3. The Earliest Memory

2427 Kata
Lima tahun yang lalu. Bar Malochre. "Apa yang kau jual di sini?!" Lamia membanting gelas kacanya di atas meja marmer. Dentum suara dalam kelab malam yang dia kunjungi, menelan kegaduhan itu. Sepercik air dalam gelas tumpah dan membuat Lamia semakin kesal. Seorang bartender pria di depannya menjawab, "Yang kau pesan adalah vodka." "Coba kau rasakan sendiri, apa minuman ini ada alkoholnya?!" teriak Lamia kencang, tenggorokannya sakit, namun suaranya tak lebih kuat dari musik disko. "Minuman itu beralkohol, Miss. Dan kau sudah mabuk." Bartender menjawab dengan kikuk dan ngeri, wanita yang sedang marah memang mengerikan. Entah apa yang dialami wanita malang itu, sehingga dia tidak sadar bahwa dirinya telah mabuk. "Aku mabuk? Kau sudah buta ya, Cowok kerdil?!" Mata Lamia mengitar pada kerumunan dansa untuk mencari keberadaan Anna. Di panggung rendah tempat di mana sorotan lampu menajam, seorang DJ bermain musik dengan wanita-wanita di sisi kanan-kirinya. Pada bagian tengah kelab, kerumunan lebih parah lagi, beberapa wanita setengah telanjang—berdansa striptease dengan genit sambil menggandeng lelaki-lelaki yang doyan dadaa bergoyang. Lamia melihat para wanita nakal itu bergiliran berharap salah satunya adalah Anna. Sayangnya, Anna tidak ada di mana-mana, meskipun wanita playgirl itu yang membawanya ke sini. Mendengus, Lamia berbalik pada bartender kerdil yang menatapnya hati-hati. Dia mencoba memerhatikan wajah pria itu dengan seksama, tapi yang ditangkap matanya hanya raut wajah lucu dan aneh. Wajah bartender itu kembar tiga. Lamia bahkan tak yakin bahwa dia manusia bumi, nampak seperti hologram kelap kelip. Sudut bibirnya menyungging. "Beri aku alkohol yang keras!" kata Lamia suntuk. "Aku akan memaafkan kesalahanmu sebelumnya kalau kau beri aku alkohol asli. Dan gratis." "Tidak bisa, Miss. Kau harus membayar." Bartender itu membubuhkan senyum terpaksa, tangannya sibuk pada shaker. "Anna yang akan membayar." Kepala Lamia bergerak susah payah, hampir jatuh terantuk berkali-kali. "Maaf, siapa Anna?" "Annabeth Federe. Dia itu pelacurr di sini, masa kau tidak kenal! Apa kau orang baru?" "Aku tidak mengenalnya." Lamia mendengus. Semua lelaki sama saja rupanya. Doyan pura-pura bodoh setelah apa yang terjadi. Siapa manusia yang tidak kenal dengan pelacurr seperti Annabeth yang jam terbangnya mengalahkan presiden itu? Hampir setiap Minggu pelacurr yang merangkap sahabatnya itu selalu pulang bersama Daddy Sugar baru. Semuanya kaya raya dan sanggup menghamburkan uang-uang mereka pada Anna bagai pasir. "Sombong sekali kau, meskipun kau hanya cowok kerdil." Sudut bibir bartender itu gatal. "Aku tidak kerdil, Miss." Bartender itu sebenarnya punya postur tubuh yang standar. Bahkan tidak pantas disebut pendek atau kerdil. Hanya saja di mata bodoh Lamia saat ini, tubuh pria yang terhalangi meja bar yang tinggi itu dianggapnya sangat kerdil. "Aku mau vodka," racau Lamia. "Kau sudah minum lima gelas." "Apa ada peraturan berapa gelas aku minum, hah? Kau menipuku, yang tadi tidak beralkohol sama sekali! Bagaimana seorang bartender bodoh bisa diperkerjakan di sini sih? Pelayanan yang buruk!" Setelah berkata pada lebar tanpa jeda, Lamia cegukan parah beberapa kali, sampai hampir tak bisa berkata karena mulutnya lelah. Wajah bartender itu sudah menampakkan ekspresi perpaduan marah tertahan dan ingin melempar shaker di tangannya pada Lamia. Untungnya Lamia cantik dan tipenya. Ada banyak orang mabuk bodoh seperti Lamia yang ditemuinya di kelab ini, pria itu merasa ini bukan apa-apa. Bahkan pernah ada wanita mabuk yang melemparkan bra ke mukanya. "Aku ingin bertemu bosmu!" Lamia mengangkat kepalanya tegak, seperti tak pernah mabuk. "Di mana pemilik kelab ini? Aku ingin komplain." "Tidak bisa, Miss. Owner kami tidak ada di tempat," si bartender berbohong, meskipun kenyataan sebenarnya owner mereka sedang ada di sudut bar ini, entah di mana. "Tidak ada? Bos macam apa dia?!" "Owner kami hanya datang saat weekend. Biasanya dia akan ada di sini sampai pagi." Bartender itu menyahut dengan lugu. Dia tersenyum sambil menumpuk kesabaran. "Kelab ini benar-benar buruk! Aku akan menuntut kalian semua!" "Mungkin kau butuh minum? Kau sudah mabuk berat," kata si bartender itu, mendorong gelas air mineral ke arahnya. "Aku tidak mabuk!" Lamia bangun, terhuyung dan mencari pegangan sebuah kursi. "Lihat, aku masih bisa berdiri tegak." "Ow, yeah, untung ada kursi." Bartender itu memutar bola mata. "Air putih itu juga harus kau bayar." Kepala Lamia terasa mendidih; antara panas dan emosi yang meluap-luap. Tubuh lunglainya berdiri. Mengangkat gelas untuk menyiram bartender itu, tapi alih-alih Lamia menenggaknya sampai habis. Matanya berkaca-kaca. "Kenapa semua lelaki bersekongkol untuk membuatku kesal? Kau juga! Apa kau ini orang suruhan Reiner? Dia itu busuk! Buaya darat rendahan!" Lamia mulai meracau lagi. Sekelilingnya tidak membantu membuatnya merasa lega. Mungkin di punggungnya harus tertempel papan 'patah hati' supaya orang bisa bersimpati padanya. Benar. Lamia baru saja putus cinta. Pria bodoh yang menyia-nyiakannya itu bernama Reiner Fennegan. Sayang sekali, mereka harus putus, padahal Lamia cinta berat padanya. Reiner bilang Lamia itu virgin norak hanya karena ia tak mau melepas keperawanannya untuk lelaki itu. Sampai seminggu lalu, Lamia akhirnya memergoki Reiner bercumbuu dengan wanita semok. Mereka telanjang berdua di apartemennya tak tahu malu. God! Pria itu benar-benar bodoh. Apa dia tidak tahu kalau Lamia mempertahankan keperawanan demi membahagiakannya? "Di mana pemilik kelab ini! Keluar!" teriak Lamia. Baru saja bartender itu ingin menjawab, dari belakang Lamia muncul seorang pria. Bartender itu segera mengkeret di tempat. Bosnya benar-benar muncul. Matanya yang biru gelap menatap penasaran pada racauan bodoh Lamia. Meskipun dalam balutan jaket kulit cokelat, sang bos terlihat sangat tampan dan berkilauan. Beberapa mata telah tertambat padanya setelah dia masuk. Tapi siapa yang tak kenal Rex Winston? Pemilik kelab sekaligus lelaki perlente yang sangat sulit didekati. "Ada apa?" Rex Winston bertanya. Lamia mendengar suaranya dan berdiri. Dia berbalik. "Kau pemilik kelab jelek ini, hah?" "Iya, itu aku." "Bagus sekali kau datang dengan wajah tak punya malu. Aku ingin komplain di sini." Bartender itu terlihat panik. "Maafkan aku, Mr. Rex, aku akan menyuruh penjaga untuk mengusirnya." Pria bernama Rex itu tampak tidak setuju. "Bagaimana mungkin kau memperlakukan wanita seperti ini?" katanya dingin. "Itu ..." "Benar, 'kan? Pelayanan di sini sangat buruk! Aku minta ganti rugi! Di mana Anna, apa kau melihat pelacurr itu? Dia sahabatku!" racau Lamia dengan kepala berat. Punggung Lamia menabrak bahu Rex, lelaki itu secara aktif menyangganya dengan baik. Di ambang kesadarannya, wangi dari lelaki itu membuat Lamia merasa nyaman. Tubuhnya tanpa sadar menggeliat dan memeluk tubuh besar di depannya erat-erat. Saat dia merosot, sebuah tangan menariknya berdiri. "Wanita ini terus meracaukan hal itu sejak tadi. Dia terus menyebut nama Annabeth Federe, pelacurr di sini, katanya." Alis Rex naik satu. Dia sangat mengenal Annabeth Federe karena wanita itu adalah pengunjung tetap kelab ini. Anna sempat mengiriminya pesan bahwa dia akan mengenalkan Rex pada temannya yang sedang patah hati dan ingin bunuh diri. Apa wanita mabuk ini yang dimaksud? "Ah, apakah kau ini Mrs. Ainsley?" Tak ada jawaban karena Lamia telah pingsan, lalu Rex melihat pegawainya. "Biar kuurus dia. kembalilah bekerja. Besok temui aku." Entah ekspresi apa yang harus dipasang bartender itu. Dia merasa dingin di sekujur tubuh. Sial sekali, karena seorang wanita mabuk dia disuruh menghadap. Semoga dia tidak dipecat. Sementara Lamia yang berada dalam rengkuhan Rex, tak kuasa mengikuti langkah panjang pria itu. Beberapa kali dia terantuk. Kakinya mengait satu sama lain seperti tali yang terikat. Lama kelamaan dia diseret. Tangannya lunglai di sisi tubuh. Kadang-kadang dia meracau dan tersenyum sendiri, menyebut nama Reiner, memaki orang yang tak ada, sampai mencubit perut Rex. Perjuangan berat membawa wanita itu akhirnya membuat Rex harus memanggulnya di punggung. Dia membawanya ke salah satu kamar kelab yang kosong. Rex mengambil ponselnya saat telah meletakkan Lamia dengan benar, mencoba menghubungi Annabeth. "Tidak aktif!" Rex mengumpat. Tas tangan Lamia yang rantainya mengular di lengan wanita itu mencuri perhatian Rex. "Maaf, aku hanya ingin memastikan." Dan dia membukanya untuk melihat kartu pengenal si pemilik. Ada kartu kependudukan yang ditemukannya, tertulis 'Lamia Ainsley'. Benar, wanita ini Lamia. Rex memang tidak mengenalnya tapi dia mengenal baik Annabeth, dan wanita itu bilang wanita bernama Lamia menunggunya di kelab seorang diri. Inilah yang terjadi. Rex melirik Lamia yang berkeringat dan masih terus mengigau. "Aku ingin muntah, Rei. Muntah di mukamu," katanya dengan mata tertutup. "Aku akan mengambilkanmu air." Belum sempat Rex berbalik, ujung jaketnya ditarik lemah oleh Lamia. Mata wanita itu terbuka sayu, menatapnya dengan memohon. Entah kenapa Rex merasa iba dan duduk mendekat di pinggir ranjang. "Jangan tinggalkan aku, Rei." Lamia bangun sedikit dan memeluk perut Rex erat. "Aku bukan Rei. Aku Rex," sahut Rex seadanya. Lamia tertawa kecil. "Apa namamu berubah dari Reiner menjadi Rexner?" Rex tidak menjawab. Kesempatan itu diambil Lamia untuk menyeruduk badan Rex dan mendorongnya terlentang di kasur. Dengan iseng, dia naik ke perut Rex sambil menatapnya lamat-lamat. Yang ada dalam pandangan Lamia hanya seraut wajah abstrak yang bergoyang dan kembar tiga. Sial! Telinganya berdengung. "Kenapa kau selingkuh dariku?" Kepala Lamia jatuh di dadaa Rex, jantung mereka berdegup menjadi satu. "Apa kau benar-benar ingin seks?" Tangannya merayap pada wajah Rex bermaksud untuk membelainya, tapi dia merasakan bulu-bulu tajam di dagu lelaki itu dan terkekeh. Mungkin karena kesal, Rex menangkap tangannya sehingga Lamia memekik. Dia mengangkat kepala. "Sejak kapan kau punya janggut? Tajam sekali, begitu menggoda." Tak ada jawaban, hanya saja Lamia ditatap lurus dengan mata biru suram itu. "Kalau aku setuju untuk seks, apa kau tidak akan meninggalkanku?" tanya Lamia pelan dan malu. "Aku tidak ingin seks." Dahi Lamia berkerut. Kesal. Selanjutnya yang terjadi dia menarik tubuhnya duduk tegak dengan rambutnya yang berantakan. Dia menyeringai. Rex diam saja ketika kancing-kancingnya dibuka dengan gerakan yang menggoda. "Aku mau seks, tapi kau harus menikahiku, ya," kata Lamia lagi. Kancing baju di depannya pupus terbuka, dadaa yang keras telah menonjol membiarkan Lamia memberikan pijatan pelan. Kulit lelaki itu tidak lembut, tidak juga kasar, lebih keras dari kelihatannya. Ototnya menonjol tegas. Lamia menunduk untuk mencium dagunya, menjilatnya. Ada rasa geli di janggutnya yang pendek. Sedangkan Rex masih di posisi yang sama ketika Lamia duduk lagi. "Kuanggap jawabanmu iya." Lamia menarik lepas jaket Rex. Pria itu sangat kooperatif bahkan sampai tubuh atasnya telanjang. Dia sudah duduk dipeluk Lamia, tapi dia hanya memandang wanita itu tanpa berekspresi. Tangan-tangan di tubuhnya gemetaran, Rex merasakannya. Di dunia malam seperti ini, dia sudah sering bertemu dengan pelacurr, jelas sekali Lamia sangat amatir. Bahkan mungkin tidak pernah sama sekali bersentuhan. "Kau sudah puas?" Rex memegang tangan Lamia, membuatnya menatapnya. "Aku belum. Aku sedang berkonsentrasi." Ucapan orang mabuk itu omong kosong. "Kau ingin seks hanya supaya Rei tidak selingkuh? Bodoh sekali," sambung Rex. "Aku jauh lebih baik dari wanita itu, Rei." "Berapa kali harus kukatakan, aku Rex." Lamia nampaknya tidak mendengarkan. "Apa kau yakin bokongnya bersih? Kalau kau tahu yang sebenarnya, aku ini selalu merawat bokongku setiap Minggu. Aku selalu pergi ke panti pijat. Mereka menyediakan fasilitas lulur aromaterapi juga. Bokongku terawat, Rei." Alis Rex naik. "Kalau kau seks sembarangan, kau bisa HIV." Lamia berhenti karena cegukan, kepalanya makin berat. "Wanita itu pelacurr, 'kan?" "Apa kau memandang rendah pelacurr?" Lamia menggeleng lugu. "Aku hanya tidak mengerti jalan pikiran mereka." Kepalanya jatuh sempurna karena tak kuat lagi. "Ayo, Rei, aku siap seks denganmu. Tapi kita jangan putus, ya." Merasa Rex tidak bergerak, Lamia mengambil langkah duluan. Tali gaunnya ditarik turun, memamerkan lengannya yang mulus. Tercium aroma floral dari tubuhnya. Selanjutnya Rex didorong terlentang. Jujur saja, Lamia hampir pingsan lagi, maka sebelum itu terjadi, dia segera meraup bibir Rex, dan pria itu membalasnya mendominasi. Nikmat. Lamia langsung buta. *** "Mrs. Ainsley?" "Ah?" "Kau menumpahkan air," tegur pria tampan di seberang meja Lamia, sehingga dia kikuk. "Kau merasa kurang sehat?" Pikiran Lamia masih kosong. Apa yang baru saja terlintas di pikirannya? Yeah, Lamia tahu itu adalah mimpinya tadi malam—tapi kenapa mimpi itu muncul setelah sekian tahun? Kenapa dia bisa memimpikan pria di depannya ini, sedangkan Lamia telah mengutuknya jauh di dalam hatinya? Dan apa-apaan mimpi sialan semalam? Kronologi yang mampu diingat Lamia adalah; dia mabuk berat, memarahi bartender di Bar Malochre, dibopong Rex seperti karung beras, memeluk pria itu, melepas kancing-kancingnya, mencium dagunya yang berjanggut dan ... dan .... Apa benar itu yang terjadi sebenar-benarnya? Kacau! Kacau sekali! Ini tidak ada bedanya dengan perangai Anna, dia juga murahan rupanya. Tapi itu hanya mimpi—hanya mimpi, 'kan? "Itu cuma mimpi," gumam Lamia. "Apanya yang mimpi?" Rex sudah ada di dekatnya ketika Lamia sadar, dan dia segera melompat berdiri. "Apa yang kau lakukan?" "Kenapa kau sangat suka berteriak?" keluh Rex, di tangannya ada serbet bersih. "Air yang kau tumpahkan jatuh ke gaunmu. Nanti berbekas." "Oh, uh, oke, thanks." Lamia duduk tenang, mengambil alih serbet. "Sampai di mana kita tadi?" Rex ikut duduk. "Sampai dekorasi pintu masuk bar. Acara ini acara untuk umum, tapi siapa pun yang masuk akan diperiksa. Bisakah kau mengatur kursi pendaftaran untuk tamu?" "Oke." "Kau mengerti apa yang kubicarakan?" Rex menatapnya skeptis. "Sepertinya ada banyak masalah di kepalamu." 'Masalahnya adalah kau, bajingaan.' Lamia membatin. "Aku baik-baik saja. Apa kau yakin ingin menggunakan jasaku?" Lamia berdeham, kembali pada mode bisnis. "Ini adalah permintaan maafku tentang kejadian di toko. Sekaligus, aku memang suka pesta Annabeth yang kau rancang. Kau begitu detil." "Aku perfeksionis soal kerjaan." Rex mengangkat bahu. "Aku suka wanita yang bisa mendedikasikan diri pada pekerjaan. Aku suka wanita yang mandiri." "Kau sedang menembakku?" "Maaf?" Lamia tertawa kering, maksudnya berkata begitu hanya untuk meredam rasa jijiknya duduk berdua dengan Rex. Aslinya dia tidak sudi berbasa-basi. Hanya saja Anna bersikeras memintanya mengambil proyek ini. "Maksudku ... aku single mother, wajar saja jika aku mandiri. Tidak banyak lelaki yang suka wanita mandiri. Biasanya mereka suka wanita yang manja." Rex baru tahu fakta itu, tapi dia tidak berkomentar. "Aku suka pada siapa pun yang memberiku keuntungan," jawab Rex angkuh. "Oh, tentu. Itu hakmu." Lamia menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Pantas saja dulu dia diperkosa oleh Rex, ternyata baginya Lamia sangat menguntungkan untuk melepaskan rasa horninya, benar-benar busuk. Lalu Lamia tertampar dengan fakta yang dibeberkan oleh mimpinya malam tadi. Uh. "Aku bisa menyukai siapa pun. Kau juga begitu. Kau bisa menyukai laki-laki, wanita, monyet ataupun jeruk. Tak akan ada larangan," sambung Rex. Dari sudut pandangnya, entah kenapa Lamia merasa Rex sangat menghormati wanita meskipun dia bajingaan. Saat Lamia baru saja tiba di restoran ini, Rex sendiri yang menunggunya di lobi dan menawarkan lengannya untuk digamit, Rex juga menarik kursi untuknya, membantunya memilih pesanan, bahkan mengelap gaunnya yang terkena minuman soda. Romantis sekali. Kalau Lamia tidak membenci Rex, mungkin dia akan melayang. "Apa sebelumnya kita saling mengenal?" tanya Lamia iseng, hanya ingin melihat reaksi Rex. Namun pria itu tampak kebingungan. "Ini ketiga kalinya kita bertemu." Tiga kali .... Oh, hanya sebatas itu yang digunakan Rex untuk pura-pura bodoh? Apa Lamia harus menyindirnya lebih dalam lagi? Mana mungkin seseorang bisa lupa terhadap siapa yang dipeluknya semalam suntuk bahkan mengambil keperawanannya. Malam itu mungkin mereka bertatapan lebih dari beberapa jam. Lamia mungkin mabuk, tapi Rex sepertinya tidak. Lamia menatap lurus pada Rex, menebarkan aura intimidasi. "Apa mungkin kita pernah bertemu jauh sebelum ini, Mr. Rex Winston?" tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN