5. Gratefulness

1652 Kata
Berita buruk. Menurut Sunshine begitu. Ia mendapatkan kabar dari Dimitri jika ada seseorang yang akan menggantikan posisi Lexy untuk sementara hingga pria malang itu terbangun dari koma. Lebih buruk lagi, Dimitri mengatakan jika kemungkinan buruk terjadi, pria itu juga yang akan menggantikan takhta Lexy. Ya Tuhan. Sunshine benar-benar merasa jika ia berada dalam situasi sulit. Garis keturunan yang membuatnya tidak bisa memilih sendiri pria yang akan bersamanya menghabiskan sisa hidup. Sunshine meletakkan telapak tangan Lexy di satu telapak tangannya, satu tangannya mengelus punggung telapak tangan Lexy. Pria itu adalah kunci atas hidupnya karena jika Lexy tidak juga sadarkan diri, bisa dipastikan ia harus menikahi pria asing yang sama sekali tidak dikenalnya. Meski Lexy juga asing baginya tetapi setidaknya Lexy pernah menjadi teman sekelasnya. Anggap saja begitu. Dan lagi pula akhir-akhir ini mereka cukup dekat. Sungguh terdengar seperti bualan, mereka cukup dekat karena keadaan Lexy yang tertidur. Sunshine mencibir dirinya sendiri. Ia yakin, jika Lexy terbangun, pria itu pasti akan menatapnya dengan dingin, juga memperlakukan seolah ia adalah patung. "Lexy," ucap Sunshine pelan. "Kau harus bangun, semua orang menunggumu." Sunshine menghela napasnya. Ia membawa telapak tangan Lexy mendekati wajahnya, menempelkan kulit Lexy di pipinya. Rasanya lembut dan hangat. Menyenangkan. Mungkin akan lebih menyenangkan jika Lexy menyentuhnya saat Lexy tersadar. "Apa setelah kau terbangun nanti, kau bersedia memperbaiki hubungan kita?" Ia terdiam sebentar untuk merasakan kulit Lexy. "Kuharap kita bisa saling mengenal sebelum hari pernikahan kita tiba." Sunshine merasakan hatinya sekarat. Ya, sekarat. Lexy tidak pernah menatapnya, tidak pernah. Bagaimana mungkin Lexy bersedia memperbaiki hubungan mereka? Ia menjauhkan telapak tangan Lexy dari pipinya, perlahan meletakkannya di atas selimut. "Aku tahu, harapanku terlalu berlebihan," gumamnya. Sunshine berencana mengambil buku dan membacanya seperti biasa, tetapi suara ponsel menginterupsi. Ternyata Poppy berada di luar ruangan. Seperti biasa, Poppy hanya bisa masuk ke dalam ruang rawat Lexy dengan bantuan dari Sunshine. Poppy memanggil Sunshine untuk menjemputnya di depan pintu yang dijaga ketat oleh beberapa penjaga yang berseragam dan Poppy juga tidak diizinkan masuk sebelum melewati pemeriksaan menyeluruh. "Kau tidak datang ke sini beberapa hari," protes Sunshine bersungut-sungut saat mereka telah tiba di dalam kamar rawat yang ditempati Lexy. "Kau ini, ke mana saja?" Poppy tertawa pelan. "Aku merindukanmu, Sunny." Ia memeluk Sunshine. Ucapannya tulus, ia memang merindukan Sunshine. Dan Lexy. "Apa pekerjaanmu sangat banyak akhir-akhir ini?" tanya Sunshine, ia duduk di sofa dan mengambil sebuah bantal lalu memeluknya. "Ya," jawab Poppy. Ia melirik ke arah Lexy dan menyusul Sunshine duduk. "Bagaimana? Apa ada perkembangan?" Sunshine menjilat bibirnya. "Tidak banyak. Lexy sepertinya masih nyaman dengan tidurnya." Poppy tersenyum. Senyum penuh kepahitan. "Kau menghabiskan hari-harimu di sini untuk Lexy." Sunshine mengangguk. "Bagaimana pekerjaanmu?" "Aku membawa sebagian buku dan alat lukisku ke sini." Poppy menghela napas dalam-dalam. Ia dan Sunshine memiliki kesamaan, sama-sama memiliki bakat menggambar. Tetapi, jika ia menyukai gambar konstruksi bangunan, Sunshine menyukai lukisan alam. Sunshine menggambar untuk kepuasannya sendiri, sedangkan ia menggambar untuk kehidupannya. Menjadi arsitek adalah cita-citanya sejak kecil. "Kau tidak berencana untuk membuka galeri dan menjual lukisanmu?" Sunshine menekan bantal ke tubuhnya, pipinya bersemu merah. "Aku tidak percaya diri dengan lukisan buatanku." Poppy tertawa pelan. "Kau benar-benar unik, Sunny. Selain membaca buku, kau melukis sepanjang waktu. Sepanjang usiamu dan kau masih mengatakan jika kau tidak percaya diri dengan hasil lukisanmu padahal kau juga menyelesaikan studi di Fakultas Seni." Itu benar. Tetapi, ia memang tidak percaya diri. Orang-orang tidak segan memuji lukisannya karena ia adalah Sunshine Corderio. Calon ratu masa depan Spanyol. Bukan karena ia adalah Sunshine, bukan karena ia memang berbakat. "Aku melukis untuk diriku sendiri," ucap Sunshine muram. Poppy menaikkan kedua alisnya. "Kau sangat percaya diri setiap tampil di depan umum, setiap kali mengisi acara untuk kepentingan negara. Tetapi, kau tidak percaya dengan bakatmu sendiri." Sunshine menoleh ke arah Poppy. "Itu dua hal yang berbeda." Ia tersenyum lembut. "Jelaskan padaku perbedaannya." "Aku sudah cukup banyak belajar bagaimana caranya berbicara dengan benar di depan umum, aku membaca banyak buku ilmu pengetahuan, aku mengafal semuanya. Tetapi, karya seni bersifat abstrak. Indah menurutku, belum tentu indah menurut orang lain." Sunshine mengucapkan dengan sungguh-sungguh. Poppy menggelengkan kepalanya. Ia bangkit dari duduknya, ia menyipitkan matanya menatap Sunshine. "Lihat, caramu berbicara tampak tidak percaya diri." "Apa sangat jelas?" Poppy mendengus. "Sangat!" Ia mengedarkan pandangannya ke ruangan dan mendapati sebuah papan buku sketsa di atas meja. Ia melangkah mendekati meja dan mengambil buku sketsa dan kembali ke depan Sunshine. "Kau menggambar Lexy?" tanya Poppy saat ia melihat gambar sketsa di halaman pertama. Kulit pipi Sunshine merona. "Ya, aku... aku melukisnya." "Kau melukisnya?" "Beberapa. Jika kau ingin melihat, kau bisa ke rumahku." Pendar di mata Poppy seolah berkilauan. "Aku yakin jika lukisan buatanmu sempurna." Sunshine menggigit bibirnya. Tidak sesempurna itu, tetapi yang jelas ia melukis Lexy dengan segenap perasaannya. Perasaannya yang mendamba, mendambakan Lexy membuka hati untuknya. *** Nick menumpukkan kedua lututnya di lantai seraya menggenggam telapak tangan Vanilla. "Aku tidak akan melakukannya jika kau tidak mengizinkanku," ucapnya sungguh-sungguh saat ia menceritakan semua yang menimpanya beberapa hari yang lalu. Ia tidak serta-merta menceritakan jika Dimitri menemuinya dan menekannya untuk mengikuti permainannya. Butuh menata perasaannya beberapa hari sebelum ia menyampaikan kepada Vanilla. "Baby." Vanilla menatap mata suaminya yang biru. "Dia adikmu, kau juga berkewajiban untuk menolongnya. Ia memerlukan bantuanmu. Aku tidak akan melarangmu." Ia sudah menduga jika Vanilla tidak akan melarang hingga ia nyaris tidak mengerti, terbuat dari apa hati istrinya. "Bagaimana jika dia tidak bangun?" Menggantikan Lexy hanya untuk beberapa kepentingan seperti tampil di depan umum, berbicara seperlunya mengikuti protokol yang telah disiapkan, tentu bukan hal sulit. Tetapi, jika Lexy tidak bangun? Nick nyaris gila memikirkan kemungkinan itu. Satu tangan Vanilla terulur, ia menyentuh pipi Nick dengan lembut. "Dengar, sekarang ia memerlukanmu. Jika Lexy tidak bangun hingga saat yang telah ditentukan tiba, kita akan mencari jalan terbaik untuk kita semua." Mudah kedengarannya. Batin Nick tersiksa. Jalan terbaik apa? Dimitri mengancamnya akan merobohkan perusahaan milik keluarga Knight, bagaimana caranya ia berpikir tenang? "Jika Lexy tidak bangun, apa kau tahu risiko bagi hubungan kita?" Vanilla mengangguk. "Kau tidak akan menikahi wanita lain, kecuali kau menginginkannya." "Mi Amor...." "Aku percaya padamu. Melebihi apa pun, Baby." "Aku hanya ingin hidup denganmu." Nick nelangsa membayangkan jika ia harus hidup tanpa Vanilla. "Kita akan tetap bersama. Lagi pula aku juga akan bersamamu setiap kali kau berada di Madrid," ucap Vanilla meyakinkan Nick. Ia justru ngeri membayangkan jika Lexy. Bagaimana jika ketika ia bangun dan mendapati dirinya kehilangan segalanya. Cerita berbeda dari Nick, suaminya lebih beruntung karena Rafael Knight menyayanginya dengan tulus sebagai putranya sendiri, tetapi dati sudut pandang Vanilla, Lexy tidak seberuntung Nick. Vanilla tidak ingin melihat Lexy kehilangan haknya. Meski ia tidak mengenal Lexy secara pribadi, tetapi Vanilla merasa tidak tega jika pria malang itu harus kehilangan takhta. Lexy berhak memiliki kesempatan dan Nick, Nick berhak mendapatkan pengakuan keluarga kandungnya. Tetapi, jika pada waktu yang telah ditentukan Lexy tidak juga tersadar. Itu bukan salah Nick. Suaminya berhak mundur dari permainan karena siapa pun pada akhirnya harus menyerah pada garis takdir. Jika Lexy tidak juga terbangun hingga penobatan dirinya, setidaknya Nick telah berusaha menolong adiknya. Juga dengan cara Nick menggantikan posisi Lexy untuk sementara, Vanilla berharap suatu saat Lexy dan Nick bisa menjadi keluarga. Sebagai kakak beradik. "Aku tidak ingin menjadi orang lain," gumam Nick muram. Ia meletakkan kepalanya di pangkuan Vanilla. Aku hanya ingin menjadi suamimu, Vanilla. Ia tahu dari Dimitri jika Lexy telah bertunangan dengan gadis yang telah ditetapkan untuk menjadi ratu di negeri mereka. Ia tidak bisa menjadi orang lain apa lagi menjadi suami orang lain meski hanya berpura-pura. Hidupnya hanya untuk Vanilla dan calon anaknya. Tetapi, membayangkan kejayaan keluarga Knight runtuh karenanya, ia tidak sanggup. Ia berhutang banyak pada keluarga Knight. Sekarang, inilah waktunya sedikit membalas kebaikan Rafael. Vanilla mengelus rambut di kepala Nick dengan gerakan penuh kasih sayang. Ia tersenyum seraya berucap, "Kau tidak menjadi siapa pun. Kau adalah Nicholas Knight. Aku yakin, adikmu akan bangun secepatnya." Tim medis mengupayakan kesembuhan untuk Putra Mahkota, Vanilla yakin, Lexy akan segera sadarkan diri. Meskipun ada sedikit rasa was-was di lubuk hatinya, Vanilla tidak ingin memelihara rasa itu. Ia tidak ingin bersikap egois karena bagaimanapun Lexy dan Nick memiliki ikatan tak kasat mata yang mustahil diputus meski dunia enggan mengakuinya. Nick menjauhkan kepalanya dari paha Vanilla, ia memandangi wajah istrinya lekat-lekat. "Dari mana kau mendapatkan keyakinan sebesar itu?" Vanilla menyeringai, ia menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah suaminya. "Dengar, suamiku yang tampan. Memikirkan hal negatif membuat jiwa kita menjadi rapuh dan terbelenggu. Aku lebih senang berpikir positif agar hidupku lebih tenang." Kemuraman yang Nick rasakan memudar bersama ucapan Vanilla. "Kau bijaksana sekali, istriku." Ia bangkit dan merengkuh tubuh Vanilla, membawa ke dalam gendongannya. "Baby, turunkan aku!" rengek Vanilla. "Aku berat!" Nick terkekeh. "Memang." Vanilla membeliak, tidak terima dengan sahutan suaminya. "Kau mengatakan aku apa?" "Kau mengatakannya sendiri." "Turunkan aku!" ucap Vanilla galak. "Nicholas Knight, aku bersumpah...." "Aku akan membalasmu," sahut Nick menirukan gaya bicara Vanilla." "Nicholas Knight!" Vanilla melotot tajam ke arah suaminya. Namun, Nick justru menempelkan ujung hidungnya ke hidung Vanilla. "Kau sangat pemarah sekarang." Vanilla mendongak seraya melingkarkan lengannya di leher suaminya yang berjalan meniti tangga menuju lantai atas rumah mereka, ia mengecup ujung hidung Nick. "Itu adalah bentuk rasa cintaku padamu." "Dengan memarahiku?" tanya Nick dengan nada tidak terima. "Kurasa." Vanilla menyeringai lalu mengecup bibir Nick. Nick menghentikan langkahnya, ia memilih menyesap bibir istrinya, menahannya beberapa saat hingga keduanya nyaris kehilangan kendali. Sayangnya, berat tubuh istrinya memang benar-benar bertambah hingga membuatnya tidak mampu berlama-lama untuk menahannya. "Kau benar, Mi Amor," cetus Nick. "Apa?" Vanilla mengerutkan keningnya. "Kau memang berat." "Nicholas Knight!" Nick terkekeh, ia tidak mengerti mengapa wanita selalu sensitif jika berhubungan dengan berat badan padahal faktanya, Vanilla memang mengalami kenaikan berat badan karena kehamilannya dan selalu mengeluh setiap menyadari jika tubuhnya mulai berubah bentuk meski ia sendiri tidak masalah dengan bentuk tubuh Vanilla. Baginya Vanilla indah dalam bentuk apa pun. Ia memperbaiki posisi Vanilla agar tetap nyaman di dalam gendongannya laku buru-buru menyelesaikan meniti anak tangga dibandingkan meneruskan perdebatan di tangga karena ada beberapa hal yang lebih mudah dibicarakan di atas tempat tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN