Bab 5

1271 Kata
ABBY  -- Ada beberapa hal yang begitu mengangguku dan satu diantaranya adalah kehadiran Jules dalam pesta ulang tahun Noah. Secara resmi, aku dan Noah telah mengakhiri hubungan kami pada agustus lalu, meskipun aku tidak benar-benar yakin apa hubungan itu sudah berakhir. Pesan yang dikirimnya malam itu menegaskan: Itu sudah berakhir, Abigal! Jangan coba hubungi aku lagi. Noah tidak pernah memanggilku dengan nama itu, jadi itu pasti Jules. Noah tidak mau mengakuinya, tapi kurasa dia menginginkannya, jika tidak, dia pasti sudah berusaha menghentikan Jules. Aku tidak bisa berhenti menatap Jules dari kejauhan. Wanita yang menggerai rambut ikal pirangnya itu meliuk-liuk di sepanjang pesta. Dengan sengaja menggoda semua tamu yang hadir untuk meliriknya. Noah tidak pernah lepas dari sisinya seperti lem yang direkatkan pada tubuh montok sialannya. Kalau saja Noah mau mendengarkanku, dia tidak akan memercayai apa yang diperbuat kekasih barunya: Julia Simon si s****l bermuka dua. Aku harap aku bisa menarik rambutnya, atau membungkam mulut kotor sialannya yang mengatakan betapa buruknya tampilanku malam ini – aku tidak peduli. Wanita itu mengenakan gaun yang tampak norak menurutku. Ada begitu banyak perhiasan, kristal-kristal kecil yang menyala di bagian leher gaunnya, warna renda yang mencolok dan sangat tidak senada dengan warna gaunnya, juga sepatu berhak jelek murahan yang dikenakannya. Jules menang malam ini. Aku bisa melihatnya menyeringai dan memperlihatkan sederet gigi dengan sepasang taring seperti drakula. Wanita itu berhasil membuatku pergi lebih cepat dari pesta. Seharusnya itu tidak terjadi, aku sudah mengingatkan diriku untuk tidak terpengaruh dengan kehadiran mereka: Jules dan Noah. Awalnya kupikir Noah hanya akan hadir di pesta ini sendirian, aku tahu Jules sedang menyelesaikan tugasnya yang mendesak dan dia akan sibuk selama beberapa hari, namun tampaknya s****l itu tidak bisa melewatkan satu malam untuk pesta besar karena disanalah ia mendapatkan apa yang diinginkannya - disanalah dia merebut Noah, bahkan wanita itu berhasil membuatku berharap berada sejauh mungkin dari pesta. Malam ketika pesta itu berakhir, aku berusaha menghubungi Noah. Aku mengirim sejumlah pesan ke ponselnya, tapi setelah berjam-jam menunggu, tidak ada balasan yang masuk ke ponselku. Jadi, aku meninggalkan pesan suara dan berharap laki-laki itu akan membalasnya. Sembari menunggu, aku membuka agenda dan mulai mencatat beberapa hal yang perlu dilakukan besok: mengunjungi tempat pelatihan yoga ada di urutan nomor satu, pergi ke studio untuk menyelesaikan tesis dan mungkin aku bisa menghabiskan waktu dengan berlari menuju anak sungai. Letaknya cukup jauh dari pondok yang kutempati, tapi tidak cukup jauh untuk dijadikan jalur untuk berlari. Suasananya semakin terasa hening ketika aku duduk dan menghabiskan makan malamku di atas meja persegi. Aku meraih ponsel dan berusaha menghubungi Emily, hasilnya nihil. Ini Emily, kau bisa meninggalkan pesan. Aku menatap ke luar jendela, melihat langit gelap menyelimuti barisan pohon yang memanjang menuju anak sungai. Petak-petak rumput kasar memenuhi halaman depan, jendela kayunya yang mengayun terbuka mengeluarkan suara berderit. Udara dingin menyelinap dari sana, merayap di sudut-sudut dinding kayu. Aku menyaksikan dua titik cahaya keemasan muncul di ujung jalan, cahaya dari mobil sedan itu membesar saat melintasi jalur di depan pondok. Emily, ini Abby. Tolong hubungi aku balik. Aku ingin berbicara denganmu. Dengar, aku minta maaf, oke? Aku salah. Semuanya salahku. Ibu dan ayah, aku tidak pernah menyalahkan mereka. Aku menyesal. Itu yang ingin kau dengar, aku minta maaf.. Aku menekan tombol kirim. Lingkaran biru kecil berputar di layar ponselku, hanya beberapa detik sebelum pesan itu terkirim. Kini, kesunyian mendekapku. Aku bisa mendengarnya berbisik di telingaku. Suara desaunya seakan memanggilku. Jadi aku berjalan meninggalkan dapur menuju ruang tengah dimana televisi yang masih menyala memperlihatkan keheningan jalanan pada malam hari. Seorang wanita sedang berbisik di ujung jalan, ia menekankan ponsel ke telinganya dan berbicara. Kemudian, terdengar suara tembakan. Wanita itu jatuh persis ketika cahaya dari sebuah mobil menyorot wajahnya. Suara keributan muncul saat sirine polisi meraung-raung di udara. Aku meraih remot dan menekan tombol off hingga layar berubah gelap. Ketika aku bergerak keluar pondok, udara dinginnya terasa menusuk kulitku. Semak-semak liar timbuh di dekat pagar hitam tepat dimana ayahku meletakkan peralatan berkebunnya. Ini adalah rumah tua yang ditempati ayahku selama bertahun-tahun. Rumah ini tidak lagi ditempati selama berbulan-bulan sejak peristiwa kecelakan tragis yang menimpanya terjadi. Baru minggu lalu kuputuskan untuk meninggalkan penginapan dan menempati rumah ini. Tapi tidak hanya satu malam ketika aku terbangun dengan perasaan gelisah dan mendapatkan mimpi buruk tentang ayahku. Atau hari-hari ketika dia berdiri di dekat pagar, memandangku dengan tatapan marahnya sedang Emily dengan santainya duduk di birai jendela. Kedua kakinya menggantung di atas sana dan dia sedang menertawakanku. "Jangan coba-coba Abby!" Dia memperingatkanku sembari menggenggam batang kayu besar di satu tangannya. Aku berlari persis ketika ayahku mengayunkan batang kayu besar itu ke arahku, kemudian semuanya menjadi gelap. Setiap pagi ketika aku berdiri di depan cermin, aku bisa melihat bekas luka yang melintang di sepanjang punggungku dan itu membawa ingatan sekilas tentang pria yang memukulku di halaman rumahnya. Atau tentang Emily yang dengan sengaja mendorongku hingga terjatuh ke dalam sungai. Masa-masa itu, seluruh bayangan itu. Aku masih mengingatnya, aku bisa merasakannya. Aku mengatakan apa yang sebenarya terjadi di anak sungai ketika aku dan Emily bermain permainan petak umpat dan dia dengan sengaja mencelakakanku, namun mengatakan hal yang sebaliknya: bahwa kejadian itu disebabkan karena keteledoranku. Aku tidak memerhatikan langkahku hingga terpeleset dan jatuh dengan wajah yang nyaris menghantam bebatuan di sungai. Seorang petugas polisi yang menemukanku mengatakan wajahku hanya berjarak setengah meter dari permukaan batu, jika aku meleset kemudian aku akan kehilangan nyawaku. Aku tidak bermaksud membahas kejadian yang sudah bertahun-tahun berlalu itu jika saja Emily mau berbicara jujur. Aku perlu mendengarnya mengatakan pada ayah kami bahwa ia sengaja melakukannya – bahwa ia bermaksud mencelakakanku karena dia tidak pernah menyukaiku sebagai adiknya. Tapi dia terus mengelak, mengatakan bahwa aku memiliki masalah serius pada diriku yang membuatku membayangkan hal-hal yang tidak terjadi. Bahkan, aku merasakan pengkhianatan saat ayah kami memercayai kata-katanya. Bahkan hingga kematiannya. Sejak saat itu kuputuskan untuk meninggalkan Emily. Aku merasa nyaman tinggal sendirian, berada di bangunan mengerikan ini selama berbulan-bulan, setidaknya sampai aku mendapat telepon dari pria itu.. dan mendadak Emily marah besar. Aku tidak pernah membayangkan pria itu akan mendekatiku. Awalnya dia hanya menghubungiku melalui akun media sosialku. Kemudian, dia mengatakan hal-hal aneh seperti: memujiku dan menyatakan maksudnya secara jelas untuk menemuiku. Awalnya itu terdengar menarik, tapi setelah berhari-hari kemudian aku tahu bahwa aku melakukan kesalahan besar. Kesalahan yang tidak bisa kuperbaiki dan membuatku merasa begitu buruk. Aku berusaha untuk menghubungi Emily setiap saat, berharap dia akan berbicara denganku lagi. Tapi setelah berbulan-bulan, wanita itu mengabaikan pesan yang kukirim. Dia tidak pernah mengatakan bagaimana keadaannya, dia tidak bertanya hal yang sama padaku. Jadi, kuputuskan untuk menemuinya. Aku sering melihatnya berjalan di sepanjang trotoar menuju tempat perhentian bus di pusat kota. Kali terakhir aku menemuinya, Emily menghindariku tapi dia tidak punya pilihan jika aku mendatangi penginapannya secara langsung. Layar ponselku berkedip, suara deringan membuatnya bergetar. Kini layar itu memperlihatkan nomor yang tak dikenali. Aku berpikir bahwa Emily berusaha menghubungiku, namun ketika aku menekan tombol terima dan mendekatkan ponsel ke telingaku, aku mendengar pria itu berkata. “Dimana kau? Apa aku bisa menemuimu?” Tonggorkanku tercekat, rasanya seperti seseorang baru saja menyumpal mulutku. “Aku tidak bisa.” “Kenapa?” “Tidak masalah, ini tetap menjadi rahasia. Dimana aku bisa menemuimu? Aku merindukanmu..” “Tidak..” “Abby!” pria itu memotong kalimatku seperti yang biasa dilakukannya. Aku tidak tahu tindakan mana yang lebih bodoh: menghentikannya atau menuruti keinginannya, bagaimanapun aku menyukai pria ini dan aku merasa tidak bisa mengendalikan diriku. “Dimana?” dia menegaskan pertanyaannya. Suara gemuruh mesin mobil terdengar, sisanya hanyalah desau angin yang menyelinap melewati lubang mikrofon di ponselnya. Aku membayangkan ia sedang mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba bayangan tentang Noah merasukiku. Aku bertanya-tanya apakah bijaksana jika aku memberi apa yang diinginkannya, tapi aku sudah menjawab bahkan sebelum aku sempat berpikir duakali. “Pondok ayahku. Beritahu aku dimana kau sekarang? Aku akan memberimu petunjuk.” .. - LAST WITNESS -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN