Lamia dengan serius menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan, dia telah menyulap Bar Malochre menjadi gegap gempita. Tidak diperlukan banyak desain rumit, kesan glamour lebih pas untuk kelab malam yang berlapis-lapis fungsi itu. Pada dasarnya kelab itu sudah mewah dari awal, jadi Lamia tidak perlu merubah banyak hal.
"Jangan letakkan speaker meeting di situ, kau ingin membuat penonton tuli?" Lamia agak marah, tangannya bersedekap seperti mandor tua. Di kepalanya melekat sebuah bandana dan rambutnya diikat tinggi dengan asal. Beberapa helai rambutnya yang jatuh membuatnya tampak manis.
Beberapa karyawan Rex yang seharusnya libur sengaja diminta membantu atas suruhan bos mereka. "Ini pita yang kau minta, Miss."
"Ikatkan pita ini pada gunting, ikat yang cantik," kata Lamia. "Tunggu sebentar, guntingnya sudah kau beli?"
"Tadi kau tidak menyuruh—"
"Beli! Sekarang!"
Pelayan itu melesat tanpa disuruh dua kali. Kelab yang kosong melompong itu benar-benar riuh seperti sedang renovasi. Tidak ada yang terlihat santai-santai duduk satu orang pun, jika hal itu terjadi, Lamia mungkin akan memukul kepala mereka. Hanya ketika Lamia tak terlihat, beberapa orang bergosip di belakangnya.
"Astaga, bos event itu galak sekali," komentar salah satu pelayan di Bar Malochre. Dia tak bisa bekerja keras, sampai hampir beberapa kali menjatuhkan barang, tapi dia terus dimarahi.
"Bukan cuma galak, cerewet juga," sahut pelayan lain sambil memompa balon merah. "Kudengar dia janda. Cih, pantas saja. Kurasa dia ditinggalkan karena sangat cerewet."
Pelayan pertama menutup mulutnya tak percaya. "Kau bercanda? Padahal dia cantik."
Pelayan kedua mencebik. "Cantik saja tidak cukup. Lelaki biasanya tidak suka wanita yang suka mengatur."
"Dia memang perfeksionis kelihatannya."
"Apa itu perfeksionis? Sejenis penyakit?"
Suara tawa mereka menggema berdua di gudang itu. "Kakak Breta memang suka bercanda," sahut si pelayan pertama, "Tapi kenapa Mr. Rex mau menyewa orang galak seperti itu, apa dia tidak merasa risih?"
Pelayan pertama mengibaskan tangan tak acuh. "Hanya pada kita saja bos event itu sok galak, kalau pada Mr. Rex dia pasti sama nakalnya dengan p*****r-p*****r itu, penjilat. Memangnya siapa yang bisa menolak pesona Mr. Rex, huh? Kau bisa?"
"Kau benar juga, Kak."
"Mr. Rex itu sangat menghargai wanita, meskipun tak mudah menaklukannya, tapi sekali kau bersikap baik, dia pasti akan membalasmu dengan lebih baik. Aku sudah lama bekerja di sini, aku kenal betul bagaimana Mr. Rex."
"Kau hebat, Kak!" Pelayan pertama berseru, matanya berbinar-binar. "Mr. Rex memang dambaan. Rasanya ingin jatuh ke pelukannya setiap saat dia lewat dan menyapaku."
"Jangan berkhayal, kecuali kau ingin menjadi penjilat seperti bos event itu!" Wajah si pelayan kedua itu berkerut, terang-terang menunjukkan tak sukanya melihat Lamia, bahkan jijik. "Kau belum mengenal bos event itu, 'kan? Wajar saja, kau orang baru. Wanita itu dulu sering sekali ke sini; mabuk-mabukkan, marah-marah tak jelas dan mencari Mr. Rex seperti orang putus asa. Setiap hari."
Kalimat terakhir sengaja ditekankan.
"Kau serius? Apa yang terjadi?"
"Kejadiannya sudah hampir lima tahun yang lalu, dia pasti salah satu wanita yang tergila-gila pada Mr. Rex." Pelayan kedua itu mendesah. "Entah apa yang dilakukannya sampai membuat Mr. Rex mau menyewa jasanya. Dia pasti merajuk dengan super gila."
Lalu keduanya membayangkan bagaimana wajah Lamia ketika bersikap sok lemah lembut di hadapan Rex. Bagaimana cara dia bicara dengan sangat pelan dan teratur saat membujuk, seolah-olah kaca yang rapuh dan halus. Mereka segera memeletkan lidah.
"Nanti kalau kau sudah menikah, jangan contoh dia," kata pelayan kedua, masih dengan nada cemooh. "Bisa-bisa suamimu kabur."
Kalimat itu sungguh memengaruhi pelayan pertama sampai dia bergidik. "Aku tidak mau itu terjadi, tolong aku, Kak," jawabnya separuh ingin menangis.
"Tidak akan terjadi kalau kau tidak cerewet seperti dia. Paham?"
Pelayan pertama baru akan mengangguk, tapi berhenti ketika melihat kedatangan Lamia dari arah pintu. Sosoknya yang ramping nampak begitu angkuh. "Di mana taplak yang kuminta, kenapa belum kalian pasang?"
Pelayan kedua itu langsung berdiri. "Maaf, Miss, kami akan memasang taplak setelah selesai dengan balon-balon ini."
"Kalian tak akan selesai jika bekerja sambil bergosip!" Lamia melotot padanya. "Lain kali kalau bergosip jangan sampai aku mendengarnya, paham?!"
"K-Kau mendengarnya?" tanya pelayan itu linglung, terbata-bata.
"Mendengar apa? Mendengar kalian mengejekku memohon seperti pelacurr pada bos kalian?"
Keringat mengucur di dahi pelayan yang berdiri, dia bahkan tak sanggup untuk menatap macan wanita yang matanya hampir keluar dari cangkang. Apa wanita cantik kalau marah tetap saja cantik, ya? Tapi, seperti yang dia katakan sebelumnya, cantik saja tak cukup, wanita harus lemah lembut.
"Kenapa kau melamun?! Cepat kerjakan!" teriak Lamia murka. "Meniup balon bisa dilakukan oleh satu orang. Manja sekali kalian ini. Mau kuadukan perbuatan kalian pada Rex?"
Kepala si pelayan menggeleng dengan cepat. "Maafkan kami, Miss. Kami sungguh minta maaf. Kami tidak bermaksud apa-apa."
Pelayan pertama melepas balon-balonnya dan ikut berdiri. Tangannya meremat celemek kainnya dengan gugup.
"Lalu tunggu apa lagi? Cepat tiup balon ini! Selesaikan dalam lima menit."
Lamia puas melihat kedua pelayan itu secepat kilat berada di posisi untuk mengurusi balon-balon. Karena pompa hanya satu, salah satu dari mereka bahkan meniupnya dengan mulut. Kalau dipikir-pikir hukuman yang diberikannya cukup mudah, tapi Lamia sudah merasa menang.
Lagipula apa yang dilakukan dua orang kalau bergosip bersama? Sudah pasti membicarakan orang lain, 'kan?
Alis Lamia berkerut, kepalanya mendadak pusing.
Dari arah pintu satu orang masuk dengan gaya santai yang begitu mencolok; dress shirt marun, jeans hitam dan sepatu kulit tebal. Sosoknya yang tinggi selalu saja terlihat seolah-olah terbuat dari cahaya. Begitu muncul segera membuat mata silau. Yeah. Itu jelas fitur Rex Winston, dengan janggut hutan setengah gundulnya.
"Kau di sini rupanya," tegurnya tanpa senyum, satu tangannya melipat sebagian lengan baju sampai siku. "Aku ingin bicara padamu."
Dua pasang mata yang memelas di sudut gudang berkilauan menatap penyelamat mereka. Bibir menggumam, 'Mr. Rex' dengan lirih.
Lamia masih bersedekap. "Bicara saja di sini, kerjaanku belum selesai."
Gudang adalah tempat yang paling anti untuk Rex sebenarnya. Untuk menjaga harga dirinya dari rasa malu, dia tak mengungkapkan alasan itu. Sebaliknya dia berkata, "Dari mana kau tahu aku suka merah?"
Wajah Lamia menunjukkan perpaduan linglung dan kaget.
Mengintai Rex Winston lima tahun yang lalu, mana mungkin dia melewatkan hal sekecil itu. Meskipun Lamia tak yakin, tapi Rex beberapa kali nampak tak sadar bahwa aksesorinya hampir sering berwarna merah. Contoh saja baju yang dipakainya hari ini.
"Mereka yang memberi tahu," Lamia melirik dua tikus mengkeret peniup balon. "Berilah mereka tambahan bonus akhir bulan."
Rex menatap dua orang itu, lalu Lamia. "Aku akan melakukannya." Lalu dia mendekat pada pelayan itu. "Boleh kuminta dua balon?"
Pelayan pertama yang masih muda, menyodorkan balon dengan mata yang penuh bintang menatap Rex. "S-Silakan, Mr. Rex."
"Terima kasih."
Balon itu memiliki tali pita berwarna silver, cocok sekali dengan balon merah tuanya. Balon itu diberikan pada Lamia.
"Apa?" Lamia kaget.
"Berikan ini untuk Miki."
"Oh, terima kasih." Balon itu diterima dengan baik oleh Lamia. "Kenapa kau beri aku dua?"
"Satu balon itu untukmu sebagai ucapan terima kasih. Kalau kau tidak suka, kau bisa memberikan dua-duanya pada Miki."
"Lagi? Kau terlalu berlebihan, Rex. Aku hanya melakukan pekerjaanku."
Lamia menahan diri untuk tidak mencemooh. Perangai Rex di matanya seperti seorang anak kecil bertubuh dewasa, masih sangat polos dan lugu. Tunggu dulu! Ini pasti kedok juga. Totalitas sekali bajingaan ini.
Rex mengangkat bahunya. "Aku tahu kau tidak akan menerima hadiah lain tanpa dipaksa."
"Aku butuh uang," jawab Lamia cuma-cuma.
"Aku lupa kalau aku belum membayarmu. Akan kukirim seluruh biaya event ke rekeningmu sekarang."
Sayang sekali Lamia tidak peduli. Omongan tajam memang seringkali keluar dari mulutnya jika berhadapan langsung dengan Rex. Sejujurnya dia tak benar-benar butuh uang sekarang, lagipula acara masih akan dimulai besok. Tapi saat ponselnya berdering memberi peringatan bahwa ada uang masuk, dia segera mengernyit.
"Kau benar-benar mengirimnya sekarang?"
"Laki-laki tidak boleh ingkar janji, 'kan?" Rex berkata santai seolah-olah uang itu hanya recehan kecil. "Dengan begini aku tidak akan sama dengan mantanmu."
Gila!
Lelaki ini benar-benar tidak suka disamakan dengan orang lain.
Gudang itu segera ditinggalkan Lamia saat ia sadar bahwa hari hampir larut. Dia dan Rex berjalan beriringan keluar gudang sambil membahas hal-hal tak penting, lalu berpisah karena dia harus segera menyelesaikan dekorasi. Di dapur, Lamia bahkan mengurusi chef yang akan membuat kue tart bertingkat.
Dapur ini pertama kali dimasukinya sejak mendekorasi kelab sejak pagi. Beberapa bawang putih nampak diletakkan sembarangan di ujung-ujung dapur, menarik perhatiannya.
"Kenapa kalian membuang bawang putih di sudut? Tidak punya tempat sampah?"
Kepala chef yang sedang menyusun bahan-bahan kue, menatapnya. "Itu untuk mengusir kecoak, Miss."
"Pelayan di sini tidak mengenal semprotan hama?" Alis Lamia berkerut.
Sebaliknya kepala chef yang punya tubuh tinggi besar itu tertawa, entah apa yang lucu. "Mr. Rex selalu meyakinkan kami untuk mengecek apakah ada kecoak yang tersisa. Jadi setiap sudut diminta untuk ditaruh bawang putih."
Kalau tidak mendengar ini, Lamia tidak tahu jika bawang putih bisa mengusir kecoak.
"Ada apa dengan kecoak?"
"Mr. Rex takut dengan kecoak."
Tawa keras begitu saja menyembur dari bibir Lamia. Lelaki kekar dan maskulin bisa takut dengan kecoak juga rupanya.
"Itu trauma masa kecil, Miss." Chef itu tersenyum agak malu, tangannya memilah beberapa barang. "Sudah menjadi rahasia umum di sini."
"Kenapa aku baru tahu?" gumam Lamia geli.
"Maaf?"
"Tidak, maksudku ... dia laki-laki yang macho ... bagaimana mungkin?" Perutnya keram karena tertawa.
Tawa Lamia yang segar menular pada chef paruh baya itu, sehingga dia ikut tersenyum mengingat-ingat bosnya. Label nama di baju kebesarannya bertuliskan nama; Lenno Limber, mengilat di bawah lampu.
"Katanya saat masih kecil, seekor kecoak merambat di dalam selimutnya saat dia tidur, lalu karena geli, Mr. Rex bangun dan menjerit." Lenno mulai bercerita.
"Oh, astaga. Lalu?"
Lamia berusaha menahan tawa sebisanya tapi gagal. Lenno nampak senang ketika melanjutkan, "Selimut dikibaskan dengan kencang sambil gemetaran, namun kecoak itu malah terbang ke seluruh sudut mengejarnya yang berlari."
"Aku bisa membayangkannya." Lamia memukul-mukul meja sambil tertawa keras, matanya berair. "Sial sekali Rex."
"Benar, sial sekali." Lenno puas.
"Lalu?"
"Pintu kamarnya dikunci saat itu dan semua orang di rumah panik karena Mr. Rex kecil berteriak-teriak ketakutan terus menerus dan tidak menyahut saat dipanggil. Kejadian itu berlangsung hampir satu jam lamanya sampai orang tua mereka memanggil polisi." Bagian ini paling menguras isi perutnya, tapi Lamia tetap terus mendengar saat Lenno melanjutkan, "Dikira ada penculik anak kecil, polisi segera mendobrak pintu kamar itu, tapi yang mereka temukan adalah Mr. Rex yang tergeletak kaku di lantai karena ada kecoak di atas matanya. Tubuhnya gemetaran parah, dia juga mengompol dan—"
"Hahahaha." Lamia mengangkat tangannya untuk menahan. "Cukup, cukup! Aku bisa mati karena tertawa."
Air mata di sudut kelopak segera diusapnya, dia hampir tidak bisa menghentikan sisa tawanya dan dia menepuk pipinya dengan kuat.
"Terima kasih, Lenno. Percaya atau tidak, kau cukup menghiburku hari ini." Wanita itu menghela napas. "Aku harus keluar atau aku bisa kepikiran kecoak terus."
Begitu dia keluar, salah satu bawahan lelakinya yang sibuk dengan lampu sorot segera dipanggilnya. Di wajahnya masih ada sisa tawa tentang kecoak.
Kacau.
"Maaf, Miss, kabelnya tidak cukup panjang, makanya ini—"
"Tidak," potong Lamia cepat-cepat. "Memangnya aku memanggilmu untuk marah?"
Lelaki itu maklum, dalam hati berkata, 'Biasanya memang seperti itu', dan dia segera menunjukkan wajah lega. "Ada apa?"
"Kau pergilah keluar untuk beli tambahan kabel, juga belikan mainan untuk Miki."
"Mainan?"
Lamia mengangguk, memberi uang. "Di supermarket seharusnya ada kecoak mainan. Beli dua untukku."
Setengah jam tercepat, dua bungkus kecoak mainan sudah ada di tangan Lamia. Sebelumnya ia sudah menandai di mana keberadaan Rex saat ini. Kata asistennya, pria itu sekarang sedang berkeliling melihat-lihat hasil dekorasi Lamia yang menakjubkan. Katanya juga, Rex sangat terpukau dengan hasil kerja karyawan Lamia. Dan meski dipuji, Lamia tidak merasa tersanjung.
Saat dia akhirnya menemukan Rex, ternyata pria itu sedang berduaan dengan tunangannya yang angkuh itu, berdiri di dekat panggung kecil dekat kolam di mana seorang bawahan Lamia masih memasang sound system.
Lamia mematung sesaat, merasa marah, seenaknya bajingaan itu berbahagia di sana sementara selama lima tahun Lamia telah menanggung penderitaan.
Tidak bisa dibiarkan!
'Rex sialan!'
Langkahnya mengentak menghampiri, bungkus bekas mainan dibuang asal, ditangkap oleh karyawannya yang melihat. Masih dengan langkah buru-buru Lamia menuju ke dekat panggung dengan pandangan berbahaya, tanpa melirik kanan kiri, tak peduli karyawannya menatap dengan bingung. Dia tetap maju seperti menerjang medan perang.
Dua kecoak mainan itu dilempar ke depan, ke wajah tunangan Rex. Sayangnya, kabel yang mengular di lantai tersangkut di kakinya dan dia kehilangan keseimbangan. Refleks memekik dan mencari pegangan.
Bersamaan dengan suara air tercebur benda berat, Lamia jatuh ke dadaa kuat seseorang dan bersama membentur lantai licin.
Lamia menutup mata karena siap dengan rasa sakit.
Tapi tidak ditemukan perasaan itu.
Sebuah tangan memegang pipinya, diiringi suara lembut. Suara-suara lain otomatis hilang, seolah-olah hanya ada Lamia dan suara itu. Matanya membuka perlahan.
Di depannya ada Rex. Menatapnya. Bertanya, "Kau tidak apa-apa?"
Wajahnya agak cemas.
Lamia linglung, menggeleng.
"I'm ... fine."
Tidak ada yang ingat bagaimana seorang wanita bernama Rose Wylmar tercebur bersama dua kecoak mainan ke dalam kolam air dengan sangat indah.
tbc.