Numa memarkirkan mobilnya di depan rumah, lalu berjalan menuju pintu utama rumahnya. Dia heran, karena melihat pintu rumah terbuka dan dia mendengar sayup-sayup tawa renyah dua orang pria.
“Numa!” Irfan, Papa Numa, tersenyum lebar melihat kedatangan Numa.
Numa langsung mendekati papanya dan menyalaminya.
“Hei, masih ingat Om Timo?” tanya Irfan, memperkenalkan temannya yang duduk di depannya. Sepertinya dia dan Timo sedang melewati momen indah berbincang, ada dua kopi hitam pekat panas di atas meja dan satu toples biskuit.
Numa beralih ke Timo dan menyalaminya.
“Sudah lupa sepertinya,” ujar Timo, tersenyum melihat Numa yang menunduk dan tersenyum seadanya.
“Aku ke kamar, Pa, Om,” ujar Numa, dia masih tidak semangat, karena kejadian yang dia alami barusan di cafe. Dia berjalan cepat menuju kamar dan masuk ke dalamnya, lalu menguncinya.
“Nggak mungkin Numa lupa kamu, Timo. Kamu dulu sering menggendongnya.”
Timo tertawa menggeleng. “Ya, dia dulu masih kecil sekali.”
Irfan mengangkat kedua bahunya, masih yakin Numa yang sebenarnya masih mengingat Timo.
“Ya, mungkin dia punya masalah di kampus,” gumam Timo mencoba menebak, sambil melirik sekilas pintu kamar Numa yang tertutup rapat.
“Paling sulit menghadapi anak perempuan kalo sudah mengenal cinta. Susah sekali diberi nasihat.”
“Oh, dia sudah punya pacar?”
“Ya, namanya Daniel, anak pemilik toko alat-alat berat bangunan, tinggal di BSD.”
“Oh, wow.”
“Tapi aku kurang menyukainya. Entahlah.”
“Itu mungkin karena kamu belum siap saja melepas Numa.”
Irfan terkekeh, dia sebenarnya tidak masalah Numa punya pacar, tapi tidak tahu kenapa dia kurang menyukai sosok Daniel.
Kopi sudah habis dan Timo pun pamit pulang ke kamarnya yang berada di belakang rumah Irfan.
***
Numa menutup laptopnya setelah menyelesaikan tugas kuliahnya malam ini. Dia tersenyum lega karena satu persatu tugas kuliahnya akan selesai, meskipun dilanda masalah dengan pacarnya.
“Hm, akhirnya bisa santai,” gumam Numa sambil memainkan ponselnya. Ternyata ada puluhan panggilan tak terjawab dari Daniel juga puluhan pesan maaf Daniel. Numa menghela napas pendek saat membacanya.
Daniel : Maaf banget, Numa. Gue memang salah, tapi gue dan Lisa nggak pernah sejauh itu dan itu hanya candaan. Lo sudah tahu gue lama, ‘kan? Lo yang ngerti gue, Numa.
Numa masih mengingat pesan bernada m***m itu dan dia tidak bisa melupakannya.
Numa mengerutkan bibirnya, padahal dia sudah merencanakan liburan indah bersama Daniel di akhir semester ini. Mereka berencana pergi liburan ke Tabanan, dan akan menginap di vila mewah milik orang tua Daniel.
Meletakkan ponsel di atas meja tanpa membalas apapun dari Daniel, Numa merasa haus dan juga sedikit lapar. Dia ke luar dari kamarnya menuju dapur bersih yang tidak jauh dari posisi kamarnya.
“Ck, kok habis sih?” gumam Numa kecewa. Tidak ada satupun kotak s**u yang dia lihat di dalam kulkas. Dia berdecak kesal karena mau tidak mau harus ke dapur luar, yang posisinya ada di bagian belakang rumah. Dapur yang biasanya boleh digunakan para pekerja papanya, persediaan makanan lengkap juga tersimpan di sana.
Numa berjalan cepat tanpa alas kaki menuju dapur luar ingin segera mendapatkan satu kotak s**u. Tapi langkahnya menjadi pelan karena dia melihat laki-laki berambut panjang terurai berpakaian kaus tipis dan celana panjang piyama sedang memanaskan sesuatu di dapur. Pria yang baru diperkenalkan papanya tadi sore, Timo namanya.
“Hai.” Timo menyapa Numa dengan senyum lebarnya.
Numa membalas sapaan itu dengan anggukkan dan senyum tipis. Dia lalu membuka kulkas dan mengambil satu kotak s**u.
“Mau aku buatkan sekalian?” tawar Timo, seolah tahu Numa hendak membuat s**u panas.
Numa menggeleng, dia cepat-cepat meninggalkan dapur.
“Akh!!” Tiba-tiba Nurma menjerit, dan jempol kakinya mengeluarkan darah segar.
Timo bergegas mendekati Numa, refleks meraih ketiaknya.
“Jangan,” cegah Numa.
“Ok, ok. Sebaiknya kamu duduk dulu.”
Ternyata Numa tidak bisa berjalan, refleks tangannya mengarah ke Timo, meminta bantuan.
“Duduk dulu,” ujar Timo sambil membimbing Numa duduk di atas kursi dapur.
“Aww. Sakit.”
“Tenang.” Timo duduk bersimpuh di depan Numa, meraih jempol kakinya yang berdarah, dan menghisapnya sedikit kuat.
“Akh. Hmmm.” Numa terkaget sekaligus terkesima. Matanya terpejam, rasa sakitnya berkurang.
Cukup lama Timo menghisap dan menelan darah segar yang ke luar dari jempol kaki Numa, sampai alirannya berkurang. Dia berdiri dan berjalan menuju kotak P3K, mengambil plester luka.
“Dapur ini kotor, kenapa nggak pakai sendal?”
“Aku buru-buru, Om,” jawab Numa. Entah kenapa perasaannya menghangat ketika kakinya disentuh lembut dan pelan kedua tangan Timo yang merawat lukanya dengan plester. Dia masih mengingat sensasi hebat yang belum pernah dia rasakan ketika jempolnya dihisap kuat.
“Atau kamu mau s**u panasku? Masih panas, aku menggunakan termos,” ujar Timo.
Numa mengangguk pelan.
Timo beranjak dari duduknya, mengambil termos kecil dan menyerahkannya ke Numa.
“Om Timo gimana?”
“Nanti aku buat lagi.”
Numa menatap Timo lebih intens.
“Kamu masih ingat … waktu kamu umur tiga tahun, kamu sering aku gendong.”
“Oh ya?”
“Ya, terakhir aku melihat kamu saat kamu mungkin berusia sepuluh tahun. Tapi … kamu sepertinya memang nggak kenal aku.”
Numa mengangguk pelan, mengingat banyaknya teman papanya, tapi papanya yang memang tidak pernah memperkenalkannya satu satu secara khusus. Baru kali ini saja dia diperkenalkan dengan Timo, yang ternyata sangat baik.
Timo membantu Numa berdiri dari duduknya.
“Aku bisa sendiri, Om,” ujar Numa.
Timo menyerahkan gelas termosnya ke Numa, dan mengawasi langkah Numa menuju ke dalam rumah. Dia tersenyum menggeleng saat melihat punggung kecil Numa yang sudah hilang dari pandangannya. Entah kenapa dia merasa seolah energi dari dalam tubuhnya terserap ke sosok muda Numa.
***
Sementara itu Numa sudah berada di dalam kamarnya, menyesap pelan s**u dari termos Timo. Dia melirik plester luka di area jempol kakinya dan kembali mengingat kejadian barusan dengan detail. Numa tersenyum kecil, masih merasakan getaran di dadanya yang berdesir hebat ketika kakinya dihisap lembut Timo.
“Dia ganteng banget,” gumam Numa dalam hati, terutama mengingat bahu luas Timo yang bisa jadi tempatnya berlindung, juga tatapan matanya yang begitu teduh memandangnya.
“Astaga.” Numa menepuk jidatnya, menyadari usia Timo yang jauh lebih tua dari usianya, dan dia belum tahu status Timo yang sebenarnya.
Bersambung