ANNA
--
Sore ini gelap. Kabut hitam menggantung rendah di atas dahan-dahan pohon yang gundul di rumah. Udaranya terasa lebih dingin dan aku bisa mendengar suara berderit pintu-pintu mengayun terbuka. Lorong-lorong yang gelap dan sempit di dalam seakan memanggilku. Tirai-tirai jendelanya yang pucat bergerak-gerak ketika tertiup angin. Aku sedang berdiri di teras bersama Emma yang terus merengek di lenganku. Jari-jari kecilnya mencakar wajahku, dagunya berkali-kali membentur bahuku dan bayi kecil itu meliur di atas pakaianku.
Kami menunggu Ben. Namun, berjam-jam setelah aku menghubunginya dan laki-laki itu berjanji akan tiba lebih cepat, aku belum juga melihat sedan hitamnya melintas di ujung jalan. Pasangan muda Allison baru saja pergi. Aku melihat mereka mengendarai van oranye menuju perbatasan bukit. Beberapa mobil dari arah hutan melintas. Dua di antaranya adalah van yang sering kulihat melintas di depan pagar rumahku, sisanya mobil yang baru kali pertama melintasi jalur di sekitar sini. Hutan di ujung sana terlihat menyempit. Arus sungai di perbatasan lain terdengar begitu deras. Anjing berbulu hitam yang sering berkeliaran di sekitar hutan itu kini melolong. Lolongannya begitu keras hingga menakuti Emma.
Aku mengusap punggungnya kemudian mengayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang. Kepalaku nyaris pecah. Sekarang sudah satu jam aku menunggu dan Ben belum juga tiba. Lima belas menit kemudian, aku melihat sedannya mengekor di belakang truk yang mengangkut kayu dari arah hutan. Sedan itu memasuki halaman parkir dan Ben keluar dari kursi kemudi. Tatapannya tampak resah saat dia menghampiriku. Laki-laki itu setengah berlari kemudian menarik lenganku dengan kasar untuk masuk ke dalam rumah.
“Apa yang kau lakukan di luar sini?! Kau membuat Emma ketakutan!”
Aku ingin mengatakan padanya bahwa dialah yang membuat kami ketakutan. Dia yang menempatkan kami di dalam bangunan tua dengan lingkungan aneh yang mengerikan ini – juga mantan istrinya yang aneh. Aku ingin meneriakinya, tapi dia tidak memberiku kesempatan.
“Kau bilang kau akan tiba lebih cepat?”
Ben melepas mantelnya kemudian menggantungkan pakaian itu di tiang besi. Laki-laki itu menyambar gelas kosong dan menuang air ke dalamnya. Kini, aku bisa melihat sepasang mata hitamnya mengawasiku dari kejauhan. Tidak ada rasa bersalah yang terlihat di atas wajah sialannya. Tampaknya dia tidak begitu peduli.
“Tidak bisa,” katanya. “Kau tahu ini musim ujian. Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.”
“Kau tidak tahu apa yang terjadi!” Aku berusaha mendekatinya. Emma di sisi lain masih merengek di lenganku. Bayi itu memprotes dan memintaku untuk menurunkannya. “Kau tidak tahu apa yang diperbuat mantan istrimu hari ini!”
“Aku berusaha menghentikannya, oke? Aku sudah menghubunginya..”
“Tidak.. kau tidak berusaha. Dia masih mengikutiku! Dia membuatku takut, Ben! Kita tidak tahu apa yang mungkin dapat dia lakukan padaku, atau pada putri kita. Kau tidak tahu apa yang dia niatkan!”
“Apa yang dia niatkan?” laki-laki itu melangkah maju, wajahnya menantangku.
“Bagaimana jika dia menyakiti Emma?”
“Tidak. Dia tidak melakukannya..”
“Jadi sekarang kau sudah memercayainya? Kau percaya wanita gila itu tidak akan menyakiti kita, atau kau tidak peduli lagi? Kau tidak peduli lagi apa yang terjadi padaku dan Emma, bukan begitu?”
“Hentikan, oke?! Aku tidak mau berdebat sekarang. Aku sangat lelah. Kenapa kau tidak pergi menyiapkan makan malam kita? Emma pasti kelaparan juga. Kau lihat wajahnya.. hei.. hei!” Ben merebut putriku, dengan enteng mengayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang saat berusaha menenangkannya. Ia menyingkir menghindariku dan bergerak ke arah jendela. Sementara itu Emma bergerak-gerak dengan tidak nyaman di pelukannya. Aku masih terus mengawasi mereka hingga Ben menegurku.
“Apa yang kau tunggu? Siapkan makanannya!”
Kami melewati makan malam yang lebih hening dari sebelumnya. Ben sedang menikmati santapannya, sesekali mengangkat pandangan dan mengamatiku. Emma di sisi lain sedang mengaduk makanannya di atas kursi bayi. Sesekali bayi itu menggumamkan sesuatu dengan tidak jelas. Kini seisi mulutnya di penuhi oleh makanan. Lengan kecilnya mengayun di udara, ia berusaha mendapatkan perhatian kami. Ben hanya tersenyum kemudian aku meraih tangan kecilnya dan meremasnya dengan lembut.
Dadaku terasa sesak, seperti sesuatu baru saja mengisinya hingga penuh. Kini, aku bisa merasakan bagaimana emosiku meluap. Terkadang aku merindukan Ben yang dulu. Aku merindukan masa-masa ketika kami mengadakan janji pertemuan secara diam-diam, berbagi segelas bir dan melewati percakapan yang membuatku b*******h. Aku merindukan bagaimana caranya menatapku; seolah-olah aku merupakan satu-satunya hal yang paling diinginkannya di dunia – seolah-olah tidak ada yang lebih penting dariku. Kini, tatapannya berbeda. Semangatnya berbeda, aromanya berbeda. Laki-laki itu tidak lagi tersenyum dengan caranya yang dulu, dia tidak menggodaku seperti yang dilakukannya dulu saat kami menjalin hubungan gelap di belakang Grace, atau pada tahun-tahun awal pernikahan kami. Semuanya telah berubah dan aku terlambat menyadarinya.
Ketegangan itu berakhir begitu makan malam selesai. Saat itu sudah dini hari ketika aku akhirnya berhasil memastikan Emma tidur dengan nyaman di kotak bayinya. Ben sedang duduk di atas kasur dan menatap ke arah laptop di pangkuannya ketika aku menemuinya. Laki-laki itu hanya mengangkat pandangannya sekilas, kemudian bertanya tepat ketika aku bergabung dengannya di atas kasur.
“Bagaimana harimu?”
“Berjalan seperti biasanya.”
“Itu bagus.”
Tiba-tiba aku merasa bahwa itu adalah saat yang tepat untuk mengungkapkannya; mengingatkan Ben tentang rumah yang berencana di belinya di London, atau tentang rencana liburan kami.
“Ben.. apa kau masih mengingat temanku Julia?”
Laki-laki itu masih menatap layar laptopnya. Jari-jarinya sibuk menekan tombol huruf di keyboard. Kini aku bisa memerhatikan kerutan di wajahnya semakin jelas. Ada luka baretan di sisi kiri rahangnya yang kuingat dimiliki Ben sejak dulu. Sampai sekarang, aku masih bertanya-tanya bagaimana dia mendapatkan luka itu.
“Julia Ward?”
“Ya. Kakak sepupunya baru saja pindah ke London dan dia mengatakan ada beberapa bangunan kosong yang dijual di pusat kota. Kenapa kita tidak mencoba menghubunginya? Mungkin, kita perlu memulai menyusun rencana ini dan memikirkan masa depan Emma. Di sana banyak sekolah anak yang bagus. Jika kita dapat segera pindah, itu akan semakin baik.”
“Kau benar. Akan kupikirkan.”
“Tidak! Aku ingin membicarakannya denganmu sekarang. Kita bisa membicarakannya sekarang..”
“Anna.. tolong,” Ben menatapku. “Bantu aku. Aku hanya perlu menyelesaikan laporan ini, setelah itu kita pergi tidur dan kita akan membicarakannya lain kali. Aku janji padamu, aku akan mempertimbangkannya, oke?”
Mulutku terasa kering dan aku kehilangan semangat.
“Apa kau sudah menghubungi agen perumahanmu?”
“Tentu saja.”
“Apa jawabannya? Bagaimana tanggapannya tentang rumah ini?”
“Cukup bagus. Jika kita mau bersabar, kita akan mendapat pembeli yang pas.”
“Sampai kapan? Kenapa kau tidak mencari agen perumahan yang lain sehingga kita bisa segera pindah dari sini secepatnya? Ben! Aku takut.. apa kau tidak mengerti? Aku tidak bisa menetap di sini selamanya! Aku tidak bisa merasa tenang selama istri gilamu..”
“Berhenti memanggilnya begitu!” Ben nyaris meneriakkan kata-katanya hingga membuatku bungkam. Kini sepasang matanya menatapku dengan marah. Aku bisa melihat bagaimana wajahnya memerah, pupilnya memucat dan kedua tangannya mengepal. Selama sesaat aku merasa takut. Sekarang aku memahami secara pasti ketakutan yang dialami Grace – semua rumor tentang Ben yang kudengar, atau semua pengakuan-pengakuan palsu Grace di depan polisi. Bagaimana aku bisa menganggap semua itu palsu ketika kini aku dihadapkan dengannya.
“Sudah cukup! Aku lelah. Kita bicara lagi besok.”
Ben menyentak laptopnya dengan kasar, nyaris membanting barang itu ketika meletakkannya di atas nakas kemudian berbaring memunggungiku dengan marah.
Kini aku menatap pantulan wajahku dari cermin. Tubuhku terlihat semakin gemuk, rambutku berantakan dan ada lingkaran hitam di bawah mataku. Rasanya aku ingin berteriak, memukul Ben atau melakukan apapun yang membuat kekesalanku terbayar. Namun, aku hanya duduk diam dan melihat wajah seorang wanita di ujung cermin sedang menatapku balik, dia meledekku dengan mengatakan; BINGGO! Sekarang giliranmu Anna.
..
- LAST WITNESS -