Anthony yang menyaksikan perbuatan Frans hanya bisa mengepalkan tangan serta mengeraskan rahang karena marah. Anthony juga bukan pria baik, tapi ia tidak akan sebejat Frans yang meninggalkan gadis tak berdosa dalam keadaan hamil.
“Tantria,” ucapnya pelan dan masih bersembunyi. Anthony berbalik dan menyandarkan punggungnya. Ia menarik napas panjang dan hanya bisa menunduk.
Tantria lalu berdiri tanpa memungut uang tersebut lalu berjalan sambil menangis. Anthony yang tidak tahan pun, berlari mengejar Tantria.
“Tunggu, Tantria!”
Mendengar ada yang memanggil, Tantria berhenti dan berbalik, raut wajahnya tampak terkejut saat mendapati Anthony sudah berdiri di hadapannya.
“Uhm, kamu gak apa-apa?”
Tantria tertegun sesaat lalu menyembunyikan tangannya. Ternyata telapak tangannya tergores gara-gara didorong Frans dengan kasar. Tantria memilih menggeleng dari pada bicara.
Ia hendak berbalik, tapi Anthony kembali menghalangi. Kali ini, keberanian Anthony mengalahkan rasa gugupnya. “Aku antar pulang ya, sudah malam. Lagian juga enggak baik kalau ada gadis berkeliaran malam-malam begini,” tawar Anthony terkesan memaksa.
“Aku gak apa-apa kok pulang sendiri. Aku enggak mau ngerepotin, Kakak.” Tantria akhirnya bicara meski menolak.
“Jangan! Sudah, biar aku antar saja. Itu mobilku di sana, ayo!” Anthony menunjuk ke arah mobilnya yang terparkir.
Tantria yang tidak punya pilihan pun akhirnya tak kuasa menolak lagi. Sebenarnya gadis itu juga takut pulang malam seorang diri, terlebih setelah apa yang dilaluinya tadi. Tak hanya merasa pening, tenaganya seolah terkuras habis. Bukan karena lelah, tetapi rasa sakit atas jawaban Frans sungguh melukai hatinya.
Tanpa ada kalimat pembuka, Anthony menarik napasnya dengan gugup kala Tantria duduk di sebelahnya. Ia baru ingat jika tangan Tantria terluka. Anthony menarik sapu tangan dari balik saku celana dan meletakkannya di atas telapak tangan Tantria. Gadis itu pun menoleh pada Anthony yang sedang menyetir lalu tersenyum.
“Terima kasih,” ucap Tantria pelan.
“Sama-sama.”
“Maaf kalau aku bertanya, tapi aku gak bermaksud ikut campur. Apa benar yang aku dengar kalau kamu sedang …?” Anthony menjeda lalu menoleh pada Tantria yang membesarkan mata indahnya.
“Apa Kakak mendengar pembicaraan Tantri sama Kak Frans tadi?” Tantria balik bertanya. Anthony berdeham pelan lalu mengangguk.
“Maaf, Tantria. Jika kamu butuh bantuan ka–”
Tantria langsung menggeleng. “Gak, Kak. Terima kasih. Turunkan saja Tantri di ujung jalan itu.”
Kening Anthony mengernyit.
“Kok di situ? Rumah kamu kan di sana?” tunjuk Anthony tak sadar jika ia sudah mengetahui alamat Tantria.
“Dari mana Kakak tahu?”
Anthony jadi terkesiap mendengar pertanyaan Tantria. Kali ini, ia benar-benar kelabakan untuk menjawabnya. “Ehm … itu … si Frans yang kasih tahu aku.”
Anthony melebarkan senyuman, tapi Tantria tidak menanggapinya. Ia bersikeras meminta diturunkan di tengah jalan sebelum sampai ke rumahnya. Sepertinya, Tantria salah paham dengan ucapan Anthony yang menawarkan bantuan tadi.
Setelah terus mendesak Anthony, akhirnya pria itu menghentikan laju mobilnya dan Tantria pun mengucapkan terima kasih pada Anthony sebelum keluar dari mobil.
Anthony yang masih tidak tega, tetap memasang lampu sorot mobilnya agar Tantria mendapatkan penerangan sampai ke rumahnya. Tantria yang ketakutan mengira Anthony akan mencelakainya. Ia malah berlari saat hampir di dekat rumah. Anthony yang mengekori lantas terkekeh melihat tingkah polos gadis itu.
“Cantik banget kamu, Tantria. Huff, kamu pasti salah paham, ya,” gumam Anthony melihat Tantria yang menghilang di antara pohon-pohon pisang di sepanjang jalan menuju rumahnya.
***
Tiga hari kemudian, ucapan Frans Walinka yang ingin menikah ternyata benar. Tantria pun hanya bisa menangis. Namun, kemalangannya tak berhenti sampai di situ, satu minggu kemudian, sang ayah meninggal setelah hanya bisa dirawat di rumah. Keluarga Tantria yang miskin tidak mampu membayar biaya rumah sakit.
Setelah pemakaman sang ayah, Tantria melihat lagi paket kiriman yang ia terima beberapa hari lalu. Gadis itu pun akhirnya membuka dan memeriksa isinya. Sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran indah adalah isi paket itu. Penasaran apa yang di dalam kotak tersebut, Tantri pun langsung membukanya. Kedua matanya membesar dan ia sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Di dalamnya terdapat sebuah gelang berlian mahal berukir inisial namanya. Hanya ada sebuah catatan kecil yang tertera di sana.
Berawal dari matamu, aku jatuh cinta–dari pengagum rahasia.
***
Di tempat lain, tepatnya di kediaman Anthony, tampak sepasang suami-istri terdengar sedang memperdebatkan sesuatu.
“Sudah Grizelle, kita sudah membicarakan ini. Aku gak mau menikah lagi.” Anthony menegaskan kembali saat berdiskusi dengan istrinya. Grizelle mengerucutkan bibirnya seraya menghela napas panjang.
“Qin, kalau kita gak punya anak laki-laki, posisi kamu akan digeser sama keluarga lain!” balas Grizelle separuh merengek manja. Anthony menghela napas panjang sambil melepaskan jasnya. Ia berbalik lagi pada Grizelle dan mendekatinya.
“Kalau memang seperti itu, aku sudah rela.” Anthony kembali berujar. Grizelle menatap Anthony dengan pandangan sendu. Baginya kesetiaan Anthony tergambar jelas dengan ketidakrelaannya membagi pernikahan mereka dengan wanita lain.
“Aku cinta kamu, Qin!” Grizelle lantas memeluk Anthony lalu menangis di dadanya. Sedangkan Anthony hanya diam tidak membalas ucapan cinta Grizelle meski ia tetap memeluknya. Hati Anthony sesungguhnya mulai terisi gadis lain bernama Tantria. Anthony menyadari jika perasaannya hanyalah cinta tak berbalas. Tidak mungkin ia menduakan Grizelle sementara Tantria adalah kekasih orang lain.
“Sudah jangan dipikirkan lagi. Aku akan bicara sama Papa soal ini,” ujar Anthony dengan lembut menenangkan Grizelle sembari memeluknya. Anthony memang tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi sebelum bertemu Tantria. Sekarang, ia menyimpan keinginan itu karena Tantria sedang hamil anak dari Frans, sahabatnya.
Setelah pembicaraan itu, Anthony pun menemui orang tuanya. Ia sampai terbang ke Singapura untuk bertemu keluarga dan terpenting adalah ayahnya. Grizelle pun ikut dan mendengar sendiri keresahan keluarga Lin.
“Desakan itu bukan tanpa alasan, Anthony. Anak laki-laki kamu akan menjadi penggantimu kelak. Kamu juga punya sepupu laki-laki dan mereka bisa menggeser kamu kapan saja, apalagi jika kamu tidak punya anak laki-laki,” ujar ayah Anthony.
Anthony hanya diam dan mendengus pelan. Ia mengerut keningnya tanpa menoleh pada Grizelle yang duduk tidak jauh darinya. Mendengar perkataan dari ayah mertua, wanita itu semakin dibuat resah, terlebih pandangan beberapa bibi dan paman dari keluarga suaminya mulai sinis padanya.
“Apa kamu yang melarang Anthony menikah lagi, Grizelle?” tegur salah satu bibi di keluarga Lin. Anthony terkesiap dan menaikkan wajahnya. Grizelle hendak menjawab, tapi dengan cepat dijawab oleh Anthony.
“Bukan. Aku yang menolak, Bibi.”
“Kamu kan hanya tinggal menghamili saja!” Wanita itu masih ngotot.
Anthony mencebik pelan lalu menggeleng. “Kalau yang lahir malah anak perempuan lagi bagaimana? Apa aku harus menikah lagi untuk yang ketiga kalinya?” tanya Anthony kesal.
“Ya, kalau memang harus seperti itu!”
Anthony menggelengkan kepalanya sedangkan Grizelle sudah diam menunduk seribu bahasa. Kehormatannya sebagai istri mulai dipertanyakan dan keluarganya yang berada serta terpandang akan mendapatkan gunjingan. Hanya karena ia tidak bisa merelakan Anthony memiliki istri baru, maka semuanya bisa jauh lebih runyam.
“Anthony akan menikah lagi, Pa ... Ma. Jangan khawatir. Aku akan memastikan pernikahannya dilakukan dalam waktu dekat,” ujar Grizelle tiba-tiba memotong. Anthony menoleh dengan wajah terperangah pada Grizelle. Dia tidak percaya, Grizelle bisa mengatakan hal tersebut.
“Bagus kalau begitu, Grizelle.” Ibunda Anthony tersenyum pada keputusan Grizelle. Grizelle ikut tersenyum dan menoleh pada beberapa bibi dan paman yang semula berbisik-bisik tentang dirinya. Sekarang seluruh simpati keluarga Lin akan kembali diperoleh Grizelle. Baginya, reputasi dan posisinya sebagai istri Anthony lebih penting daripada terus menjaga keutuhan pernikahan monogami, tapi kehilangan posisi di keluarga itu.
Anthony tidak mau membalas. Ia menyadari jaraknya dan Tantria akan semakin jauh jika dirinya menikah lagi. Tantria mungkin akan berakhir sebagai ibu tunggal jika Frans tidak mau bertanggung jawab. Hati kecil Anthony tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Setidaknya, ada yang bisa dilakukannya sebelum benar-benar menikah dengan wanita lain nantinya.
“Oke, aku setuju menikah lagi, tapi biarkan aku melakukan sesuatu terlebih dahulu. Jangan tanya apa, tapi yang jelas aku ingin menolong seseorang,” ujar Anthony memberikan penawaran.
“Siapa yang mau kamu tolong?” Grizelle balik bertanya.
“Seorang wanita.”
“Kamu punya pacar, ya?”
Anthony menggeleng. Kening Grizelle pun mengernyit.
“Dia pacar temanku, tapi aku ingin menolongnya. Jadi, aku harap kamu bisa mengerti.”
Grizelle pun mengangguk. Anthony menghela napas lega. Setidaknya ia memiliki kesempatan untuk menolong Tantria sebelum setuju menikah lagi dengan wanita pilihan Grizelle.
“Aku akan membawa wanita yang tepat buat kamu, tapi ada perjanjian yang harus kamu tepati.”
Anthony langsung mengangguk. Ia tahu jika wanita itu pastilah salah satu teman Grizelle. Jika pun Anthony harus menikah itu karena terpaksa.
“Syarat apa?”
“Kamu tidak boleh jatuh cinta sama dia.”
Kening Anthony sontak mengernyit dan ia mendengus lalu menggeleng.
“Gak akan,” ucap Anthony begitu yakin. Grizelle tersenyum dan mengangguk.
“Satu lagi. Kamu hanya boleh tidur sekali sama dia sampai dia hamil pada malam pengantin saja.”
“Kalau belum hamil?” Anthony balik bertanya.
“Kamu boleh tidur dengannya lagi, tapi bukan berarti dia punya posisi yang sama denganku. Kamu mengerti maksudku, ‘kan?”
Anthony hanya mengangguk. Mengiakan perkataan istrinya tanpa membantah sedikit pun.
***
Sementara itu, ibu Tantria sudah tidak mungkin bekerja lagi karena sakit. Kanker sudah menyebar di paru-parunya dan itu makin membuatnya lemah. Tantria terpaksa harus menggantikan mencari uang meski tengah hamil muda.
“Tantri berangkat dulu ya, Bu. Ibu gak apa ditinggal sendirian?” tanya Tantria lembut. Ia sudah mempersiapkan baskom dan tampah untuk menjajakan kuenya berkeliling.
“Gak apa-apa. Kamu berangkat aja.” Sang ibu tersenyum mengangguk. Tantria masih merasa cemas. Jika ia tidak berangkat, hari ini ia dan ibunya tidak akan dapat membeli beras.
“Kue kamu sudah jadi?”
Tantria mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku pamit dulu ya, Bu.” Gadis itu mencium punggung tangan ibunya sebelum berangkat. Ia menjinjing baskom yang dibalut dengan kain dan saling diikat ujungnya. Sedangkan tampah akan dijunjung di kepala setelah ditutupi oleh kain.
“Kue ... kue ... kuenya, Bu!”
Tantria mengeraskan suara lembutnya agar ada yang mendengar lalu memintanya berhenti. Sudah dua minggu semenjak kematian ayahnya, Tantria berjualan berkeliling seperti itu. Ia masuk perkampungan dan kadang mendekati beberapa pabrik. Jika beruntung, maka dagangannya akan laku, tapi sepertinya hanya ketidakberuntungan yang menyertainya.
Peluhnya entah sudah berapa lama menetes dan tubuhnya makin letih. Tantria tidak mengerti jika kehamilan muda membuatnya mudah lelah. Sambil menengok kanan dan kiri, Tantria hendak menyeberang.
Pandangannya sudah kabur karena dari pagi belum makan, sementara matahari semakin terik. Sambil mengeratkan pegangan pada tampahnya, ia menyeberang jalan.
“Argh ….”
Sebuah mobil berhenti tepat di depan Tantria, nyaris menabraknya yang akan menyeberang. Tantria sama sekali tidak melihat ada mobil yang melintas ke arahnya. Alhasil, Tantria yang kaget pun jatuh dengan seluruh kue yang berhamburan di jalan.