{ 06 } Better Place

2170 Kata
Karena banyak yang nggak tahu dimana sih klik love itu? Jangan lupa Klik tanda bentuk jantung terlebih dulu sampai berubah jadi warna putih, untuk pengguna Handphone agar masuk ke dalam library kalian  Untuk pengguna komputer cukup klik tulisan ADD menjadi ADDED yaa :D Nikmati dan jangan lupa Appreciate juga karyaku yaa , Terimakasih:* Selamat membaca :)   { 06 }  . . . “Baik, terima kasih atas infonya.” Ari tersenyum kecil saat mendapat kabar tentang Apartement yang akan Ia tinggali nanti. Dia sengaja tidak ingin mencari rumah sendiri karena takut nanti banyak orang yang bisa melacak keberadaannya. Jika menyewa apartement, dia bisa pergi dari sana kapan pun dan mencari tempat lain lagi. Sampai sekarang pun Ari masih setia berkutat dengan pekerjaannya. Pekerjaan kotor yang sudah dibebani padanya sejak kecil. Sosok ayah yang mengajarkan pekerjaan ini hanya untuk mendapatkan penerusnya. Membuat Ari bertarung, mengajari teknik bela diri, mengabaikan bagaimana sakit dan tangisan yang Ia rasakan. Luka serta lebam tidak pernah hilang dari tubuhnya. Berkat bela diri yang sangat kasar, Ari berhasil mendapatkan kemampuan yang berada di atas rata-rata. Mengingat sudah berapa nyawa melayang di tangannya, mau tak mau membuat wanita itu meringis. Kapan dia bisa bebas dari pekerjaan ini? Jawabannya sudah pasti, tidak akan pernah bisa. Dirinya beruntung karena di tengah-tengah siksaan pekerjaan yang Ari jalani, masih ada kedua buah hatinya. Argi dan Ella. Mereka penyemangat baginya. Karena mereka, Ari masih bisa bertahan, dan karena mereka juga dirinya terpaksa membuang satu misi yang sampai sekarang belum bisa Ia selesaikan. “Hh,” Dua hari berlalu sejak penyergapan Bandar narkoba yang Ari lakukan. Polisi masih mencari keberadaannya, tentang siapa yang membunuh kawanan pengedar itu dan membiarkan para pencandu narkoba tergeletak tak berdaya di dalam sana. Entah itu suatu hal yang patut dipuji atau dihina. Pandangan amber itu menerawang, melihat kaca jendela besar yang bisa menampakkan taman kecil di belakang rumahnya. Siang ini Ia sengaja mengepak barang-barang yang akan dibawa besok pagi. Mereka akan pindah besok. Jantung Ari masih berdetak kencang sampai sekarang. Ada perasaan senang dan takut menjalarinya. Memikirkan wajah Liam sudah cukup membuat air mata menggenang di pelupuknya. Ari sangat merindukan Liam. Tawa, suara cempreng, sifat manja, pelukan, bahkan sifat possesivenya.  “Ibu, kok melamun??” Kaget, Ari tersentak kembali dari lamunannya. Pemuda kecil yang Ia kira sedang bermain dengan Ella di taman sekarang malah ada di sampingnya. Menatap sang ibu khawatir. Ah, biarpun umur Argi sudah beranjak enam tahun tapi sikap buah hatinya ini patut diacungi jempol. “A-ah, tidak apa-apa, sayang. Sana main lagi sama Ella,” “Ibu, masih marah ya sama kita?” Marah? Kening Ari bertaut tak mengerti. “Siapa yang marah? Ibu sama sekali tidak marah dengan kalian. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?” Bisa Ari lihat bagaimana Argi meremas tangannya sendiri, menunduk lesu. “Habisnya Ibu suka melamun terus akhir-akhir ini. Aku kira Ibu marah karena aku sama Ella minta pindah ke Jakarta.” Kenapa putranya ini bisa berpikiran seperti itu? Hh, dia harus bisa mengendalikan sikap kalau tidak mau membuat kedua buah hatinya khawatir. Ari tersenyum kecil, merentangkan kedua tangan. “Sini, sayang.” Memanggil putra sulungnya, Tanpa menunggu lama, Argi sudah ada dalam pelukannya. Hh, bahkan sifat Argi yang suka sekali mengkhawatirkan hal-hal kecil diturunkan dari Liam. Mereka mirip sekali. Wajah, kedua manik berwarna abu-abu, bahkan sifat. Sementara Ella memiliki warna mata persis seperti Ari, amber keemasan. “Ibu, sama sekali tidak marah kok. Malah Ibu sama semangatnya dengan kalian, kau tahu. Kalau Jakarta itu tempat kelahiran Ibu. Di sana Ibu bertemu dengan banyak orang, membuat kenangan, dan masih banyak hal-hal menyenangkan yang tidak bisa didapatkan jika tinggal di sini.” “Ibu juga bertemu dengan ayah dong di sana?” Argi tanpa sadar menanyakan hal itu. Pemuda kecil itu baru sadar, saat melihat ekspresi ibunya yang berubah. “Ma-maaf Ibu, aku tidak bermaksud-” Ari mengelus lembut rambut mangkuk Argi, mengecup berkali-kali.  “Ibu memang bertemu dan ayahmu di sana. Kami banyak mengalami hal-hal yang menyenangkan. ayahmu itu orang yang baik, tapi Tuhan sepertinya sayang sekali dengannya. Jadi,” Perkataan Ari terhenti. Sudah cukup berat Ari mengatakan kebohongan ini pada kedua buah hatinya. “Sudah Ibu tidak perlu cerita lagi, aku sama Ella ‘kan sekarang sama Ibu. Jadi jangan takut, kita akan terus melindungi Ibu!” Kedua manik abu-abu Argi menatapnya dengan binar semangat. “Terimakasih, Argi, hh sejak kapan putra Ibu jadi romantis seperti ini?” Ari hampir menangis, memeluk putranya.   “Heee, Ella juga mau dipeluk, Ibu!” Tidak menyadari sosok putrinya kini sudah masuk ke dalam ruang tamu, dengan kerucutan bibir cemburu. Ella langsung berlari dan ikut memeluk sang ibu. Menelesak masuk ke dalam himpitan tubuh kakaknya. Ari bahagia, setidaknya ada Argi dan Ella yang akan menguatkan jika sesuatu terjadi di Jakarta nanti. . . . “Kau benar-benar akan pergi, Nona Ari?” Pagi itu siapa sangka kalau Shizu mau menyempatkan diri untuk mengantar kepergiannya. Wajah wanita itu tertekuk, nampak tak rela. Bagaimana pun juga dirinya sudah dekat dengan Ari, ditambah lagi Argi dan Ella yang kadang kala menemaninya di saat Ari sedang bekerja.  “Iya, Bibi Shizu. Aku mendapat panggilan untuk bekerja di sana, jarak rumah dari tempatku bekerja cukup jauh jadi terpaksa aku harus mencari tempat tinggal yang lebih dekat. Lagipula Argi dan Ella juga ingin sekali sekolah di sana, benar kan sayang?” Menatap kedua buah hatinya, mereka kompak mengangguk semangat. “Iya!!” Ella memeluk tas kelinci biru, sedangkan Argi menggendong tas rubah kesayangannya. Mereka tersenyum lebar, “Da da, Bibi Shizu. Nanti kak Argi dan Ella main ke sini lagi!!” Ella mengeluarkan suara cemprengnya dan langsung memeluk tubuh wanita itu. “Um!! Kita pasti main ke sini lagi!” Argi berujar setuju. Shizu sedikit tak rela, kedua manik itu menatap Ari sebelum akhirnya Ia memeluk sang empunya. “Jaga dirimu baik-baik, Nona Ari. Jangan terlalu memaksakan diri pulang larut malam terus-menerus, itu tidak baik buat tubuhmu. Kalau nanti tidak ada aku di sana, aku harap kau menemukan tetangga yang baik dan mau menjaga Argi serta Ella.” “Terima kasih atas bantuanmu selama ini, Bibi Shizu. Aku akan berusaha meringankan sedikit pekerjaanku.” Melepas pelukannya, Shizu mengiringi perjalanan ketiga orang itu. Mungkin dia akan mengunjungi mereka nanti. “Hati-hati di jalan, kalian bertiga!” berteriak kecil. . . . . “Ibu, kita nanti tinggal dimana? Kapan Ella sama Kak Argi bisa masuk sekolah?? Ella, ingin jalan-jalan ke taman bunga matahari nanti, terus beli kembang gula yang besar di sana,” Diperjalanan Ella tak henti-hentinya berceloteh, bertanya pada sang ibu kapan mereka sampai, sedangkan Argi malah asyik menatap pemandangan di luar.  Sudah berapa lama mereka tidak melakukan perjalanan sejauh ini. melihat pemandangan laut, gunung, serta  melewati rimbun pepohonan. Tempat mereka tinggal memang tergolong jauh dari jangkauan perkotaan Jakarta. Hal inilah yang membuat Argi sangat antusias, dia akan menemukan banyak hal baru di sana. “Uwaaa, lautannya luas sekali!! Ella, lihat!” berteriak senang, “Uwaaa, warna biru!! Ada cahayanya!!”  Ari terkekeh geli, “Lautan itu hanya berwarna biru saat kita melihatnya sejauh ini sayang, lalu pantulan sinar matahari yang membuat lautan nampak berkilau,” Melihat bagaimana wajah manis itu menganga karena penjelasan ibunya. “Ibu, nanti kita bisa main ke pantai kan? Soalnya Ella sama aku belum pernah ke sana, kata teman-temanku di kelas, pantai itu luas sekali jadi aku bisa main air sepuasnya! Terus di sana aku bisa cari ikan kecil-kecil, buat kastil dari pasir, terus beli jagung bakar yang banyak!” Karena pekerjaannya inilah Ari tidak berani membawa kedua putra-putrinya pergi terlalu jauh, hanya untuk ke pantai saja dia masih waspada. Akan sangat berbahaya jika beberapa musuhnya tahu tentang keberadaan Argi dan Ella. Jadi wajar saja jika kedua buah hatinya sangat senang melihat pemandangan luar seperti ini. Dimana seharusnya, di umur mereka yang masih kecil Ari bisa mengajak keduanya jalan-jalan kemana-pun. Berekreasi di pantai, bermain air, membuat kastil pasir, atau berjalan-jalan di taman dan membiarkan mereka bermain sampai puas, tentu saja ditemani Liam, ayah mereka. Tapi apa daya, semua itu hanya mimpi belaka. Tidak mungkin Ari bisa melakukan itu. Lagipula Liam juga pasti sudah memiliki kehidupan lain di sana. Ari sengaja membiarkan laki-laki itu hidup bebas, dirinya akan terus melindungi Liam walau dalam bayangan sekalipun. “Ibu, melamun lagi?” “A-ah, tidak kok. Ibu juga senang bisa lihat lautan, nanti kita main ke sana ya.” “Yeeaaa!! Janji ya Ibu?!” “Janji,” Mungkin nanti Argi, Ella. . . . Memerlukan waktu dua jam penuh untuk sampai ke pusat Kota Jakarta. Lelah tentu saja, Argi dan Ella  sudah tertidur di dalam mobil, sementara Ari turun sebentar untuk menandatangani kertas pemindahan barang. Sebentar lagi barang-barangnya akan dikirim ke sini, dia memang sengaja menyewa beberapa petugas untuk membantu penyusunan ruang dan pemindahan fasilitas nanti. Tidak mungkin juga dia bisa melakukannya sendiri. “Terima kasih, Nona. Anda bisa menunggu di dalam apartement, nanti kami akan mengirim semua barang-barang anda ke sana.” Seorang laki-laki paruh baya bertopi berujar sopan, “Ah, baiklah.”   “Saya permisi dulu.” Menunduk sekilas sebelum akhirnya petugas itu kembali masuk ke dalam mobil pengantarnya. Apartement ini cukup layak untuk ditinggali. Bisa dibilang termasuk ke dalam menengah ke atas, tidak terlalu mewah tapi setidaknya Ari bisa memberikan fasilitas lengkap bagi Argi dan Ella. Apartement mereka kebetulan ada di lantai sepuluh, nomor ruangan 104. Beruntung mendapatkan letak ruangan paling ujung, jadi otomatis apartementnya bisa mendapat sinar matahari yang cukup. Apartement ini juga menyediakan garasi mobil dan motor yang cukup luas, satu unit garasi mobil, dan motor khusus bagi satu orang pemilik ruangan. Jadi tentu saja Ia mendapat bagian. Setidaknya tempat ini aman untuknya. Selesai memandangi tempat tinggal barunya. Ari beralih ke arah mobil. Dimana Argi dan Ella nampak pulas tertidur. ‘Mereka pasti lelah sekali,’ batin Ari. Semangat mereka perlahan surut seiring waktu, diganti lelah dan akhirnya tertidur. Berjalan menghampiri mobilnya, Ari membuka pintu kendaraan itu. “Argi, Ella, kita sudah sampai. Ayo bangun dulu,” “Enghh, sebentar lagi Ibu~” Mereka menjawab kompak, dan kembali tertidur. Tidak ada gunanya, hm? Ari mendengus kecil, “Kalian ini,” Tidak ada pilihan lain. Ari tidak tega jika membangunkan mereka. Kedua buah hatinya terpaksa Ia bangunkan pagi-pagi sekali tadi, jadi wajar saja mereka masih lelah. “Oke, oke, untuk kali ini Ibu akan menggendong kalian. Tapi lain kali tidak boleh manja lagi, paham?” Berbisik tipis, yang hanya direspon anggukan lemah keduanya . . . Alhasil Ari menggendong kedua buah hatinya, untung saja ketahanan tubuh wanita itu cukup kuat jadi menggendong mereka tidak masalah baginya. Untuk barang-barang yang masih ada di bagasi mobil, Ia langsung meminta petugas apartement untuk mengangkat barangnya ke atas. “Ruangan 104, hh terlalu tinggi,” Mendengus lelah, inginnya Ari mencari kamar apartement di lantai satu atau dua karena Argi dan Ella masih kecil. Dia takut kalau nanti anak-anaknya tak sengaja keluar dari kamar terus mereka turun dari lantai sepuluh ke lantai satu, hh membayangkannya saja sudah membuat Ari takut. Semoga saja itu tidak terjadi. Ari akan mengingatkan mereka nanti. Berdiri di depan Lift, Ari tak lupa mengecek penampilannya hari ini. Rambut kecoklatan yang terpotong cukup pendek, dan kedua maniknya yang menggunakan lensa kontak berwarna hitam legam.   Untuk nama pun Ari sudah menyiapkannya jauh-jauh hari, terlalu bahaya jika Ia menggunakan nama aslinya di sini, sudah banyak pekerjaan yang Ia lakukan di pusat Jakarta. Jadi dengan koneksi yang cukup luas dirinya dengan mudah bisa mengganti namanya. Thenesia Aristel. Sia yang berarti penyejuk. Pintu lift terbuka, samar-samar wanita itu mendengar suara cempreng seorang gadis kecil yang perlahan makin keras. “Papa nanti kita jadi kan makan malam sama, mama Sofia?!” “Iya, iya, dari tadi kau menanyakan hal itu terus~” Kali ini suara baritone menjawab pertanyaan suara cempreng itu. Tanpa Ari sadari, wanita itu reflek mengeratkan pelukan pada kedua anaknya. Pikiran Ari mencoba tenang, mengindahkan keringat dingin yang perlahan mengucur dari pelipisnya. Tidak mungkin suara itu- Pa-pasti dia salah dengar- ‘Tenang Ari, itu pasti orang lain,’ Napasnya memburu, beriringan dengan pintu lift yang makin terbuka lebar. “Papa, jangan telat lagi nanti!” “Iya, Papa janji,” Shit! Ari menunduk cepat, mengeratkan pelukannya pada Argi dan Ella. Ia kenal sekali dengan suara ini. Tapi kenapa orang itu bisa ada di sini?!  “Ayo, Papa, nanti Hanna telat,” Kedua manik hitamnya meneliti dari bawah, bagaimana sepatu pantofel berwarna hitam itu nampak pas di kaki laki-laki dengan seragam kebanggannya. Jas berwarna kehitaman dengan lambang empat bintang keemasan. Tangan dengan kulit tan yang khas, Dirinya tidak berani menengadah lebih jauh, tepat saat kedua orang itu keluar dari dalam lift. Tubuhnya bergerak cepat masuk ke dalam sana. Terlalu takut, Ari tak sengaja menyenggol pundak kekar itu walau sesaat, membuat sang empunya kaget. “Maaf, Nona.”   Dirinya mengangguk kaku, berdiri membelakangi tubuh laki-laki itu. Membiarkan pintu lift yang perlahan tertutup, dan suara cempreng yang memanggil nama laki-laki itu dengan sebutan. Ayah- “Ah, itu mama Sofia datang!” Mama- “Sofia,” Ari berbisik tanpa sadar, tubuhnya berbalik pelan. Menggigit bibir bawah, memberanikan diri saat pintu lift hampir tertutup sempurna. Kedua manik itu menyaksikan sendiri. Bagaimana laki-laki dengan balutan baju kebanggaannya menghampiri sesosok wanita berambut pirang kecoklatan nampak tersenyum lebar, dan anak kecil itu. Memanggil sang wanita dengan sebutan mama? “Hanna, hati-hati kau bisa jatuh, astaga~” Suara berat yang berujar khawatir, memanggil nama Hanna. Ah, Pintu lift tertutup sempurna. Menyisakan keheningan, dan suara dengkuran halus dari Argi dan Ella. Papa, mama, dan Hanna- Ari tahu kalau akan seperti ini jadinya. Ia sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada. Liam tidak mungkin memaafkannya, laki-laki itu pasti lelah menunggu dan beralih mencari wanita lain. Lihat saja betapa bahagianya mereka, kehadiran sosok mungil bernama Hanna. Tapi kenapa. Kaki Ari terasa lemas, wanita itu langsung terduduk di atas lantai yang dingin. Membiarkan tubuhnya merosot jatuh. Suara tangisan membuat kedua buah hatinya terbangun. “Ibu?” Mereka mengucek kompak. Wanita itu menangis, membiarkan air mata jatuh dengan mudah dari pelupuknya. Menghiraukan panggilan putra-putrinya yang terlihat khawatir.  “Huee, Ibu kenapa menangis?” “Ibu! Ibu kenapa nangis?! Ibu!”  Ari sudah mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi. Hatinya sudah siap. Inilah resiko yang harus da tanggung. Tapi, “Argi, Ella,” Kenapa air matanya tidak berhenti mengalir?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN