adalah seorang penulis yang satu tahun belakangan ini menjalin kasih dengannya. "Kalau mau selidiki Yosa diam-diam gue ada kenalan yang udah pro soal ginian." Yudhis menepuk pundak Seno. "Gue pikir-pikir dulu deh." "Jangan kelamaan, nanti keburu jadi bini malah runyam urusannya." saran Yudhis lagi. "Masalahnya... selama ini gue percaya-percaya aja sama Yosa. Dia satu-satunya cewek yang gue percaya dan bikin nyaman." Seno menerawang kembali mengingat kedekatannya dengan Yosa sejak duduk dibangku SMA. “Senyaman apapun, sepercaya apapun. Jangan pernah kasih hati lo seratus persen ke cewek sebelum elo sendiri yakin kalau she is the one and only.” Seno terdiam sejenak. Memaksa otaknya untuk berpikir cepat dan memutuskan langkah selanjutnya. Benar apa yang dikatakan Yudhis dan Rega, setidaknya dirinya harus tahu apa yang dilakukan Yosa selama in dibelakangnya, apalagi setelah mendengar kabar kurang sedap semacam ini. Tentu saja ia tak ingin tertipu dengan wajah cantik dan polos yang selalu Yosa tampilkan di depannya. “Elo punya kenalan siapa emangnya Dis?” tanya Seno pada akhirnya. “Stalker.” Yudhis menjawab singkat. “Penguntit?” ulang Seno sekali. “Bukan sembarang penguntit, dia bekerja secara rapi dan professional, yang paling penting hasilnya selalu akurat.” Seno dan Rega masih dengan serius menyimak informasi dari Yudhis. “Elo tau skandal perselingkuhan istrinya pemilik TVNine dengan salah satu gitaris band ternama?” Yudhis melirihkan suaranya kala menatap bergantian pada dua sahabatnya. “Yang lagi rame di lambe turah itu bukan?” Rega dengan cepat menimpali. “Yaps, itu hasil kerja si stalker yang gue maksud tadi. Gue denger dari Pak Ganesha langsung saat beliau menjamu gue di acara stasiun TV-nya beberapa sa—” sambung Yudhis bersemangat bak pembawa acara gossip pagi hari. “Nggak udah kepanjangan ceritanya, mana nomor si stalker-stalker itu, gue mau hubungi langsung.” sela Seno tak sabaran. “Nggak ada,” jawab Yudhis terkekeh pelan. “Nggak ada yang bisa hubungi dia secara langsung, semua perintah dan pekerjaan dia, selalu lewat email. Dengan p********n separuh di depan dan sisanya setelah pekerjaan selesai dengan baik.” Seno menautkan kedua alisnya penasaran. “Sini emailnya? kenapa gue malah penasaran sama sis stalker-nya sih anjirr?” decak Seno dibalas gelak tawa kedua sahabatnya. “Katanya sih ya … stalker ini cewek, cantik, penuh misteri. Pokoknya susah diajak ketemuan langsung. Katanya sih demi menjaga privasi.” “Halaah prett!!” dengkus Seno mencebikkan bibir. “Ckk, nggak percaya banget sih nih anak sultan,” balas Yudhis merotasi kedua bola matanya. “Mana dulu alamat emailnya!” Seno mengulurkan tangan untuk menyerahkan ponsel ke arah Yudhis. Memberi kode agar sahabatnya itu mengetikkan alamat email stalker yang dimaksud. Sambil menggeleng pelan, Yudhis menarikan jemarinya di atas layar gawai milik Seno. “Nih,” seru pria itu setelah mengembalikan ponsel milik Seno. “Bayarannya mahal, tapi sepadan dengan hasilnya. Kalau elo penasaran sama jati dirinya, mungkin butuh lebih banyak lagi dana yang harus elo relakan.” “Nggak masalah, duit gue meteran!” jawab Seno penuh percaya diri. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN