Tantria memeluk lengan Hendri sekaligus memapahnya berjalan-jalan di taman belakang. Kedua tangan Hendri juga memegang tangan Tantria yang kini sangat dekat dengannya. Keduanya lalu duduk di bangku taman dengan tangan masih saling menggenggam satu sama lain. “Terima kasih, Nyonya sudah datang,” ujar Hendri dengan senyuman di wajahnya yang pucat. Tantria ikut tersenyum meski ia harus menahan tangis. Rasanya begitu menyakitkan melihat Hendri yang gagah dan tampan kini sakit serta ringkih. Rasanya bukan seperti Hendri yang dulu. “Panggil saja, Tantria, Mas.” Tantria membalas. Hendri tertegun menatap Tantria yang kembali meneteskan air matanya. “Kenapa kamu menangis?” tanya Hendri pelan. “Mas Hendri sudah sangat berubah. Penyakit ini ... Mas Hendri gak seharusnya mengalaminya. Mas Hendri