Ari turun dari panggung dan langsung dipeluk oleh Ikhsan. Keduanya amat sangat bangga dengan piala penghargaan itu. Ari masih berdebar hingga ia duduk dan meletakkan pialanya.
"Sumpah, kita beneran dapet?" Ikhsan menatap bangga piala itu. Ia lalu menoleh pada Ari yang sedang mengatur napas usai memberikan sedikit pidato di panggung tadi. "Ngomong-ngomong, kamu beneran keren, Ri!"
Ari menyeka keningnya, ia lantas mengibaskan tangan di depan wajah. Banyak orang menatap ke arahnya, ia menjadi pusat perhatian malam ini. Astaga! Ia agak malu, tetapi ia juga amat senang.
"Makasih, San. Itu semua berkat kamu dan semua tim. Aku nggak sendirian," kata Ari.
Ari mengambil foto piala tersebut lalu mengirimkannya ke grup perusahaan. Air matanya hampir jatuh, tetapi ia menahannya karena takut akan merusak riasan. Malam ini, ia memakai sedikit riasan karena akan ada pesta setelah acara penghargaan ini.
Namun, tetap saja Ari tak mengenakan gaun. Ia memakai setelan blazer hitam dan celana bahan yang tidak terlalu ketat. Ia mengikat tinggi rambutnya hingga membuat ekor kuda yang cantik.
"Bilang sama papa kamu," kata Ikhsan.
Ari memutar bola mata. Ia tak tahu apakah ayahnya akan bangga atau tidak. Biasanya tidak. Namun, setelah menimbang akhirnya ia mengirimkan foto itu pada sang ayah. Ia menunggu beberapa saat dan melihat pesannya sudah dibaca dan Tanto sedang mengetik di seberang.
Ari meneguk air putihnya. Ia merasa gugup dengan balasan ayahnya. Dan setelah beberapa saat ia membuka lagi kotak pesan. Ia tercengang.
Papa: Di mana kamu? Bukannya kamu sedang bulan madu sama Marvel?
Ari menelan keras. Ayahnya sama sekali tidak merespons penghargaan yang ia terima dan malah menanyakan bulan madu yang sama sekali tidak ia inginkan. Ari mendengkus, ia menunggu ayahnya mengetik lagi. Namun, tidak. Hanya itu pesan yang dikirimkan ayahnya.
"Kenapa? Papa kamu nggak bales?" tanya Ikhsan.
Ari hanya mengangkat bahu. Ia menyimpan ponselnya karena rasa sakit yang menjalar di hatinya. Ia tak pernah menjadi anak yang dibanggakan. Ia pernah sangat ingin bisa seperti kakaknya, anak pertama yang diharapkan menjadi penerus keluarga.
Ari belajar keras seperti Fandi, ia mengenakan pakaian seperti Fandi, tetapi ia tak akan pernah menjadi kebanggaan bagi ayahnya. Ia bahkan tak dianggap di keluarga itu.
"Udah, mungkin papa kamu udah tidur," hibur Ikhsan.
Ari mengangguk dan tersenyum. Ia mengusap piala pertama yang ia peroleh dari ajang internasional. Suatu hari, ia akan mendapatkan lebih banyak.
"Ayo kita ke hall, kita harus party," ajak Ikhsan.
"Ya! Ayo!" Ari hendak melupakan rasa kesalnya pada sang ayah. Ia dan para tamu undangan pun pindah ke ruang lain di mana diadakan pesta jamuan makan malam.
Ari mengambil jus jeruk dari meja lalu menoleh ke arena dansa. Ada beberapa pasangan yang mulai berdansa di sana. Ia tersenyum tipis, ketika SMA, ia pernah ingin sekali merasakan bagaimana serunya berpacaran, datang ke pesta sekolah berdua, berdansa, tetapi itu juga agak menakutkan. Lebih baik ia tidak terlibat dengan lawan jenis sejauh itu, pikirnya dulu.
"Ehm!"
Ari menoleh saat mendengar suara deheman. Ia melihat buket bunga besar di sebelahnya. Ia menelengkan kepala untuk melihat siapa yang ada di balik buket itu.
"Hello, Wife!" Marvel tersenyum, ia menurunkan buket bunga itu dan berhasil membuat kedua mata Ari membola. "Congratulation, My Wife!"
"Kamu ... kenapa kamu ...."
"Kenapa? Kaget liat aku di sini?" Marvel mengambil gelas Ari lalu menyodorkan buket itu ke tangannya. "Kamu keren banget malam ini. Aku bangga sama kamu."
Ari ternganga. Marvel bangga padanya? Apa itu benar? Ia menunduk ke buket bunga besar yang diberikan oleh Marvel. Walaupun ia berdandan seperti pria, ia tetaplah seorang gadis yang menyukai bunga. Dan itu adalah buket bunga pertama yang ia terima dari seorang pria.
"Apa kamu udah ngobrol sama mereka?" Marvel menunjuk ke beberapa orang yang sedang mengobrol di sudut lain.
Ari menoleh. "Kenapa aku harus ngobrol sama mereka? Balikin gelas aku. Ish! Aku udah minum itu!"
"Nggak apa-apa minum pakai gelas istri," sahut Marvel. Ia meletakkan gelas kosong itu dan mengambil wine. Ia memutar isi wine itu di gelasnya lalu mengedikkan dagunya. "Mereka dari A&F Corp. Kamu bisa berbasa-basi dengan mereka dan mungkin mereka akan tertarik untuk memberikan investasi ke perusahaan kamu. Dan mereka ...."
Marvel menunjuk dengan gelasnya ke arah lain. "Mereka dari PT Queen Jaya, mereka dari Malaysia dan mereka juga sering menanamkan modal ke perusahaan baru seperti perusahaan kamu."
Ari menatap Marvel tak percaya. Ia tak mengerti kenapa Marvel bisa ada di sini dan kenapa Marvel memberitahunya hal ini.
"Darimana kamu tahu semua itu?" Ari menggigit bibirnya karena pertanyaan itu yang justru meluncur.
"Kamu lupa siapa suami kamu?" Marvel menepuk dadanya dengan ekspresi angkuh. "Aku Marvel Adira Pratama! Kamu tahu perusahaan orang tua aku ...."
"Ya! Ya! Aku tahu!" potong Ari cepat. "Kamu nggak perlu menyombong."
"Aku nggak bermaksud menyombongkan diri. Tapi ... yah, aku punya banyak hal yang bisa aku sombongkan," ujar Marvel. Ia menyesap sedikit winenya. "Ayo, aku kenalin sama mereka."
"Kenapa kamu ngelakuin ini?" tanya Ari tak tahan lagi. "Dan gimana bisa kamu ada di sini?"
Marvel mendengkus. Ia mengikis jarak di antara mereka dan membuat Ari mundur hingga punggungnya menempel di tepian meja. Ari menelan saliva perlahan.
"Kamu pergi gitu aja di hari pertama kita menikah. Seharusnya kita berbulan madu, tapi kamu pergi tanpa izin dan tanpa pamit. Astaga! Aku beneran panik hari itu karena kamu pergi, My Wife!"
Ari mendorong pelan d**a Marvel. Ia tak percaya Marvel panik karena ia pergi. "Kita nggak punya urusan apa-apa. Pernikahan kita cuma di atas kertas."
"Eits, jangan bilang gitu. Kita menikah di hadapan Tuhan," ujar Marvel mengingatkan.
Ari mengepalkan tangan. "Tapi sejak awal kamu mau menikahi aku hanya karena permainan kamu sendiri. Dan aku sepakat buat bantuin Papa. Itu doang!"
Marvel menggeleng. Ia tak ingin berdebat di hari bahagia Ari. Ia juga tak ingin terlihat memiliki hubungan pernikahan yang tak wajar di depan semua orang—dan Sunny yang masih ada di pesta ini.
"Udah deh, kita nggak usah bahas itu. Aku ajak kamu keliling, kamu harus dikenal oleh lebih banyak orang." Marvel meletakkan gelasnya. Ia lalu mengambil tangan kanan Ari. Gadis itu terkejut saat tangannya diselipkan di bawah lengan Marvel.
"Harusnya kamu pakai heels, udah aku bilang kamu itu pendek," kata Marvel.
Ari sangat ingin menoyor kepala Marvel, tetapi tahu-tahu ia sudah diajak berkenalan dengan pria bernama Richard, Marx dan Frederick. Mereka semua berasal dari Jerman dan ternyata Marvel sangat fasih berbahasa Jermain. Ari berbicara dengan bahasa Inggris dan mereka bisa memahaminya.
Entah bagaimana, Ari merasa senang malam itu. Setidaknya, ada satu orang yang bangga padanya, bahkan memberinya bunga. Ia juga diperkenalkan dengan banyak orang yang berkata bahwa hasil kerjanya sangat bagus.
"Vel! Ini istri kamu?"
Marvel menghentikan langkahnya saat Rory memanggil. Ia mengangguk pelan. Ada Sunny yang berdiri di sebelah Rory. Ia berharap Sunny tidak bertingkah di depan Ari.
"Salam kenal, Pak. Saya Ari," kata Ari sambil mengulurkan tangannya.
"Ya, salam kenal. Saya Rory Widodo dari WinJaya Corp," kata Rory. Ia mengulurkan kartu namanya pada Ari. "Hubungi saya dan kirimkan proposal perusahaan kamu segera setelah kamu kembali ke Indonesia."
"Hah?" Ari ternganga.
Marvel membuang napas panjang. Ia tahu Rory adalah pengusaha yang baik, tetapi entah bagaimana ia tak ingin Ari terlibat dengan keluarga mantan pacarnya.
"Saya berniat untuk berinvestasi di perusahaan kamu," kata Rory.
"Papa!" Sunny mengguncang lengan Rory dengan ekspresi tak senang.
Rory menatap putrinya lalu menggeleng. Sunny begitu kesal. Ia menghentakkan kaki lalu meninggalkan tempatnya berdiri.
Ari tak tahu kenapa putri dari Rory bertingkah seperti itu. Ia masih terkejut dengan ucapan Rory.
"Beneran ini, Pak?" tanya Ari.
"Ya. Saya punya pandangan bahwa usaha kamu akan berkembang pesat," kata Rory. Ia lalu menepuk bahu Marvel. "Saya juga udah cukup lama kenal dengan suami kamu."
Ari menoleh pada Marvel. Apakah ini karena Marvel? Ia mendapatkan investasi karena hubungan Marvel dan Rory?
Ari mengerutkan kening. Sesungguhnya, ia tak ingin meminta bantuan Marvel. Di sebelahnya, Marvel terlihat menegang berbeda sekali dengan ketika ia dikenalkan dengan orang-orang sebelumnya. Apakah Marvel juga terkejut dengan tawaran Rory?
"Jangan salah paham, saya tertarik dengan perusahaan kamu bukan karena Marvel," celetuk Rory seolah menjawab pertanyaan di benak Ari.
Bibir Ari membulat. "Makasih tawarannya, Pak. Saya ... saya akan pertimbangkan."
"Bagus." Rory lalu tersenyum dan meninggalkan mereka berdua.
Ari membuang napas panjang. Ia menatap kartu nama Rory dengan berdebar. Ia masih belum berpengalaman dengan hal seperti ini dan ia butuh pendapat. Ia menoleh pada Marvel.
"Menurut kamu gimana?"
Marvel menggaruk lehernya yang tak gatal. "Menurut aku, lebih baik kamu cari investor lain."
"Kenapa? Ini ... perusahaan besar," kata Ari.
Marvel tahu itu. Namun, ia mencemaskan Sunny.
"Aku mau bahas ini sama Ikhsan. Ini penting banget!" ujar Ari dengan wajah berseri-seri. Ia melambaikan tangan pada Ikhsan yang berdiri tak jauh dari mereka.
Marvel menarik pergelangan tangan Ari. Ia menatap wajah Ari lurus. "Dengar! Aku bisa kasih kamu investasi yang lebih menjanjikan. Kenapa kamu nggak minta bantuan aku aja?"