Prologue

909 Kata
Prologue Prologue Nick menumpangkan kaki kanannya ke atas kaki kiri. Matanya yang berwarna biru menatap pria di depannya dengan tatapan sinis. "Sepertinya aku mendapatkan kehormatan karena raja datang ke kantorku yang tidak seberapa besar ini," ucapnya tidak kalah sinis dengan caranya menatap Dimitri Carloz, ayah kandungnya. Pria yang berumur sama dengan Rafael itu menatap Nick dengan tatapan lurus, sama sekali tidak terprovokasi oleh ucapan Nick. "Aku datang bukan untuk bertengkar denganmu." "Dengan kata lain, kau datang dengan damai?" "Jangan kasar, bagaimanapun aku ayahmu." "Dan Raja," ucap Nick, sedikit pun ia tidak mengurangi nada sinisnya. Baginya, Dimitri bukan siapa-siapa. "Jadi, apa tujuanmu datang ke sini, Yang Mulia?" "Aku ingin bertemu dengan anakku, apa itu salah?" Nick bersedekap sembari tertawa pelan, bahunya berguncang beberapa kali. "Tidak sesederhana itu, kurasa. Kau pasti memiliki tujuan lain." Dimitri berdehem. "Kau pasti pernah mendengar berita adikmu." "Oh, tentu saja. Bagaimana kabar Pangeran?" Kali ini nada sinis Nick tidak ada, tetapi itu sama sekali bukan nada yang ramah. Sudah tiga bulan sejak kecelakaan terjadi, Lexy belum sadarkan diri. Putra Mahkota masih terbaring di atas ranjang pasien dan menggunakan berbagai alat bantu untuk menopang kehidupannya. Gosip jika pangeran telah meninggal tetapi pihak kerajaan merahasiakannya mulai beredar luas di Spanyol dan semakin tidak terkendali karena Dimitri belum melakukan tindakan apa pun untuk menghentikan gosip itu. Lebih parahnya lagi opini itu seolah dibangun oleh orang terdekat keluarga kerajaan dan Dimitri tahu betul apa tujuan utama adiknya yang bernama Fernando Carloz melakukan hal itu. Ia dan Fernando terlibat perang dingin perebutan kekuasaan. Fernando selalu merasa jika kemampuannya melebihi Dimitri, sayangnya rasa percaya diri itu tidak berguna karena Dimitri merupakan putra mahkota kerajaan. "Adikmu belum sadarkan diri." Nada Dimitri muram. "Adik," gumam Nick disertai lengkungan di bibirnya membentuk senyum pahit karena jelas kedatangan Dimitri memiliki niat yang berhubungan dengan kepentingan kerajaan. Sangat mudah ditebak. "Ya, Alexion, adikmu." "Kalau begitu, kau jelas datang pada orang yang salah. Aku tidak memiliki adik." "Nicholas...." Dimitri berdehem. "Untuk sekali ini saja aku meminta tolong padamu. Sebagai ayah." Nick tertawa tanpa suara, hanya bahunya yang berguncang. "Ayah?" Mudah sekali Dimitri mengucapkan kalimat itu, bagi Nick, itu terdengar seperti lelucon. Ia sama sekali tidak menganggap jika Dimitri adalah ayahnya. Baginya, ayahnya adalah Rafael Knight. Bukan pria lain. "Jangan kasar, bagaimana pun kau adalah darah dagingku." Nick menaikkan kedua alisnya. "Darah daging? Kau hanya menitipkan benih di rahim ibuku. Kau bahkan tidak sekali pun peduli padaku, padahal kau tahu keberadaanku. Kau hanya peduli pada takhtamu." "Aku mengakui kesalahanku." Dimitri menatap wajah putranya. "Kau dan adikmu sangat mirip, jika kau menyamar untuk tampil di muka umum, tidak ada seorang pun yang akan curiga." "Aku menolak!" sahut Nick tanpa berpikir lebih dulu. Sama sekali tidak memerlukan pertimbangan. "Dengarkan aku dulu," ucap Dimitri, nadanya mulai tidak sabar karena sikap Nick yang tidak menghargai keberadaannya. "Keputusanku telah final, aku menolak apa pun yang berhubungan dengan kalian." Nick memundurkan kursi kemudian bangkit dari duduknya. "Terima kasih atas kunjungannya, aku merasa sangat tersanjung karena Yang Mulia bersedia repot-repot datang ke sini." Ia menyilangkan satu lengannya di depan d**a dan sedikit membungkuk. Dimitri bangkit, ia tersenyum sinis. "Begini cara Rafael mendidikmu?" "Ayahku mendidikku dengan sangat baik." "Tapi, sikapmu tidak mencerminkan jika Rafael mengajarkan sopan santun." Nick tersenyum miring. "Oh, maaf untuk itu. Kuarasa untuk itu kau bisa menyalakan ibuku." "Bagaimana jika aku mengatakan kepada istrimu dan sahabatmu jika Clara masih hidup?" Nick menyipitkan matanya. "Kau mengancamku?" "Tidak, hanya bertanya." Dimitri menumpangkan paha kanannya ke atas paha kiri. Ibu jarinya mengelus dagunya sembari menatap Nick dengan tatapan penuh kemenangan. "Bagaimana reaksi istrimu jika tahu kau dan Rafael membohongi banyak orang." "Kau sangat licik!" geram Nick. Rahangnya mengeras, ia menatap Dimitri dengan tatapan permusuhan. "Kau mengeluarkannya dengan menyebarkan rumor bunuh diri." "Aku tidak ingin ibu dari anakku menderita di dalam penjara." Dimitri tersenyum tipis. "Tawaranku mudah, tetapi alangkah baiknya kau duduk dulu." Jengkel, merasa terperdaya, dan tertekan, Nick menghempaskan bokongnya ke atas kursi dengan kasar. "Katakan." "Hingga adikmu sadarkan diri, gantikan posisinya." "Aku menolak," sahut Nick kembali tanpa berpikir panjang. "Kebohonganmu dan Rafael akan terbongkar, sahabatmu akan kecewa. Aku jamin," ujar Dimitri dengan nada sangat percaya diri. Nick menyandarkan punggungnya, ia tertawa pelan lalu berucap, "Mereka orang-orang yang memiliki hati paling indah di dunia. Lagi pula bukan kami yang mengeluarkan Clara dari penjara. Kau yang melakukannya, mereka pasti mengerti." Ia tidak memiliki keraguan sedikit pun terhadap Beck, Lucy, Xaviera, dan Vanilla. Mereka tidak akan menyalahkannya dan Rafael, ia yakin. Sangat yakin. "Bagaimana jika perusahaan ini...." Dimitri berdehem. "Aku memiliki hak prerogatif di negara ini, aku bisa menghancurkan apa pun yang kuinginkan, apa lagi hanya sebuah perusahaan." Nick bangkit, ia menggebrak meja dan berucap, "Jangan mengancamku! Kau memang Raja di negara ini, tetapi aku tidak memiliki kewajiban menuruti keinginan pribadimu! Kewajibanku hanya menaati peraturan yang berlaku!" Dimitri tidak terpengaruh. "Duduklah, kau sedang bicara dengan orang tua." Nick mendengus kasar. "Ya, aku bicara dengan Raja." Ia kembali duduk dengan kasar. "Kau pikir, bagaimana perasaan Rafael jika perusahaan yang ia jaga seumur hidupnya dihancurkan oleh anak yang bukan darah dagingnya?" tanya Dimitri dengan nada dingin dan tatapan lurus. Pertanyaan itu seperti pedang yang menyabet jantungnya. Ada Vanilla dan calon anaknya, masa depannya. Ia tidak bisa menyeret mereka dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh keegoisannya. "Katakan apa yang harus kulakukan untuk kalian." Pada akhirnya, ia meruntuhkan kesombongannya. Mengalah pada ayah kandungnya. "Kau hanya harus hadir dalam acara-acara yang telah dijadwalkan kerajaan hingga Lexy terbangun." "Jika dia tidak bangun?" "Takhta akan menjadi milikmu." "Dengan identitas Lexy?" Dimitri mengamati wajah Nick. "Tentu saja."  Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN