Selamat membaca :)
{ 13 }
.
.
.
“Papa!!” Hanna berlari menuju laki-laki yang tengah merenggangkan kedua tangannya, bersiap menyambut tubuh mungil itu. Menggendong tubuh Hanna ke dalam pelukannya,
“Hm, putri Papa sudah harum dan cantik sekarang,” Mencium pipi putrinya yang gembil, menghirup aroma bedak dan parfum khusus bayi. Sofia yang menyarankan agar Hanna tetap menggunakan produk bayi karena aman untuk kulitnya.
“Hehe, mama Sofia yang memilihkan pakaiannya. Mama juga cantik ‘kan, Papa?? Tadi mama Sofia mandi bareng Hanna,” Menjauhkan sedikit tubuhnya, manik kecoklatan itu menatap Liam polos. Bertanya seolah ingin mendapatkan jawaban secepat mungkin.
Liam mengerjap kaget, reflek melirik ke arah Sofia, wanita dengan rona merah di pipi saat mendengar pertanyaan Hanna. Seolah menunggu jawaban Liam dengan pandangan penuh harap,
Sang Aiden bingung, mau mencari jawaban apa, “Mm-itu dia memang-” Tidak ingin menyakiti perasaan Sofia dengan kata-katanya. Bibir itu hampir saja menjawab, sebelum suara teriakan yang cukup nyaring memanggil nama Liam-,
“Ah!! Paman William!!” Argi baru sadar dengan keberadaan Liam, tangannya melambai lebar. Menghentikan perkataan Liam sepenuhnya.
Pikirannya teralih pada dua sosok mungil yang berlari ke arahnya, dengan senyuman lebar. Benar-benar melupakan pertanyaan Hanna, Liam bahkan bisa mengingat jelas nama keduanya.
“Argi, Ella,” Masih menggendong Hanna, tanpa memperhatikan raut cemberut yang diperlihatkan oleh Sofia. Liam terfokus pada dua bocah itu.
“Ternyata Paman William ini papanya Hanna, ya?” Ella bertanya langsung, Liam mengangguk sembari tersenyum tipis. “Kalian sudah sempat berkenalan?”
Fredella mengangkat tangannya cepat, menjawab semangat, diikuti anggukan Argi. “Sudah! Sekarang Hanna itu teman kami!”
Hanna yang melihat kedua temannya di bawah, langsung saja memberontak turun, “Papa, Hanna mau sama kak Argi dan kak Ella!” Meminta sang ayah untuk menurunkan dia dari gendongan.
“Baiklah,” Belum semenit menurunkan tubuh putrinya, Hanna menggenggam tangan Ella dan Argi, “Ayo, sekarang kita berangkat!!” ujarnya ceria, menarik tangan kedua teman baru Hanna dan masuk ke dalam mobil, tepat duduk di kursi belakang.
“Hanna, tidak mau duduk sama Mama Sofia?” Sedikit kaget melihat Hanna yang berniat duduk di belakang, Sofia bertanya cepat. Dijawab gelengan kepala gadis kecil itu.
“Hanna, mau duduk sama kak Argi dan kak Ella!” Tersenyum lebar masuk ke dalam mobil diiringi celotehan mereka bertiga.
Meninggalkan ketiga orang dewasa berdiri di luar, Ari tentu saja kaget. Melihat kedua buah hatinya tadi menghampiri Liam begitu saja, bahkan sebelum dia sempat menghentikan mereka.
Mendesah panjang dalam hati, mau tak mau Ari pasrah. Mencoba berjalan mendekati kedua pasangan itu.
“Biar saya yang menjaga mereka bertiga di belakang, Nona Sofia duduk di depan saja.” Mencoba tersenyum walau tipis. Melihat raut bingung Sofia,
“Tapi aku tidak enak-”
“Tidak apa-apa, lagipula saya senang Argi dan Ella sudah punya teman di hari pertama mereka ke sini. Terimakasih juga, Tuan William, Nona Sofia.”
Sofia nampak menimbang-nimbang sesaat, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Maaf kalau aku jadi merepotkanmu, Nona Sia.” Wanita itu menunduk sekilas. Menatap ke arah Liam yang mengangguk setuju.
“Kalau begitu kita berangkat sekarang?” Sang Aiden bertanya cepat, mengiringi langkah kedua wanita itu masuk ke dalam mobil
.
.
.
.
Dalam perjalanan-
Pikiran Ari teralih sepenuhnya, menatap ketiga anak kecil yang tengah asik berceloteh, Ella duduk di sampingnya, lalu Hanna dan Argi yang duduk di dekat jendela.
Untunglah tubuh mereka masih mungil, tempat duduk di belakang masih ada tempat yang cukup luas tersisa, jadi Ari tidak perlu takut ketiganya merasa sesak.
“Memangnya kita mau belanja dimana, Hanna?” Ella menanyakan dengan manik berbinar. Sedangkan Hanna, tersenyum lebar, menunjuk dengan tangan mungilnya ke sebuah gedung yang cukup besar di luar sana.
“Kesana!! Hanna biasanya belanja sama mama, papa di sana!”
Argi membulatkan bibir, “Uwoo!! Besar sekali!!” Pandangannya teralih menatap sang ibu. “Ibu!! Lihat! Gedung itu besar sekali! Kita akan belanja di sana, Bu?! Ada figure super heroku tidak ya?!” Berceloteh dengan semangat.
Ari terkekeh, merasa wajar melihat antusias di manik Argi. Gedung-gedung sebesar ini memang sangat jarang ada di tempat mereka dulu. Ari juga sangat jarang mengajak kedua buah hatinya untuk berpergian,
“Iya, iya nanti Ibu belikan ya. Tapi Argi harus tepati janji, rajin di sekolah barumu.”
Minggu depan lebih tepatnya, Argi dan Ella akan Ia daftarkan di sekolah dasar tak jauh dari apartement mereka.
Mengingat kedua buah hatinya sudah berumur enam tahun sejak beberapa hari lalu merayakan ulang tahun mereka.
Sebelum sekolah dimulai, mungkin Ari akan menitipkan Argi dan Ella di tempat penitipan khusus, karena dia tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaannya.
Melihat sang putra mengangguk cepat, “Janji!” Tersenyum lebar. Kebahagiaan apalagi yang Ari inginkan? Tidak ada, melihat kedua buah hatinya tersenyum saja sudah cukup.
Siapa yang menyangka bahwa Liam dan Sofia mendengar percakapan mereka. Sang Aiden bertanya terlebih dahulu, “Hoo, Argi sudah mau masuk sekolah dasar ya?”
“Iya, Paman!! Kami berdua yang minta sama ibu agar sekolah di Jakarta saja!” Jantung Ari hampir saja mencelos saat Argi menyinggung masalah itu.
“Aku sama Ella ingin sekali sekolah di sini,”
“Hm? Kenapa tidak sekolah di tempat Argi yang dulu?” Entah kenapa Ari mulai tidak nyaman dengan alur percakapan mereka.
Wajah wanita itu reflek menunduk, menatap sekilas ke arah Liam yang masih tersenyum menatap Argi lewat kaca kecil di atasnya.
“Soalnya tempat kami yang dulu kecil, jadi tidak ada gedung-gedung besar seperti ini! Kata teman-teman di perjalanan ke Jakarta kita bisa melihat laut yang luas, supermarket besar, taman bermain yang besar,”
“Kak! Jangan lupa, taman bunga matahari yang luas!” Ella menambahkan ucapan kakaknya.
“Oh! Iya, taman bunga matahari! Ella, suka sekali bunga matahari,” Argi mengacak sekilas rambut sang adik.
“Hm, begitu,” Pandangan Liam kali ini malah terarah ke arah Sia, “Memangnya kalau boleh tahu, Nona Sia sebelumnya tinggal dimana? Sepertinya jauh sekali dari perkotaan?” Apa karena tugas Liam sebagai kepolisian, laki-laki ini jadi suka bertanya pada siapapun?
Berusaha menetralkan detak jantungnya, memperlihatkan akting terbaik. Menyembunyikan gugup, dan rasa takut. “Kami dari desa, Tuan William. Jadi wajar kalau Argi dan Ella pertama kali melihat gedung-gedung sebesar ini,” Tersenyum tipis.
Syukurlah, Liam tidak bertanya lebih jauh mengenai tempat tinggalnya, bisa Ari lihat laki-laki itu mengangguk paham sebelum akhirnya terfokus kembali menyetir mobil.
“Hee, Kak Argi sama Kak Ella mau sekolah ya? Hanna boleh ikut?” Manik polos Hanna menatap ke arah Ari. Seolah bertanya padanya, tak ayal Ari terkekeh gemas. Mengusap kepala gadis kecil itu.
“Memangnya umur Hanna sekarang berapa, hm?” Bertanya singkat, Hanna langsung mengangkat tangannya, menunjukkan empat jemari. “Minggu depan Hanna empat tahun, Tante!”
“Itu artinya Hanna belum bisa sekolah, Hanna masih perlu main lebih banyak lagi, baru bisa sekolah,” Mencubit gemas pipi Hanna. Gadis itu tergelak, menatapnya polos.
“Yahh, padahal Hanna mau sekolah bareng,”
“Nanti pasti Hanna bisa ketemu kak Ella, sama kak Argi di sekolah kok.”
Kali ini Ella ikut menambahkan, memeluk tubuh Hanna. “Lagipula rumah Hanna ‘kan ada di samping rumah Kak Ella sekarang, jadi kita pasti sering ketemu.” Ari menyangka bahwa percakapan ketiga anak kecil itu tidak akan membuatnya tegang.
“Oh, iya, Bu. Biasanya dulu kan ada Bibi Shizu yang menjaga kami kalau ibu kerja. Nanti siapa dong yang akan jaga aku dan Ella?” Argi dengan manik polos menatapnya bingung. Satu pertanyaan yang cukup membuat Ari sadar kembali,
“A-ah, mengenai itu-” Sebelum dia sempat menjawab, Ari merasakan dering handphone di dalam tas kecilnya.
“Tunggu sebentar sayang, Ibu ada telepon-” Mengambil benda itu, Argi seolah mengerti langsung kembali melanjutkan celotehnya dengan Ella dan Hanna.
Sedangkan Ari, manik itu menatap sebuah nama terpampang di layar handphone. Nama yang sangat familiar, dan sukses menghancurkan moodnya.
Bagaimana bisa dia mengangkat panggilan ini jika dia sedang berada di dalam mobil berisikan satu orang Komandan kepolisian.
‘Ck, apa yang sebenarnya dia inginkan?!’ batin frustasi, Ari bingung, wanita itu terdiam lama.
“Ada apa, Nona Sia? Wajahmu pucat sekali,” Suara Sofia mengagetkannya, sedikit tersentak, mencoba tersenyum dan mengangkat panggilan itu takut.
“A-ah, tidak apa-apa,”
“Hm, kukira ada apa,” Sofia menghela napas panjang, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan kembali ke depan, dan berbicara dengan Liam.
.
.
.
.
[“Halo,”]
[“Hm, kau mau mengangkat panggilanku ternyata, setelah kejadian tadi kukira kau akan membuang handphonemu, Ari,” Dengan nada mengejek, menertawakan putrinya sendiri. Ari mau tak mau melengos tanpa sadar, hanya sekilas, mengingat Ari tidak sendirian di sini.]
[“Apa ada yang bisa kubantu, Tuan?” Mengembangkan senyuman palsu, memberikan kode pada sang ayah yang masih terkekeh di seberang sana.]
[“Khaha, apa-apaan perkataanmu itu, Ari? Ayah tebak kau sedang tidak sendiri saat ini.” Tepat mengenai jantung. Ari nyaris menampakkan raut kaget, mengembalikan kontrol emosinya.]
[“Tolong jangan membuang-buang waktu-ku, apa ada yang bisa kubantu?” Tersenyum tipis. Percakapannya cukup menarik perhatian Argi dan Ella. Kedua anak kecil itu menatap sang ibu, menghentikan celotehan mereka.]
Raut ceria mereka berubah takut, Ella bahkan langsung memegang tangan sang kakak.
“Kak, kira-kira siapa yang menghubungi ibu?” Gadis kecil itu bertanya pelan. “Kakak, tidak tahu, Ella.” jawab Argi singkat. Hanna ikut diam, kedua alisnya tertekuk tak paham.
“Kak Argi dan Kak Ella kenapa??” Kedua kakak-kakaknya tiba-tiba saja diam. Bahkan sampai Liam pun perlahan sadar dengan atmosfer di belakangnya.
Menghentikan pembicaraan Sofia, manik abu-abunya melirik bingung ke arah Argi dan Ella. Kedua anak itu mendadak jadi pendiam. Tepat saat ibu mereka mendapatkan panggilan,
‘Kenapa mereka tiba-tiba diam?’ batin laki-laki itu bingung, pandangannya teralih ke arah Sia. Wanita yang tengah menelpon, dengan senyuman tipis di wajah. Apa ada yang aneh dengan itu?
“Kenapa Argi dan Ella diam? Apa ada yang mengganggu kalian?” Langsung saja bertanya.
Kedua anak itu menggeleng kompak, menundukkan wajahnya menatap sang ibu sekilas. Wanita yang masih terfokus dengan panggilannya.
Argi berusaha menenangkan tubuh adiknya yang gemetar, memeluk Ella. Berusaha untuk berbicara pelan,
“Kami hanya tidak suka saat ibu menerima panggilan dengan wajah seperti itu,”
‘Wajah seperti apa?’ Sofia sendiri melirik ke arah Sia, wanita yang masih tersenyum tipis, dan menikmati panggilan teleponnya. Apa yang aneh? Salah satu alis Sofia terangkat bingung. Wanita itu menatap Liam, mengirimkan sinyal.
“Apa maksudnya, Liam?” Berbisik tipis, berharap Liam mendengar suaranya. Tapi yang ada pandangan abu-abu itu justru menatap ke arah Argi dan Ella, ketakutan kedua anak kecil itu seolah mengusik pikiran sang Aiden.
“Bagaimana kalau nanti kita pergi ke area pemainan besar di supermarket, mau?” Mencoba menghibur dan menenangkan Argi dan Ella.
Kedua anak kecil itu mendengar jelas suara Liam. Pandangan mereka teralih, berbinar perlahan saat mendengar kata permainan.
“Mau!” Dengan anggukan kompak, berteriak senang. Melupakan semua, beruntung karena Argi dan Ella sama sekali tidak melihat raut wajah ibu mereka yang sesaat berubah tegang.
Senyuman tipis dan ketenangan di wajah Liam menghilang, digantikan manik yang membulat kaget. Bibir yang hampir berteriak tak percaya. Tidak ada yang melihat, Argi, Ella, Hanna, Sofia-
Kecuali Liam, laki-laki itu melihat semuanya.
[“Kuharap kau tidak marah dengan keputusanku ini, Ari,” Senandung suara yang sama sekali tidak terdengar menyesal, justru seolah menikmati bayangan dimana sang putri nampak panik di seberang sana.]
[Kedua tangan Ari terkepal, Bibirnya berbisik sangat tipis, “Kau mengingkari janjimu, Ayah.” Menekan tiap kata. Menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak. ]
[“Kaulah yang pertama kali mengingkari janji, Ari. Jangan menyalahkan Ayah. Jika kuanggap kau sudah tidak becus menjalani misi ini. Ayah terpaksa meminta bantuan adikmu,” Memberikan isyarat yang Ari tahu.]
Wanita itu nyaris meledak, perkataan ayahnya tadi sudah cukup membuat ketenangan Ari hancur.
[Ketakutan itu kembali datang, “Kumohon jangan menyiksaku lebih dari ini,” Ari ingin menangis saat ini juga, kekesalan yang menumpuk, ditambah stress yang melanda. Ari tahu sekali bahwa kebohongannya selama ini mungkin sudah disadari oleh sang ayah,]
Mengenai dirinya dan hubungannya dengan Liam-
[“Jangan menyalahkanku,”]
[“Jika kau berani menyentuh mangsaku, aku tidak akan segan membunuh klienmu, Ayah.” Mau tidak mau dia harus mengeluarkan kartu utamanya. Memanfaatkan celoteh riang ketiga anak kecil di samping Ari, dan menipiskan suaranya.]
[Satu ucapan yang sanggup membuat ayahnya bungkam. Wanita itu tersenyum paksa, “Kau mungkin bisa mengancamku, tapi jangan pernah melupakan bahwa aku pembunuh proffesional yang dilatih olehmu, Ayah.” Manik legamnya teralih menatap sosok Liam di depan sana]
Suatu kebetulan dimana kedua manik abu itu sekilas menatapnya melalui kaca kecil, mengirimkan waktu yang sangat singkat bagi mereka berdua untuk saling menatap. Mengabaikan seluruh keadaan di dalam mobil.
[“Aku bisa saja menjadi anjing pembangkang yang menggigit majikannya sendiri.” Mengucapkan kalimat terakhir, tanpa Ari sadari, dirinya tersenyum. Kedua manik yang nampak sendu, dengan senyuman tipis terarah tepat pada Liam.]
Mengakhiri panggilan, dan menunduk. Meninggalkan sang Aiden kebingungan dalam tatapannya tadi. Membiarkan sebuah perasaan tidak tenang dan familiar menelusuk masuk ke dalam d**a saat melihat senyuman Sia.
Aneh, padahal mereka baru saja bertemu tadi.